Pagi ini divisi keuangan dikejutkan dengan kabar bahwa Masita mengundurkan diri secara tiba-tiba. Tidak ada yang tau mengenai rencana Masita ini sebelumnya, bahkan Rere yang merupakan orang terdekatnya di kantor pun tidak tau menahu soal ini.
Kemarin Masita izin sakit, ia hanya bilang ke Rere jika kepalanya sangat pusing sehingga tidak bisa pergi ke kantor. Rere pikir Masita sakit kepala biasa, tetapi mendengar kabar hari ini membuatnya berpikir jika Masita tidak benar-benar sakit kepala, pasti ada alasan lain yang menyebabkan Masita memutuskan untuk izin dan mengundurkan diri.
Masita hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun kepada rekan kerjanya yang bertanya. Ia tidak ingin teman-temannya mengetahui alasan yang sebenarnya. Dan ia juga sedang tidak ingin berbohong. Mungkin nanti ketika ia sudah resmi resign dari kantor, ia akan bercerita pada Rere. Namun untuk sekarang, lebih baik siapa pun tak ada yang tau.
Sejak dua hari yang lalu Masita izin sakit. Ia tidak berbohong. Sejak kepulangannya dari rumah Satya, kepalanya benar-benar terasa pusing dan keesokan harinya demam. Masita sudah menceritakan semuanya kepada orang tuanya. Tentang Satya dan Sofia, tentang traumanya yang kembali muncul. Hal itu membuat Iis dan Mahfud sempat khawatir dan ingin mengajak Masita ke rumah sakit. Namun, Masita enggan.
Masita sudah berpikir matang-matang tentang keputusannya untuk mengundurkan diri. Meninggalkan pekerjaan yang sudah hampir 5 tahun ini menjadi rutinitasnya, meninggalkan teman-teman kerjanya yang sudah ia anggap sebagai keluarga, dan meninggalkan gaji jutaan yang ia harapkan setiap bulannya memang bukan hal yang tidak mudah. Tapi ia masih memikirkan kesehatan mentalnya juga kesehatan hatinya.
Masita juga sudah berdiskusi dengan Mahfud. Rencana resignnya didukung oleh kedua orang tuanya setelah mereka tau jika penyebab sakit anaknya bertahun-tahun lalu ada di tempat yang sama. Kini, Masita ingin hidup dengan damai tanpa bayang-bayang masa lalu. Ia sudah menemukan Rega, dan Rega baik-baik saja. Itu sudah cukup untuk menutup buku masa lalunya yang usang. Kini ia perlu menulis cerita di buku yang baru.
"Kamu ada masalah? Kok enggak cerita ke aku?" Rere tetap setia duduk di samping Masita, menunggu gadis itu menyelesaikan makan siangnya.
Masita mendesah pelan. "Maaf, ya, Re. Aku belum bisa cerita sekarang. Tapi aku janji, habis aku resign, aku bakal cerita. Tunggu sebulan lagi, ya."
Sesuai prosedur perusahaan, Masita harus menunggu selama 30 hari lagi sebelum benar-benar bisa berhenti bekerja dari perusahaan ini. Mengenai ACC dari atasan, Masita sudah mendapatkan izin. Awalnya Hisyam sempat menolak dan membujuk Masita agar mengurungkan niatnya itu. Posisi Masita yang menjadi asistennya membuatnya agak sulit untuk memberikan ACC. Namun, lagi-lagi Masita kekeuh ingin resign. Ia mengatakan jika ia berkarir di tempat lain, membuat Hisyam tidak bisa menahannya.
Lima menit berjalan, akhirnya Masita menyelesaikan makannya. Ia mengajak Rere untuk kembali ke ruangan mereka. Di perjalanan, mereka berpapasan dengan Satya. Masita tersenyum dan menunduk. Bersikap profesional menjadi hal yang harus ia lakukan. Lagi pula ia tidak ingin orang lain tau hubungannya dengan Satya.
"Pak Satya kelihatan kayak orang ga tidur. Kantung matanya kelihatan banget," ujar Rere berbisik.
"Banyak kerjaan kali." Masita mengedikkan bahunya seakan tak acuh. Padahal tadi ia sempat terkejut melihat keadaan Satya. Pria itu terlihat sangat lelah. Tapi Masita tak ingin terlalu percaya diri. Sangat mungkin jika alasan Satya kelelahan adalah memang karena pekerjaannya, bukan tentang kejadian tiga hari yang lalu.
"Tapi dia kayak semangat gitu tadi pas lihat kamu," ucap Rere membuat hati Masita ketar-ketir. Please lah, Rere. Jangan membuatku gagal move on, batinnya.
"Mana ada, salah lihat kali." Masita kembali mengedikkan bahunya.
"Iya kali ya. Mana mungkin pak Satya tiba-tiba semangat lihat kamu, biasanya juga lari kalau lihat kamu," canda Rere.
Masita mengerucutkan bibirnya. "Emang aku hantu, sampe pak Satya harus lari."
Rere tertawa pelan, diikuti dengan Masita. Melihat senyum Masita yang kembali terbit, membuat Rere sedikit lega. Namun, ia sedikit menaruh curiga pada Masita dan Satya yang terlihat aneh, berbeda dari biasanya.
"Sita!"
Masita menoleh ke samping, melihat Miho yang tengah berlari ke arahnya. "Hallo."
"Hai, Re," sapanya kepada Rere yang hanya dibalas dengan senyum dan anggukan. Miho kembali fokus ke arah Masita.
"Kamu beneran mau resign?"
"Iya bener, dong. Masak pura-pura," Jawab Masita santai.
Miho memandang Masita sedih. "Yah...."
"Kok, yah....?"
"Ya enggak ada lagi yang bisa diajak jajan pulang ngantor."
Masita tertawa, melirik ke arah Rere yang menunduk. "Kan ada Rere," ujarnya membuat Rere terbatuk. Ia melotot ke arah Masita, protes karena namanya disebut-sebut. Masita tersenyum lebar. Sejujurnya ia baru menyadari jika Rere sepertinya menaruh perasaan dengan Miho. Itu juga alasannya sekarang ia tak ingin dekat-dekat dengan Miho. Ia tau Rere tak pernah mempermasalahkan kedekatannya dengan Miho, karena Rere tau bagaimana hubungannya dengan Miho. Namun, Masita juga ingin menjaga perasaan Rere. Ia bisa merasakan bagaimana rasa sakitnya ketika orang yang kita suka justru menyukai teman dekat kita sendiri.
"Ya, kan, Re?" goda Masita.
"Eh ... kok aku? Udah ah, aku balik ke ruangan dulu ya." Tanpa menunggu tanggapan Masita, Rere bergegas untuk segera pergi dari sana.
"Jam makan siang sudah habis, kenapa masih di sini?" Satya tiba-tiba menyela Miho yang ingin mengatakan sesuatu pada Masita. Entah bagaimana bisa Satya sudah berada di sini, padahal tadi Satya berjalan keluar kantor. Masita pikir Satya ada urusan di luar.
Miho tersenyum tak enak. Ia segera meminta maaf dan segera kembali ke ruangannya setelah berpamitan dengan Masita dan Satya. Masita juga melakukan hal yang sama. Ia meminta maaf dan pamit untuk kembali ke ruangannya. Namun, Satya menghentikannya.
"Maaf, Pak. Jam makan siang sudah habis. Saya harus segera kembali jika bapak tidak ada yang ingin didiskusikan dengan saya mengenai masalah pekerjaan," ucap Masita dengan penekanan di akhir kalimatnya.
"Aku minta maaf."
Masita menaikkan alisnya bingung. Apalagi persona yang digunakan Satya sudah berbeda dari biasanya.
"Maaf?"
"Tentang tiga belas tahun lalu."
Masita tersenyum. "Saya permisi jika tidak ada pekerjaan yang ingin dibahas."
Masita mengangguk permisi dan berjalan meninggalkan Satya. Ia mendesah, menyadari jika ia menahan nafas ketika berhadapan dengan Satya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Semoga pilihannya kali ini tidak salah. Ia benar-benar harus menghindari Satya selama sebulan ini. Jangan sampai move onnya gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find A Husband (END)
ChickLit"Kenapa sih, Mak? Pulang-pulang kok cemberut gitu? enggak boleh ngebon lagi sama Mang Jali?" "Enak aja. Emak mana pernah ngebon." Iis menyerongkan tubuhnya menghadap putri semata wayangnya. "Kamu beneran enggak punya calon suami?" todongnya langsun...