"Huft ... laper. Kok lama banget sih istirahat makan siangnya," keluh Masita. Pukul 10.25 WIB, dan lambungnya sudah terasa terkikis, menimbulkan suara seperti gelembung air dalam perutnya. Salahnya sendiri, semalam ia tak makan, pun hari ini ia juga tidak sarapan.
Masita mendongak, menatap atap ruangan tempat ia mencari uang dengan mata yang sedikit berkunang-kunang. Selain lapar, hari ini ia juga merasa sangat lemas. Hari kedua menstruasinya memang cukup menguras tenaganya. Nyeri di perutnya menambah rasa letih dan cukup membuat emosinya naik turun, seperti nyerinya yang muncul dan menghilang tiba-tiba.
Masita kembali menunduk, kemudian menoleh ke sekitarnya. Melihat bilik-bilik kerja rekannya yang lain, yang tampak hening. Hanya ada suara keyboard ditekan, juga suara kertas yang dibolak-balik. Ia ingin pergi ke bilik Rere, tetapi ia urungkan ketika melihat wajah Rere yang tampak juga kelelahan. Teman-temannya yang lain? mereka juga tampak pusing dengan pekerjaannya hari ini. Hari ini Divisi Keuangan sedang terkena masalah yang cukup menguras pikiran. Ada kesalahan input data dalam laporan keuangan membuat perusahaan rugi. Walaupun tidak banyak, tetapi namanya rugi pastilah buruk. Mereka semua kena tegur. Bukan hanya oleh Hisyam, tapi juga oleh Satya.
Suara pintu dibuka, menampilkan Sofia yang menolehkan kepalanya ke sekeliling ruangan, terlihat seperti sedang mencari seseorang. Masita berdiri dengan lemas. Pandangannya terasa semakin berputar-putar. Kepalanya seakan dihantam beban. Dengan susah payah ia mencoba tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Sofia. Sofia tersenyum dan segera berjalan menuju ke bilik Masita. Namun, sebelum ia sampai, Masita sudah lebih dulu ambruk hingga membuat satu ruangan panik.
^MISYUNA^
"Kenapa enggak bilang sih kalau sakit? kan bisa izin dulu." Rere yang pertama kali Masita lihat di ruangan serba putih ini. Tidak, Masita tidak berada di rumah sakit. Ia sedang berbaring di klinik kantor yang memang dikhususkan untuk karyawan. Bau minyak kayu putih membuat rasa pening di kepalanya berangsur membaik. Ia menoleh ke sekelilingnya, hanya ada Rere di sana. Teringat sesuatu, ia segera menatap jam tangannya. Sudah pukul 14.00 WIB.
"Kamu udah makan siang, Re?" tanyanya mengabaikan pertanyaan Rere.
"Udah, tadi dibelikan makan sama adik pak Satya," jawabnya dengan mata yang menatap Masita curiga. Ia sedang bertanya-tanya sejak kapan Masita dekat dengan adik Satya yang sempat mengaku sebagai tunangan Satya itu?
"Kamu mau makan?" Rere kembali bertanya. Masita membalasnya dengan anggukan. Ia menatap Rere yang bergerak berjalan menuju meja nakas dan mengambil kantong berisi nasi dan sup, pembalut, dan dua botol Kiranti. "Titipan dari adiknya pak Bos," ujar Rere sebelum Masita bertanya.
Rere bergegas menyiapkan makanan titipan Sofia itu setelah membantu Masita untuk duduk. Ia bahkan menyuapi Masita juga. Setelah selesai dengan makannya, Rere pamit untuk kembali ke ruangannya karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya.
Tak berselang lama sejak Rere meninggalkan Masita sendirian, Sofia masuk ke klinik. Ia tidak sendiri, tapi di belakangnya ada Satya yang tampak berjalan ogah-ogahan. Masita mendesah malas. Melihat wajah Satya yang ditekuk membuat moodnya seketika anjlok. Ingin sekali ia memarahi Satya sampai puas, walaupun ia tidak tau apa kesalahan Satya.
"Udah makan?"
"Udah. Makasih ya. Makasih juga Kirantinya."
Sofia tersenyum. Matanya bergerak melirik Satya yang berdiri di belakangnya. "Kakak yang beliin Kiranti sama pembalut."
Satya dan Masita sontak sama-sama terbatuk. Masita menatap Satya dengan pandangan yang sulit diartikan, sementara Satya terlihat tak suka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sofia. Satya tak membeli pembalut dan Kiranti itu. Ah bukan. Satya memang membeli dua benda keramat itu, tapi bukan untuk Masita. Tadi siang, Sofia tiba-tiba menelponnya dan mengatakan dirinya sedang nyeri haid. Adik perempuannya itu memintanya untuk membelikan pembalut dan Kiranti. Jadi Satya membeli dua benda itu bukan untuk Masita, tapi untuk Sofia. Walaupun pada akhirnya Sofia memberikannya kepada Masita.
"Engga. Saya enggak belikan itu buat kamu." Satya tetap mencoba mempertahankan egonya.
"Saya juga enggak minta dibelikan sama Bapak."
"Ya emang saya enggak beliin kamu, saya beliin buat adik saya."
"Ya udah. Saya juga enggak anggap ini dari Bapak, kok."
"Ya kamu jangan lihat saya kayak gitu dong."
"Kayak gitu gimana? saya lihatnya biasa aja. Bapak tuh yang baperan."
"Enak aja. Saya enggak pernah baper."
Sofia yang berada di antara pertikaian kakaknya dan Masita itu mulai emosi. Ia langsung saja menggebrak nakas di sampingnya hingga menimbulkan suara yang cukup keras, membuat kedua manusia berbeda jenis kelamin itu terdiam.
"Udah selesai? Apa susahnya sih bilang 'iya aku yang beliin, 'iya makasih'. Gitu aja repot," ujar Sofia dengan kesal. Masita dan Satya sama-sama terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Gimana, udah enakan?" Sofia menatap Masita dengan khawatir. Tadi pagi ia sempat bertukar pesan pada Masita. Masita mengatakan bahwa ia sedang nyeri haid. Kebetulan saat itu ia memang tidak ada pekerjaan, sehingga Sofia memutuskan untuk ke kantor kakaknya. Saat diperjalanan, terlintas ide untuk menjahili Satya, hitung-hitung sebagai bagian dari rencananya untuk mendekatkan Masita dan Satya. Ia sengaja menghubungi Satya dan mengatakan jika dia sedang dalam perjalanan menuju kantornya dengan keadaan kesakitan luar biasa, sehingga ia meminta Satya untuk segera membelikannya pembalut juga minuman khusus perempuan haid itu. Untung saja Satya mau dan bergegas pergi membeli barang yang dibutuhkannya.
"Udah," ucap Masita. Matanya melirik Satya sekilas. Kemudian mendengus kesal. Entah mungkin karena efek menstruasi, emosinya sedang tidak stabil. Ia ingin mengamuk di depan Satya.
Sofia menarik kursi di dekatnya untuk ia duduki. Mereka berdua mulai terhanyut dalam obrolan yang seru. Satya yang melihatnya semakin curiga. Terakhir kali Masita dan Sofia bertemu, mereka terlihat tidak akur sama sekali. Selang beberapa hari saja, bagaimana mungkin mereka terlihat sangat dekat layaknya seorang sahabat yang lama tak berjumpa?
Memilih untuk tak mau ambil pusing, Satya akhirnya pamit untuk kembali ke ruangannya karena ia sendiri juga tidak tahu untuk apa ia di sana. Dan menyebalkan sekali ketika Satya pamit, dua perempuan yang asik mengobrol itu sama sekali tidak meresponnya, melihat pun tidak.
Sementara itu, setelah Satya keluar dari ruangan, Sofia mendadak berubah serius. Ia menyudahi obrolan absurdnya dengan Masita. Kedatangannya ke kantor kali ini bukanlah hanya untuk menengok Masita, melainkan ada sesuatu hal lain yang ingin ia pastikan sebelum rencananya berjalan terlalu jauh.
"Dua minggu ke depan hari ulang tahunku, aku pengen kamu bantu aku buat nyiapin ultahku di rumah."
Masita diam sejenak dengan menautkan alisnya bingung. "Aku?" tanyanya ragu. Pasalnya ia belum terlalu yakin dengan kedekatannya dengan Sofia. Dan lagi, Sofia pastilah memiliki teman atau sahabat yang mungkin lebih pantas untuk membantunya menyiapkan acara yang menurut Masita masuk ke ranah privasi itu.
"Iya. Di Indonesia kamu yang paling dekat dengan aku. Lagi pula ini juga kesempatan buat kamu dekat dengan kakak," ucap Sofia mencoba untuk meyakinkan.
Masita tampak kembali berpikir. Lama ia diam membuat Sofia kembali berujar. "Kamu enggak mau bantuin aku?" ucapnya dengan nada sedih.
"Okedeh kalau gitu. Nanti aku bantuin."
Sofia tersenyum tipis. Semoga saja rencana berhasil dan apa yang ia ingin tau segera terungkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find A Husband (END)
ChickLit"Kenapa sih, Mak? Pulang-pulang kok cemberut gitu? enggak boleh ngebon lagi sama Mang Jali?" "Enak aja. Emak mana pernah ngebon." Iis menyerongkan tubuhnya menghadap putri semata wayangnya. "Kamu beneran enggak punya calon suami?" todongnya langsun...