"Papa sama kakak lagi nebus obat, Kara sama mama dulu ya?"
Kara terdiam di atas ranjang, memandangi kaki telanjangnya yang menggantung. Setelah seminggu mendekam di rumah sakit akhirnya Kara boleh keluar dari tempat terkutuk ini. Habis ini ia berencana ke makam Langit untuk yang terkahir kalinya. Kara akan mengikuti kata Langit agar ikut ayahnya. Ia sendiri juga tahu pesan Langit yang terkahir kalinya. Mungkin saja dengan keputusannya ini Langit merasa lega disana. Langit harus bahagia.
"Pakai dulu jaketnya, sayang."
Renata membantu anak itu memakai jaket, Kara memandang wajah ibu tirinya. Tidak jahat. Tidak ada kesan antagonis disana. Malah Abraham yang punya wajah jahat, kadang ada satu waktu dimana Kara merasa takut melihat wajah ayahnya sendiri. Mungkin karena Abraham mempunyai garis wajah yang keras ditambah agak... Brewok.
Kemudian Renata memakaikan kaos kaki dan sandal. Katanya biar hangat. Benar. Hati Kara yang menghangat. Ia terakhir merasakan kasih sayang bunda umur 7 tahun. Ia bahkan sudah lupa bagaimana suara bunda.
"Tapi aku masih mau ke kamar mandi." Cicit Kara lirih.
Renata yang sedang menata tas menoleh, terkekeh. "Bilang dong sayang, sini mama bantuin."
Setidaknya Kara masih punya sopan santun. Ia sangat menghormati perempuan. Meski ia benci dengan semua ini tapi Kara masih bisa menahan dan menghargai Renata. Tapi untuk Abraham, Kara benar-benar marah. Tidak ada toleransi untuk pria itu.
Renata memapah Kara. Anak itu masih sakit sebenarnya, tapi memaksa ingin keluar sekarang. Katanya ia memang sakit dan selamanya akan sakit. Hati Renata rasanya tercubit mendengar itu.
"Loh sayang, mana Kara?"
Abraham muncul bersama Brian dengan satu tas kecil berisi obat-obatan yang nantinya menjadi teman Kara.
"Kamar mandi."
Ceklek.
"Eh adeknya kakak udah kuat jalan emang?" Brian buru-buru mendekati Kara yang keluar dari kamar mandi.
"Mau pakai kursi roda?"
Kara langsung menggeleng tegas. Malu banget harus pakai kursi roda.
"Yaudah kakak gendong aja. Yuk naik."
Kara terlihat ragu walau akhirnya ia pelan-pelan naik ke punggung Brian dan melingkarkan tangannya erat. Brian terkekeh karena agak kecekik. Tapi ia suka.
"Sudah siap kan semuanya?"
Renata mengangguk. Mereka beriringan menuju basement. Kara menyenderkan kepalanya di leher Brian merasa deja vu karena ini yang biasanya dilakukan Langit ketika ia sedang sakit.
Brian tersenyum ketika merasa Kara nyaman di punggungnya. Abraham dan Renata lega, setidaknya ada satu orang yang bisa membuat Kara nyaman. Brian memang penyuka anak kecil, pantas Kara bisa luluh.
***
Kara memberontak keras tidak mau keluar dari mobil ketika mereka memasuki bandara. Mau kemana? Ia kira akan disini saja.
"Gak mau! Abang ada disini, gue gak mau pergi!"
Abraham berusaha sabar. Ia tidak menyangka Kara akan se rewel ini. Padahal dari awal Langit sudah mewanti-wanti kalau Kara sedang sakit anak itu banyak maunya dan sangat menguji kesabaran.
"Rumah papa ada di Zurich, Kara. Kita akan tinggal disana. Abang sudah ada yang menjaga, ada bunda di sampingnya, ada kakek." Ucap Abraham lantas keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Kara.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING✔️
Teen FictionSemua itu perihal menerima. Btw, orang-orang pada gak percaya sama judulnya.