dua

12.5K 954 30
                                    

"Kalau kata gue Lo ikut les deh, Kar."

Kara merengut dan menatap sahabatnya. "Kenapa? Lo capek ya ngajarin gue yang goblok ini?"

Samuel, nama teman Kara, teman sebangku, dan teman satu-satunya. Dia anak konglomerat, aktif organisasi, punya koneksi luas, namun hanya mau dekat dengan Kara saja. Katanya ini masalah kecocokan hati, orang lain yang ingin menjadi temannya dia bilang toxic.

"Iya, gue capek! Lo gak paham-paham. Fokus dong, udah sarapan belum sih?"

Jahat sekali memang mulut Samuel ini.

Kara mengangguk cepat. "Udah, tadi sama bubur."

"Bubur mulu, pantesan Lo klemar klemer gini. Sarapan tuh nasi."

"Bubur kan dari nasi."

"Bubur terbuat dari beras."

"Tapi-"

"Udah ah gue capek, Kar. Ayo ke kantin aja gue traktir nasi."

Samuel menarik tangan Kara dan menggeretnya dengan sedikit cepat karena jam istirahat sudah hampir habis. Mana si Kara kalau makan kayak makan beling. Lama. Rasanya pengen ia suapin pake sekop.

"Nih makan, abisin cepet."

"Terus.. Lo gak makan?"

"Udah gue."

Alih-alih menjadi teman, Samuel terlihat seperti kakak Kara yang bawel.

"Marah-marah mulu, Samuel. Bisulan tau rasa."

Samuel menoyor kepala Kara. "Apa hubungannya ogeb?"

Kara makan dengan tenang dan pelan, Samuel terus memperhatikan. Untuk ukuran wajah Kara harusnya dia jadi idola sekolah seperti di film-film, tapi anak itu malah jadi bahan gunjingan disini. Samuel berteman dengan Kara awalnya hanya penasaran saja, tapi ternyata hati anak itu tulus.

Dan dewasa. Kara bisa memposisikan dirinya dengan baik.

"Bunda Lo bener kok namain Lo Bagaskara." Ucap Samuel tiba-tiba, Kara langsung tersedak.

Kara merinding mendapat tatapan itu dari temannya.

"Ha? Tiba-tiba banget?"

"Haha enggak. Tapi kenapa cuma satu kata ya? Sekarang kan orang pada namain anaknya panjang-panjang."

Kara tergelak  "Samuel Barra Alby Finn Aldebaran."

"Yee sialan. Bokap gue gabut keknya."

Kurang lima menit lagi dan nasi Kara masih setengah. Bisa habis dimarahi dia. Tapi Samuel sepertinya tidak memperhatikan dan fokus pada layar hp.

"Padahal Abang Lo punya nama belakang, kayak marga, siapa, lupa gue."

Iya, benar juga.

"Barnard Aaron."

Samuel terdiam. Berpikir keras. Seperti tidak asing tapi ia lupa. Kemudian bel yang menandakan pelajaran selanjutnya telah dimulai berbunyi.

"Ayo, pas udah habis." Kara nyengir lebar sambil menunjuk piring.

Samuel menepuk-nepuk puncak kepala Kara dan menarik tangan anak itu untuk keluar dari area kantin karena sudah banyak tatapan julid. Lagian orang-orang kenapa repot sekali mengurusi hidup orang lain, Samuel yang memilih berteman dengan Kara kenapa mereka yang sewot. Banyak sekali omongan yang datang kepadanya, menanyakan kenapa Samuel mau dekat anak seperti Kara.

Karena miskin, peringkat terkahir, punya penyakit, dan terkenal dengan ibu yang meninggal karenanya, Kara dijauhi oleh anak-anak yang lain. Kara dicap pembawa sial. Katanya kalau saja Kara tidak menyusahkan kakaknya masih bisa sekolah dan sukses. Karena peruntungan hidup memang lebih condong ke Langit.

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang