Masita menatap wajahnya di cermin. Mata sembab, hidung agak sedikit memerah, kantung mata yang lumayan terlihat jelas, dan wajah yang terlihat lelah seakan merepresentasikan suasana hatinya pagi ini. Rencananya ia ingin tetap berangkat bekerja karena tak mau Satya tertawa bahagia karena mengira Masita izin karena patah hati--walaupun sebenarnya memang iya. Namun, melihat kondisinya yang seperti ini membuat Masita mengurungkan niatnya. Ia tak mau Satya semakin menertawakan dirinya dan menjadi jumawa karena mungkin rasa kesalnya selama ini bisa terbalaskan.
Masita meraih ponselnya, mengetikkan sebuah pesan ke Rere, Hisyam, dan juga Bu Rima selaku pimpinan HRD, untuk izin tidak bekerja hari ini dikarenakan sedang sakit. Masita tak bohong, ia memang benar-benar sakit karena efek begadang, menangis semalaman, dan patah hati--mungkin. Suhu tubuhnya cukup tinggi subuh tadi, tetapi sekarang sudah turun walaupun masih bisa dibilang ia masih demam.
Iis memasuki kamar Masita dengan membawa semangkuk bubur dan segelas air. Tak lupa sebutir paracetamol untuk meredakan demam Masita.
"Nih makan dulu. Kenapa sih anak Emak sampe kelopak matanya kayak disengat tawon gitu?"
Masita cemberut. Ia beranjak duduk setelah mencium aroma bubur buatan Iis yang menggerayangi hidungnya. Tak munafik, ia sungguh lapar karena semalam ia tak makan setelah pulang dari salon. Bahkan ia lupa untuk mentraktir Rere Mixue dan mengajaknya makan di Dapur Neng Iis--rumah emak Masita.
"Emak gagal dapat calon mantu," ujar Masita sedih.
Iis mendesah. "Bukan gagal. Emang itu bukan jodohmu kali. Enggak apa-apa, daripada kamu rebut calon suami orang. Makanya Emak udah wanti-wanti kamu dari awal buat hati-hati. Orang yang kelihatan gak punya pasangan, belum tentu memang gak punya pasangan. Bisa jadi malah di belakang bucinnya enggak ketulungan."
"Ih Emak ih ... mood Sita tambah jelek deh," keluh Masita. Ia tak bisa membayangkan jika Satya menjadi bucin dengan perempuan kemarin. Sungguh Masita belum ikhlas melihat Satya mencubit gemas pipi perempuan itu, mengacak rambut perempuan itu, makan sepiring berdua dan suap-suapan dengan perempuan itu, pakai baju couple dengan perempuan itu, gandengan tangan dengan perempuan itu, menikah dengan perempuan itu, apalagi kalau buat anak--eh punya anak maksudnya--dengan perempuan itu, Masita tak bisa membayangkan betapa sakit hatinya nanti.
Tuhan, Masita ingin move on saja.
"Dah dah buru dimakan buburnya, setelah itu minum obat, terus istirahat. Istirahatin itu otakmu, gak usah mikirin laki-laki itu. Belum jadi mantu aja udah berani bikin anak Emak sakit," geram Iis. Ia tau ini bukan kesalahan laki-laki yang bahkan Iis sendiri belum kenal. Tapi ia tidak suka saja melihat anaknya sakit karena ditolak laki-laki. Dalam kamus hidup Iis--yang akan diturunkan ke Masita--ditolak cowok itu tidaklah ada. Perempuan yang berdaya tidaklah dipilih, melainkan memilih.
Masita menurut saja. Bayangan Satya yang sedang tertawa bahagia membuat hatinya panas. Perlahan-lahan, rasa suka ke Satya berubah menjadi rasa kesal. Biar saja, Masita justru senang. Ia pasti akan lebih mudah move on jika terus seperti ini.
^MISYUNA^
Keesokan harinya, keadaan Masita sudah jauh lebih baik. Bahkan terlihat lebih baik dari biasanya. Ia sudah berada di kantor pagi-pagi sekali, hingga membuat satpam kantor yang baru datang terheran-heran.
"Pagi, Pak Ogeh."
"Eh pagi, Neng Sita. Semangat banget kelihatannya sampe nyaingin saya datangnya."
Masita terkekeh pelan. Kemudian menyerahkan satu kotak makanan kepada Pak Ogeh. "Hari ini saya ada syukuran kecil-kecilan. Ini makanan buat Bapak."
"Wah ... Syukuran apa nih, Neng? Naik jabatan? Atau karena rambut baru? Atau jangan-jangan kemarin Neng Sita gak masuk kerja karena tunangan?"
Masita hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban.
"Doakan aja ya, Pak, hehehe."
"Siap, Neng. Pasti saya doakan yang baik-baik buat Neng Sita."
Masita pamit untuk masuk kantor. Hari ini ia membawa beberapa kotak makanan masakan ibunya. Sebetulnya itu adalah pesanan orang, tetapi karena Iis membuat berlebih, jadi Masita membawanya saja ke kantor. Hitung-hitung syukuran untuk pulihnya hati Masita karena Satya.
Naik ke lantai 7 dengan membawa 2 kantong besar berisi beberapa kotak makanan membuat Masita ngos-ngosan. Walaupun menggunakan lift dan bertempat di ruangan ber-AC, Masita masih saja berkeringat. Ia duduk sebentar, lalu mulai meletakkan satu persatu makanan itu ke meja seluruh staf divisi keuangan, tak lupa juga untuk Hisyam. Sisa 4 kotak, rencananya akan ia berikan kepada Miho yang sangat berjasa saat perutnya lapar, Tuti yang masih belum tau kalau Satya sudah punya tunangan, Mia yang selalu menyemangatinya, dan terakhir tentu saja Satya yang telah membuatnya sadar.
Masita mendesah lelah. Ia membuka salah satu media sosialnya. Mengscroll beberapa postingan video instagram yang kebanyakan berisi konten-konten acara lamaran. Masita tersenyum getir. Tak munafik jika ia menginginkan menjadi tokoh utama wanita dalam postingan yang ia lihat. Namun, ia tau jika itu hanyalah sebuah cuplikan bahagia dari suatu hubungan. Masita tau ada banyak hal yang mungkin menjadi bagian tak enak dari proses itu. Masita harus mempersiapkan diri terlebih dahulu dan mempersiapkan calonnya tentu saja.
Di tempat lain, satu persatu penghuni kantor mulai berdatangan. Salah satunya adalah Rere. Rere yang terbiasa berangkat pagi agak heran melihat Pak Ogeh yang sarapan nasi di jam sepagi ini. Setahu Rere, Pak Ogeh sarapan menjelang jam masuk kantor, yang artinya 30 menitan lagi, menunggu warteg dekat kantor buka. Biasanya beliau hanya minum kopi dengan tambahan kue-kue pasar sebelum sarapan berat.
"Pagi, Pak Ogeh. Tumben banget sarapan nasi jam segini. Padahal warteg belum buka. Hayo loh, ntar Mpok Ayi marah pak Ogeh beli nasi di tempat lain," ujar Rere menggoda Pak Ogeh yang memang sedang PDKT dengan pemilik warteg langganannya yang saat ini masih belum buka.
"Eh eh bukan, Neng. Ini tadi dikasih neng Sita. Katanya lagi syukuran."
Rere mengerutkan dahinya. "Syukuran?"
"Iya, Neng. Katanya sih habis lamaran," ujar Pak Ogeh sambil menyantap kembali makanannya.
"Lamaran?!"
Itu bukan suara Rere. Itu adalah suara Hisyam yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Rere.
Hisyam manggut-manggut sambil mengelus dagunya sendiri. "Izin sakit ternyata lamaran. Pinter juga anak itu," gumam Hisyam.
"Siapa yang lamaran, Pak?" Tanya Gilang yang entah sejak kapan berdiri di belakang Hisyam. Rere melongokkan kepalanya ke belakang, melihat apakah ada staf keuangan lain yang berdiri di belakang Gilang. Namun ternyata sudah tak ada lagi, membuatnya mendesah lega.
"Siapa lagi yang kemarin sakit selain Masita?"
Gilang membulatkan mulutnya. Ia segera berlari memasuki kantor setelah berpamitan pada Hisyam dan Rere. Sementara Rere menghela nafas panjang. "Masita ... Apa lagi rencanamu," gumamnya sangat pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find A Husband (END)
ChickLit"Kenapa sih, Mak? Pulang-pulang kok cemberut gitu? enggak boleh ngebon lagi sama Mang Jali?" "Enak aja. Emak mana pernah ngebon." Iis menyerongkan tubuhnya menghadap putri semata wayangnya. "Kamu beneran enggak punya calon suami?" todongnya langsun...