40

8.2K 809 130
                                    

"Aku perhatiin kamu dari tadi diem terus, babe. Kamu gak lagi sakit, kan?"

Biru tersenyum lembut kepada Amber yang menatapnya khawatir. Ia menggeleng, tidak apa-apa. Hanya saja perasannya tiba-tiba... Buruk. Banyak hal yang menggrayahi kepalanya.

Setelah memastikan perempuannya masuk ke dalam gedung, baru Langit membanting setir kembali menuju rumah sakit untuk menemani Kara lagi. Biru mengendarai dengan cepat, tidak peduli dengan jalanan yang licin. Karena ia meninggalkan adiknya ketika tertidur, takutnya anak itu mencari-cari seseorang ketika bangun. Biru hanya berharap Renata dan Abraham sudah datang. Mau memastikan juga tapi ponselnya ketinggalan.

Biru hanya sedang terus berusaha menjadi kakak yang baik, dengan berusaha adil membagi waktu untuk keluarga, kekasih, dan Kara adiknya. Dari awal ia tidak banyak meluangkan waktu untuk Kara, hingga tiba saat ini dimana semua keluarganya berhenti memikirkan pekerjaan, dan fokus kepada penyembuhan adiknya namun Kara seperti tidak mau berlama-lama lagi di dunia.

Kara kesakitan setiap hari, bahkan ketika sedang tidur.

Biru mencengkram erat setir, memancal pedal agar mobil melaju lebih kencang lagi hingga mencapai kecepatan 100 km/jam. Terkahir kali Biru mencapai kecepatan ini dulu di depan sekolah tepat saat anak-anak keluar dari gerbang. Ramai. Banyak orang tua yang menjemput. Dan Biru menerjang beberapa pengendara motor, mobil, hingga terakhir hampir menghantam seorang anak yang sedang menyeberang, tersenyum kepada seseorang di tepi jalan dengan membawa sebuah piala besar.

Kara. Adiknya sendiri.

Dan Langit berlari ke tengah jalan, memeluk Kara dan melompat bersama ke sisi jalan. Namun saat itu Biru merasa bagian depan mobil sempat menyenggol tubuh Langit, sehingga pria itu melemparkan adiknya yang berada dalam dekapan dan merelakan tubuhnya terlempar ke depan sampai membentur sisi trotoar dengan keras.

Ckittt!

Biru sontak menepikan mobilnya, ia tidak kuat untuk meneruskan mengemudi dalam keadaan seperti ini. Ingatan itu membuatnya kalut. Biru menjambak rambutnya sendiri, merutuki kenapa dulu dirinya bodoh sekali. Mabuk berat hanya karena iri Langit lebih mementingkan Kara? Ya jelas, anak itu tidak beruntung dari kecil lalu siapa lagi yang akan berpihak padanya selain Langit?

Harusnya ia bisa berdamai, kan. Kara saja baru beberapa hari tinggal disini sudah bisa menerima dengan lapang dada. Menerima Renata yang notabenenya ibu tiri, menerima Abraham yang menjadi penyebab semua masalah bermula.

"Tai Lo Biru. Brengsek emang Lo." Maki Biru pada dirinya sendiri.

Kalau saja dulu ia tidak gegabah, kemudian ia menemui Kara, anak itu pasti juga mau menerimanya dan senang. Biru pasti bisa membawa keduanya pulang karena Langit hanya mau mendengarkan Kara saat itu. Tidak akan ada yang pergi di antara mereka.

Abraham sampai menampar pipinya berulang kali, mengatakan bahwa alkohol tidak pernah cocok untuk Biru hingga akhirnya menyebabkan masalah besar seperti ini. Ayahnya tidak sepenuhnya menyalahkan Biru karena setelah tragedi itu mental Biru agak terguncang, apalagi setelah mengetahui kembarannya meninggal.

"Maafin Abang, Kara..."

Pasti kalau adiknya tau soal ia yang menjadi pengemudi mobil kecelakaan beruntun itu, tidak ada maaf baginya, kan. Kara pasti akan sangat membencinya. Tetapi itu sudah resiko. Mau tidak mau Biru harus menanggung itu semua dan kembali melajukan mobilnya menuju rumah sakit.

Namun di tengah perjalanan, Amber menghubunginya. "Babe? Sudah sampai mana?"

"Masih jauh."

"Hati-hati, ya. Tiba-tiba aku ingin memelukmu lagi."

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang