Gagal Move On

12K 908 4
                                    

"Kenapa diam?" Sofia berdiri di depan Satya dengan tangan yang bersedekap di depan dada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa diam?" Sofia berdiri di depan Satya dengan tangan yang bersedekap di depan dada. Ia menatap Satya yang menggaruk belakang telinganya, pertanda bahwa laki-laki itu sedang gelisah.

"Engga mau ngomong?" Sofia masih menatap Satya dengan tatapan menuntutnya. Pria yang usianya lebih tua 5 tahun darinya itu akhirnya menghembuskan nafas pasrahnya dan menyuruh Sofia duduk di sampingnya.

"Kamu mau nanya apa?" tanya Satya membuka suara. Ia sudah pasrah jika Sofia akan mengetahui semuanya. Lagipula, percuma juga jika ia mencoba menyembunyikan sesuatu dari gadis keras kepala sepertinya, ia pasti akan tetap terpaksa berbicara.

"Siapa yang cemburu?" Tanya Sofia.

"Aku gak cemburu," jawab Satya cepat dan setengah berteriak. "Maksudnya, aku enggak cemburu. Hisyam cuma asal bicara aja."

Sofia memutar bola matanya malas. Hidup bersama sedari kecil membuat ia bisa dengan mudah menilai sesuatu dari gerak-gerik Satya. Pria yang tak suka banyak bicara dan cenderung tak peduli dengan omongan sekitar tampak terusik dengan tuduhannya? pantas, kan, kalau ia curiga pada Satya?

"Terus siapa yang dicemburui?"

"Kan udah aku bilang, aku enggak cemburu." Satya kembali mengeraskan suaranya, membuat sofia menutup telinganya.

"Iya gak cemburu. Tapi siapa?"

Satya mendesah. Sofia memang tidak bisa dibohongi ataupun diperdayai. Sifatnya bahkan terlihat sangat berbeda dengan kebiasaannya sehari-hari. Sofia seorang model. Orang-orang yang mengenalnya mungkin akan berkata jika Sofia adalah gadis yang imut, lembut, dan sopan. Tetapi saat bersama Satya, ia berubah menjadi gadis yang tegas. Bahkan hingga membuat Satya tak bisa berkutik.

"Dia balik lagi," ujar Satya akhirnya. Pria itu menatap gadis cantik di depannya dengan raut wajah pasrah. Ia sungguh akan menerima segala cacian, olokan, dan sejenisnya yang akan diberikan oleh Sofia.

"Kan aku udah bilang dari beberapa tahun lalu, tapi kakak enggak mau dengerin. Bukan aku enggak percaya sama kakak, tapi kakak sendiri yang emang gak bisa dipercaya. Aku tau hati kakak tuh susah move on."

Satya langsung menggeleng. "Enggak ya, aku udah move on."

Sofia berdecak. "Kalau udah move on kenapa enggak mau pindahin dia ke kantor cabang?"

"Aku bukan orang yang mencampurkan urusan pribadi dengan urusan kantor ya," bela Satya.

"Ya terus? aku gak mau ya dia bikin kakak gak fokus kerja, apalagi sampai nyakitin kakak lagi. Lagian kenapa sih, kantor cabang juga ada di Jakarta, gaji sama, posisi sama. Bahkan kalau dia di sana mungkin malah bisa jadi manajer. Kakak gak mindahin dia ke sana karena pengen lihat dia kan sebenarnya?" selidik Sofia.

Satya terlihat gelagapan dan kembali menggeleng. "Enggak ya. Kan udah aku bilang kalau aku gak mau nyampurin urusan kantor sama urusan pribadi. Lagian dia daftarnya di sini kok, bukan di kantor cabang. Lagian juga teman-teman baiknya ada di sini, itu bisa membantu meningkatkan produktifitas kinerja karyawan kalau lingkungannya baik."

Sofia melongo. Sejak kapan Satya bisa ngomong panjang lebar untuk menjelaskan sesuatu hal yang menurutnya tidak terlalu penting. Lagipula, sejak kapan Satya tau jika gadis itu memiliki teman baik di sini? apakah diam-diam Satya memperhatikan gadis itu? lagipula, alasan macam apa itu, meningkatkan produktifitas, eh?

"Fix, kayaknya kakak gagal move on."

Satya berusaha menjelaskan kembali pada Sofia yang tampak sudah tak peduli dengan apa yang ia ucapkan. Sebenarnya ia bingung dengan dirinya sendiri. Untuk apa ia menjelaskan hal ini pada adik semata wayangnya. Bukankah itu makin membuatnya seperti pria gagal move on sungguhan?

"Dia udah tunangan," ujar Satya akhirnya. Sofia terkejut. Ia tak percaya jika kakaknya benar-benar sedang cemburu. Namun, ia sungguh tak tega jika kakaknya akan patah hati lagi karena orang yang sama.

"Terus? kakak beneran ga bisa move on?"

Satya menghembuskan nafasnya lelah. Menggeleng sebagai jawaban bahwa ia tak tau dengan apa yang ia rasakan. Ia bingung dengan apa yang ia lakukan.

Tiga tahun lalu, ia pertama kali melihat Masita duduk berderet dengan beberapa orang yang memakai pakaian Hitam putih rapi dan membawa beberapa dokumen di pangkuannya. Ia terkejut dan ... takut. Ia berharap jika orang itu bukanlah orang yang sama, yang pernah ia kenal beberapa tahun lalu. Berkat rasa penasaran, ia mencoba mencari tau. Benar saja, gadis itu adalah gadis yang sama.

Entah apa yang ia lakukan, ia malah membuat surat rekomendasi pada pihak HRD untuk meloloskan gadis itu. Berpikir bahwa ketika gadis itu bekerja di kantornya, ia akan dengan mudah membalaskan rasa sakit hatinya. Namun, harapannya tak pernah terlaksana. Ia hanya bisa memperhatikan gadis itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan gadis itu adalah Masita.

Hampir 3 tahun lamanya, Satya merasa hidupnya baik-baik saja ketika Masita berada satu kantor dengannya. Masita tidak mengingatnya, hal itu memudahkan Satya untuk mulai menerima apa yang pernah terjadi. Namun, beberapa bulan yang lalu, ia hidup tak tenang karena Masita tiba-tiba gencar mendekatinya. Ia tak tau apa alasannya, Masita secara terang-terangan berusaha mendekati bahkan menggodanya. Untung saja Satya masih bisa mengontrol dirinya.

Satu hal yang Satya takutkan adalah dipermainkan oleh orang yang ia harapkan kehadirannya. Ia pikir setelah apa yang dilakukan Masita di masa lalu, perasaannya dapat hilang. Ia rasa sakit yang ditorehkan Masita di masa lalu membuatnya membenci gadis itu. Akan tetapi kenyataannya ia malah mengizinkan Masita hidup nyaman di sekitarnya. Harusnya ia sadar, membiarkan Masita di dekatnya sangat beresiko membuatnya jatuh hati lagi. Ia harusnya paham sedari awal jika hatinya mudah luluh oleh sosok gadis itu.

Pernyataan rasa suka Masita terhadap dirinya sempat membuatnya ingin langsung menerima gadis itu dan memaafkan segala kesalahannya. Namun, akal sehatnya berbisik bahwa ia tak boleh dengan mudahnya merelakan harga dirinya digenggam oleh gadis itu. Ia mengingat-ingat segala rasa sakitnya dahulu, walaupun hal itu juga turut menyakitinya.

Pertemuannya dengan Masita di salon kemarin sempat membuatnya terkejut. Sepertinya Masita benar-benar melakukan apa yang ia perintahkan. Namun, bukannya melupakan Masita, ia justru semakin kepikiran dengan penampilan Masita yang baru. Gadis itu terlihat sangat cantik dan imut. Dengan hidung mancung dan bibir mungil yang seakan menghipnotisnya untuk mendekat. Namun, di luar hal itu, Satya lebih terkejut lagi saat Sofia--adiknya--dengan frontal mengatakan jika ia adalah tunangan Satya. Satya masih ingat dengan jelas raut wajah terkejut dan kecewa dari Masita. Hal itu membuatnya sedikit senang karena yakin jika Masita benar-benar menyukainya.

Keterkejutan Satya tak berhenti di situ. Kabar bahwa Masita telah betunangan membuat moodnya langsung anjlok. Ia ingin marah. Ia merasa Masita mempermainkan perasaannya. Gadis itu lagi-lagi memporak-porandakan hatinya. Ia tak rela. Ia sungguh tak rela jika Masita hidup bahagia di atas penderitaannya. Namun, lagi-lagi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia akui jika ia lemah terhadap perasaannya.

"Maaf," lirih Satya.

Sofia menghela nafasnya. "It's okey. Kakak gak butuh perempuan kayak dia. Masih banyak perempuan baik yang tulus sama Kakak. Please, buka hati kakak dan lupakan perempuan itu. Kalau aku lihat kakak kayak gini lagi, aku yang akan turun tangan."

Sofia pergi, meninggalkan kakaknya yang tampak bergeming. Ia tau tak mudah melupakan cinta pertama, tapi ia juga tak mau kakaknya tersakiti lagi.

Find A Husband (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang