Kabar menghebohkan kembali muncul dari divisi keuangan dengan tokoh utama yang sama. Setelah kemarin Masita sempat membuat terkejut dengan pengumuman resignnya, kali ini rekan-rekannya dibuat terkejut dengan adanya buket bunga yang masih segar di atas meja kerja Masita. Bunga itu asli, bukan bunga plastik. Dengan logo dari florist ternama, teman-teman Masita mulai menerka-nerka jika pengirim bunga itu bukanlah orang biasa. Dengan ukuran yang cukup besar, sudah dipastikan harga buket itu juga tidaklah murah. Untuk ukuran karyawan biasa, sepertinya tidak mungkin mereka menghabiskan uang yang bisa untuk makan satu bulan hanya untuk membeli bunga. Kecuali orang itu tidak ada tanggungan dan termasuk pria-pria yang terkena virus bucin.
Di tengah buket bunga itu terdapat sebuah surat kecil yang tertulis Masita sebagai penerimanya. Masita tak bisa mengelak, mungkin jika bunga itu tak ada nama penerimanya, ia bisa mengatakan jika itu bukan miliknya. Tapi sungguh ia pun juga tidak tau siapa pengirim bunga itu.
"Orang iseng kali," ujarnya kesal karena diberondong pertanyaan oleh rekan sedivisinya.
"Mana ada orang iseng yang ngorbanin masa depan perutnya cuma buat beli bunga, kecuali orang-orang kayak pak Satya noh, yang duitnya enggak abis-abis." Gilang berujar frontal, membuat Masita terbatuk ketika mendengar nama Satya disebut. Ia termenung, apa jangan-jangan memang ini dari Satya. Tapi ia segera menggeleng. Menyumpahi Gilang dalam hati karena membuatnya kepikiran tentang Satya.
"Kenapa geleng-geleng?" Gilang menatap Masita curiga.
"Apa sih. Sirik. Udah sana kerja kerja kerja." Masita mengayunkan tangannya mengusir teman-temannya yang lain. Nada mendesah kecewa membuatnya tak enak hati. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak mau melanjutkan prasangka-prasangka mereka terhadapnya. Siapa pun pengirim bunga ini, ia harap bukan Satya orangnya.
Belum juga Masita mengAamiinkan doanya, sosok Satya sudah muncul masuk ke ruangannya dengan wajah yang sumringah. Namun justru hal itu membuat hawa di ruangan itu seakan mencekam. Satya tak pernah terlihat seceria ini sebelumnya.
"Kenapa senyum-..." Senyum Hisyam pudar ketika Satya berjalan melewatinya begitu saja dan berhenti di depan meja Masita. Satya menatap Masita dengan masih menampilkan senyum lebarnya, membuat semua orang di sana mengedikkan bahu karena merinding. Beberapa teman yang berdiri di dekat Masita bahkan sampai menahan nafasnya takut.
"Udah dibaca suratnya?" Satya bertanya dengan nada yang lemah lembut, mengabaikan tatapan tercengang dari staf kantornya.
Masita membeo, ia tampak bingung dengan maksud pertanyaan Satya. Namun, gerakan tangan Satya yang mengambil kartu ucapan di tengah bunga yang ia pegang cukup menjelaskan maksudnya.
"Oh ... belum dibuka," gumam Satya. Ia kemudian menyerahkan kembali bunga itu kepada Masita. Tubuhnya merendah mendekat ke wajah Masita yang tampak terkejut. "Jangan lupa dibaca, ya, cantik," bisik Satya.
Masita tertegun, berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan senyumnya. Kupu-kupu yang datang tiba-tiba di dalam perutnya memberikan sensasi rasa yang menggelitik. Ia yakin sekarang wajahnya sudah memerah malu. Kalau begini bagaimana bisa ia move on?
***
"Kampret. Pelet Masita manjur," ujar Rose yang langsung digeplak oleh Rere. Perempuan hamil itu mengerucutkan bibirnya kesal, namun tetap beristighfar agar anak kelak tidak meniru perkataannya. Jam makan siang hampir habis, dan mereka memanfaatkannya sisa waktunya untuk mengintrogasi Masita.
"Tau-taunya emang dari pak Satya," Gilang berdecih pelan karena merasa tebakannya tadi hampir saja benar.
"Jadi ... kamu mau resign karena ngejar karir di tempat lain atau ... mau nikah sama Satya?" Hisyam berbisik ke arah Masita.
"Mana ada saya nikah sama pak Satya. Saya enggak ada hubungan apa-apa sama beliau. Tanya aja sendiri. Saya juga udah enggak berminat. Efek pelet dulu kali, manjurnya baru sekarang." Masita mengacuhkan teman-temannya yang masih sibuk menerka-nerka. Dari pada mendengarkan pertanyaan-pertanyaan mereka, Masita memilih untuk pergi ke pantry untuk membuat kopi.
Namun, bukan ketenangan, yang ada emosinya kembali diaduk-aduk. Tuti sedang duduk bersantai di pantry. Masita mengabaikan tatapan Tuti yang seakan menelanjanginya. Lagi pula tujuannya ke sini untuk membuat kopi, bukan adu emosi.
"Udah kamu apain pak Satya sampai dia bertekuk lutut sama kamu?" Tuti memandang Masita tajam.
Mengerutkan keningnya, Masita mendesah pelan. "Oh, kabarnya udah nyampe ke Situ. Baguslah, aku jadi enggak perlu ceritain ke kamu lagi. Cemburu ya?" Masita tertawa mengejek, membuat Tuti tersulut emosinya.
"Awas aja, kamu. Pak Satya itu punyaku," akunya.
"Saya bukan punya siapa-siapa." Satya muncul dengan mata memincing. Tuti kelabakan sementara Masita tersenyum mengejek. Ia berbisik, "Awas loh, besok dipecat."
Tuti yang ketakutan akhirnya meminta maaf dan pergi setelah Satya menyuruhnya untuk kembali bekerja karena jam makan siang sudah selesai.
"Ada apa?" Masita bertanya. Bukannya menjawab, Satya justru malah mengambil gelas yang dipegang Masita. Mengisinya dengan bubuk kopi dan menyeduhnya. Kemudian memberikannya kembali kepada Masita.
Masita menerima kopi itu. Ia duduk di kursi pantry sambil menikmati kopinya. Sejujurnya tujuannya kemari bukan tak lain untuk menerima undangan Satya yang berasal dari bucket bunga pagi tadi. Masita berpikir untuk tak datang. Tapi akhirnya ia memilih untuk datang agar masalah ini segera selesai, dan ia bisa bekerja di sisa-sisa harinya di kantor dengan nyaman.
"Aku minta maaf."
Masita mendesah pelan dan tersneyum tipis. "Ini salah paham. Kita sama-sama korban. Kita sama-sama merasa sakit. Bapak minta maaf, dan saya juga minta maaf. See, masalah selesai. Jadi ... bisa tidak Bapak jangan menggiring opini orang kantor untuk curiga pada hubungan kita? Dan jangan ganggu saya."
"Tapi kamu kelihatan masih marah sama aku."
"Marah gimana? Saya biasa aja." Masita mendesis. Menolehkan kepalanya ketika melihat Satya menggelung lengannya. Rere tolongin aku, pak Satya lagi tebar pesona, jeritnya dalam hati.
"Tapi kamu menghindari aku."
Masita mengerjapkan matanya. "Menghindari gimana, Bapak. Saya biasa aja. Kalau menghindar saya enggak akan di sini."
Satya memijat pelipisnya. Ia merasa bingung dengan keadaannya saat ini. Mengetahui jika Masita tak pernah berniat untuk menyakitinya dulu, membuat perasaannya membuncah. Ia tak pernah benar-benar bisa melupakan Masita. Dan sekarang, kepalanya hanya dipenuhi oleh Masita saja.
Satya mendekat ke arah Masita. Memutar kursi gadis itu agar menghadapnya. Tangannya ia tumpukan pada sisi pantry untuk mengunci fokus Masita.
"Bapak mau ngapain? istighfar, Pak. Istighfar. Saya belum siap di unboxing. Eh maksud saya, Bapak jangan macam-macam ya."
"Beri saya kesempatan."
Masita diam. Hatinya berdesir. Tatapan Satya mengingatkannya pada tatapan kak Rega 13 tahun yang lalu. Tatapan tulus yang membuat hatinya tenang. Yang membuat dirinya berani untuk menaruh kepercayaan ke orang. Kini, ia melihat tatapan itu lagi. Tapi dalam situasi yang berbeda.
"Sa-saya...."
"Uhuk." Tubuh Satya terdorong ke belakang. Sementara Masita berdiri gugup. Miho ada di sana. Menatap Masita dengan tatapan yang ... sedih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Find A Husband (END)
ChickLit"Kenapa sih, Mak? Pulang-pulang kok cemberut gitu? enggak boleh ngebon lagi sama Mang Jali?" "Enak aja. Emak mana pernah ngebon." Iis menyerongkan tubuhnya menghadap putri semata wayangnya. "Kamu beneran enggak punya calon suami?" todongnya langsun...