37

5K 660 17
                                    

Sudah dua puluh empat jam terlewat.

Kara dinyatakan koma oleh Lewis, selain karena kekurangan oksigen, fungsi jantung yang semakin menurun, anak itu mengalami resiko dari operasi cedera kepalanya dan pendarahan sampai harus transfusi darah.

Kaca mobil Lily anti peluru, jadi sangat tebal. Maksudnya kepala siapa yang tidak akan pecah kalau dibenturkan ke kaca dengan ketebalan seperti itu. Dan tidak sekali, setiap anak itu memberontak, Lily akan menjambak rambut Kara dan menjentuskan kepala anak Abraham itu ke kaca. Dasar wanita gila. Untung Ken sudah menjual perempuan itu ke jual beli organ ilegal.

Sebenarnya Abraham hanya menyuruhnya untuk mengurung saja tanpa diberi makan dan minum. Namun Ken tidak puas, ia sangat marah melihat Kara yang sudah sakit malah dibuat koma seperti ini. Ia tidak mau anak yang lemah dalam soal perhitungan itu pergi.

Kata Lewis kepala Kara akan segera pulih, tidak sampai empat minggu. Wkwk, pria itu ingin Ken tembak juga. Empat minggu itu sangat lama. Bagaimana mungkin? Namun Lewis buru-buru menenangkan Ken yang sedang emosi, katanya bisa dengan cara ajak Kara bicara terus.

Meskipun Kara tidak sadar akan rangsangan, setidaknya dua puluh persen bisa mendengar suara. Namun tidak bisa merespons karena kinerja otak tidak berfungsi.

Lalu kalau otak saja tidak bekerja bagaimana Kara bisa menangkap apa yang diucapkannya?

"Tenang, Ken. Kara pasti bangun. Dia sekarang tidak mau melihatmu saja jadi memilih tidur yang lama."

Abraham terkekeh, cukup terhibur dengan ucapan Lewis. "Kau sayang sekali ya dengan putraku?"

Ken terdiam.

"Dulu saja kau mencak-mencak saat kusuruh menjaga Kara." Lanjut Abraham, masih tertawa.

Iya juga. Ken itu agak kurang telaten dengan anak kecil, namun bersama Kara.. ia hanya merasa nyaman saja. Bersama Kara bawaannya itu tenang. Ken bahkan tidak peduli Abraham mau membayarnya berapa, yang terpenting adalah di sela kesibukannya yang juga menjadi sekretaris, Ken diberi waktu bersama Kara.

Memang seharusnya ia dan Brianna segera menikah saja, Ken mau buat anak yang seperti Kara nanti.

Ken teringat sesuatu. "Kira-kira jantung Lily cocok tidak ya dengan Kara?

"Tidak," jawab Lewis, ia sudah mengecek tadi. "Dari golongan darah sudah tidak cocok."

"Sayang sekali." Gumam Ken.

Abraham menyahut, "aku yang tidak rela anakku menampung jantung perempuan busuk sepertinya!"

"Harapan hidup Kara semakin kecil kalau tidak segera mendapat donor!" Ken tidak kalah ngegas. Rusuk anak itu yang retak juga memperparah kondisi.

Gagal jantung Kara sudah parah sekali. Tidak ada peluang hidup lagi selain harus transplantasi.

"Tenang.. aku masih mencari." Lewis menengahi, "tapi kalau sudah saatnya tiba, dan Kara belum dapat jantung baru.. kita harus ikhlaskan, ya?"

Hening. Tangan Ken terkepal kuat di dalam saku celananya. "tidak mau." Ucap Ken, lantas pergi dari ruangan Lewis dan menutup pintu dengan kencang.

Abraham menunduk dalam. Meremat jari-jarinya, padahal kalau sekarang Kara tidak sakit mereka sekeluarga akan pulang ke Indonesia, mengantar anaknya yang ingin mengunjungi Ara dan Langit.

Sebentar.

Mengunjungi Ara dan Langit?

"Ron."

Abraham mendongak, mengusap sudut matanya. Pasti rekannya itu memanggilnya dengan nama belakangnya.

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang