Akhir-akhir ini Masita merasa tubuhnya sangat letih. Mungkin itu juga efek dari masalah yang dihadapinya beberapa hari ini. Sudah seminggu sejak ia mengajukan surat pengunduran dirinya, dan seminggu itu pula Masita merasa letih luar biasa.
Masita orang yang ceria, pandai bergaul, pemberani, dan sifat-sifat lain yang mungkin orang akan mengatakan jika Masita adalah sosok ekstrovert. Namun, nyatanya Masita juga memiliki sisi introvert. Berinteraksi dengan orang lain membuat jiwanya lelah. Meskipun ia cukup menyukainya.
Masita mendesah lelah. Layar komputer yang menampilkan barisan angka-angka dengan nominal milyaran rupiah membuatnya cukup pusing. Ia tidak mengerti kenapa ia dulu mengambil jurusan Akuntansi dan bekerja di bidang keuangan, padahal sejak SMK, ia lebih tertarik dengan dunia bahasa. Mungkin efek Masita penasaran dengan uang milyaran, walaupun nyatanya uang milyaran itu ghaib, hanya berupa angka, dan tidak terlihat wujud uangnya.
Nanti kalau dirinya hamil dan ngidam, ia akan minta suaminya untuk membantunya agar bisa melihat wujud uang 1 milyar kali ya, batinnya berkhayal.
"Berarti harus kaya. Ya siapa lagi kalau bukan Satya. Aduhhh..." Masita mendesah lelah. Akhir-akhir ini pikirannya benar-benar runyam. Apa saja yang dipikirkannya, selalu saja bermuara pada Satya. Padahal ia berniat ingin menghindari dan mengakhiri segala sesuatu yang berhubungan dengan Satya. Tapi ternyata sulit sekali, lebih sulit dari pada memasak.
Bicara soal memasak, Masita berniat untuk mengikuti kelas membuat kue. Setelah keluar dari sini, Masita ingin belajar untuk membuat kue. Bukan untuk usaha, tapi ia hanya ingin belajar sekaligus mengisi waktu luangnya ketika nanti ia menjadi pengangguran. Sejujurnya Masita berniat untuk bekerja sebagai freelancer, namun mungkin pekerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk ia bisa mendapat penghasilan sesuai dengan targetnya. Dan karena freelance adalah pekerjaan yang fleksibel, jadi ia bisa sambil mencari kegiatan lain.
Suara ketukan keybord dan bunyi printer menandakan jika laporan keuangan yang sudah Masita buat sudah selesai dan siap untuk diantar ke Hisyam.
"Ini, Pak."
"Antarin ke pak Satya," kata Hisyam menghentikan langkah Masita yang ingin kembali ke mejanya. Masita menatap Hisyam seakan ingin protes, namun Hisyam sama sekali tidak peduli.
"Itung-itung ujian buat kamu sebelum resign," sahut Hisyam dengan santai.
Masita mengerucutkan bibirnya. Tangannya dengan kesal mengambil map berisi laporan yang ia buat dan segera bergegas meninggalkan Hisyam. Salah satu hal yang tidak ia sukai saat masa one month notice adalah ketika beban pekerjaan seakan-akan dilimpahkan kepadanya. Seakan-akan memberikan pengalaman berharga yang akan ia ingat meskipun ia telah keluar dari perusahaan ini. Seakan-akan mereka berkata bahwa, "Ini kali terakhir perusahaan bisa menyuruh ini itu, jadi maksimalkan".
Ruangan Mia sepertinya sedang kosong. Mia tak ada di tempat, jadi Masita memilih untuk langsung masuk menuju ke ruangan Satya. Ia mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan beberapa saat. Karena tak mau lama-lama menunggu, Masita langsung membuka pintu ruangan Satya. Ia sedikit terkejut ketika melihat Satya ternyata ada di dalam, tetapi pria itu tidak menyadari kehadirannya.
"Permisi." Masita kembali mengetuk pintu ruangan itu dengan sedikit keras. Namun, Satya masih saja tidak menyadari kehadirannya. Pria itu tampak sedang berbicara sendiri dengan seikat bunga ada di tangannya. Seakan-akan ada seseorang yang berada di depannya. Bulu kuduk Masita langsung berdiri. Ia kemudian kembali mengetuk pintu dan mengucapkan permisi dengan suara yang lebih keras.
Satya menoleh dan terkejut. Ia berdiri, menyembunyikan bunga yang ia pegang tadi ke belakang tubuhnya. Terlihat sia-sia karena Masita sudah melihatnya, namun pria itu tetap melakukannya. Dengan gelagapan, Satya mengucap, "Bukan bunga untukmu."
Masita memutar bola matanya. "Saya enggak bilang bunga itu buat saya, dan saya juga enggak peduli."
Respon Masita membuat Satya terlihat tampak bodoh. Ia kemudian meletakkan bunga itu ke meja. Ia terlalu berharap Masita mengira jika ia sedang menyiapkan bunga untuknya.
"Ada apa?"
"Ini laporan yang bapak minta. Sudah saya cek. Jika ada sesuatu yang kurang, Bapak bisa mengatakannya ke pak Hisyam atau langsung menghubungi saya. Terima kasih. Saya permisi dulu."
Satya hanya mengangguk sebagai respon. Ia tak memiliki alasan untuk menahan Masita agar lebih lama berada di sana. Lagi pula, ia sudah terlanjur malu dengan kejadian tadi. Ia yakin Masita sudah melihat apa yang dia lakukan tadi. Jangan sampai Masita menganggapnya sudah gila.
Masita buru-buru menuju kantin ketika sudah menyelesaikan tugasnya untuk membuat update data inventaris perusahaan. Istirahat jam makan siang sebetulnya sudah dimulai 10 menit yang lalu. Tetapi berhubung pekerjaannya tinggal sedikit, dan takutnya Masita lupa sampai mana, ia akhirnya memilih untuk menyelesaikannya dulu. Alhasil ia sedikit kelaparan saat keluar ruangannya.
Kantin sudah cukup ramai. Masita tidak tau teman-temannya duduk di sebelah mana, jadi ia memutuskan untuk mencari tempat duduk sendiri. Untung saja tersisa satu bangku kosong yang berada di tengah. Walaupun Masita tak suka posisi itu, tapi ia tetap duduk di sana.
"Eh...." Masita terkejut ketika Miho tiba-tiba duduk dan tersenyum kepadanya. Pria itu sudah membawa semangkuk soto dan es teh. Masita seakan linglung. Putaran kejadian di pantry membuatnya malu bertemu dengan Miho. Setelah kejadian beberapa hari lalu itu, Masita sama sekali belum bertemu atau sekadar menghubungi Miho. Tatapan kecewa laki-laki itu membuatnya sungkan untuk menyapa.
"Gak apa-apa kan kalau aku duduk di sini? Atau kamu mau duduk sendiri?"
Masita tersadar. Ia segera duduk dengan senyum tak enak menghiasi wajahnya. "Enggak apa-apa, kok. Kan ini inventaris perusahaan. Siapapun boleh duduk di sini. Hehe..." ujarnya canggung.
"Em ... aku boleh nanya sesuatu?"
Masita mendongak dan mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu ... ada hubungan apa dengan pak Satya?" tanya Miho ragu-ragu setelah Masita mengangguk.
Masita semakin tak nyaman. Ia bingung ingin menjawab apa. Kalau dijawab bahwa ia tak memiliki hubungan apa pun dengan Satya, takutnya Miho akan semakin berharap padanya. Tapi kalau dijawab bahwa mereka pernah dekat, Masita takut membuat Miho semakin kecewa padanya. Ia juga takut akan ada gosip yang tidak-tidak jika ia mengatakan bahwa Satya sedang berusaha mendekatinya.
"Kita gak ada hubungan apa-apa, kok. Kamu cuma salah paham aja. Kemarin pak Satya kepleset makanya mau nubruk aku," ujar Masita berbohong pada akhirnya. Ia pikir akan lebih baik jika seperti itu. Hal itu membuat Miho tak kuasa menyembunyikan senyumnya. Namun, baru saya Miho tersenyum lebar, suara Satya membuat senyum itu kembali meredup. "Kita pacaran, udah dari SMA dan belum putus sampai sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Find A Husband (END)
ChickLit"Kenapa sih, Mak? Pulang-pulang kok cemberut gitu? enggak boleh ngebon lagi sama Mang Jali?" "Enak aja. Emak mana pernah ngebon." Iis menyerongkan tubuhnya menghadap putri semata wayangnya. "Kamu beneran enggak punya calon suami?" todongnya langsun...