Galen si tunawisma.

3.5K 410 54
                                    

Cuma figuran, sih. Tunawisma lagi.

Muncul gara-gara adiknya ikut lomba melukis dan terlibat dengan si pemeran utama, yang sayangnya ia juga terjerat dalam pesona si juara satu, kalau kata Evelyn. Saat perkenalan di kamar rawat saat itu namanya Kara. Ya, Kara. Pasien gagal jantung stadium akhir. Saat ia menemui anak itu untuk meminta maaf Kara sedang duduk di kursi roda yang menghadap ke jendela, di bawah hidungnya ada selang yang melintang.

Dia anak yang manis, wajahnya baik, Galen sampai pengen menukar adik. Tapi meskipun menyebalkan Evelyn tetap menjadi yang tersayangnya.

Galen anak pertama dari tiga bersaudara, cuma yang dianggap anak cuma anak kedua dan ketiga karena lahir secara sah diakui agama dan negara. Sedangkan dirinya tidak. Wkwk.

"Sabar, niel. Masih on the way!"

Kemudian panggilan diputus sepihak olehnya. Berisik sekali orang itu, menyuruhnya segera datang untuk cuci darah yang kesekian kalinya. Kulitnya jadi jelek, banyak lebamnya. Belum lagi psikiaternya yang menyuruhnya datang untuk terapi. Jadwal padat, bung.

Apa Galen menyewa satu kamar di rumah sakit untuk ia tempati agar tidak lelah bolak balik, ya. Apartemen nya agak jauh dan bensin melonjak. Belum lagi biaya cuci darah dan psikiater agak mahal jadi.. ya gitu. Apapun Galen lakukan agar ia bisa tetap hidup meski harus ada yang dikorbankan. Seperti, ayahnya mau memberikan banyak uang perbulannya asalkan pergi dari keluarga nya. Okeh.

Ia tidak punya rumah yang bisa ia buat pulang kalau lelah. Tidak ada keluarga yang menunggunya. Tidak ada yang menangisinya kalau ia sedang sakit. Seperti yang dilakukan keluarga Kara sekarang.

"Kenapa lagi si Kara..."

Galen buru-buru menepi ketika brankar dengan Kara di atasnya didorong cepat menuju ICU. Kepalanya berdarah sampai mengotori wajah dan kemeja putihnya. Dibelakangnya ada brankar lagi, seorang perempuan yang tangannya di genggam kakak Kara. Kadang kala masalah keluarga yang seperti itu sulit dinalar oleh orang biasa sepertinya. Seperti dulu Brian yang pernah koma gara-gara ditembak saat pulang sekolah.

Maksudnya.. kok bisa?

"Lah sial ada Brian juga!" Kaget Galen ketika melihat kedatangan Brian yang sedang memapah ibunya menyusul ke ruang ICU. Galen buru-buru berlari dan bersembunyi di balik tikungan.

Dari tempatnya, ia masih bisa melihat bagaimana semua orang disana mencemaskan kondisi Kara, Brian yang ia kenal seorang yang dingin bahkan diam-diam meneteskan air matanya. Orang tua Kara yang terlihat paling kacau. Galen tersenyum kecut, tidak ada yang meratapi nya seperti mereka. Mungkin hanya Evelyn yang kadang mengabarkan kenapa ia tidak pulang ke rumah.

Ya karena itu bukan rumahnya!

Dari dulu Galen benci sekali dengan Evelyn, dia selalu ingin tau dan sok campur padahal tidak bisa melakukan apapun juga. Ternyata bukan itu permasalahannya, gadis itu memang menganggap dirinya adalah kakaknya karena itu Evelyn mengkhawatirkannya.

Dan Galen terlambat menyadari itu. Sadar ketika adiknya sudah lelah mengurusi urusannya. Galen sangat menyesal.

Telefon genggamnya berdering lagi. Dari Daniel.

"Ya. Ada apa?"

"Ada apa?! Cepat kesini bocah, cuci darahmu!"

"... Apa aku akan langsung mati kalau aku tidak cuci darah sekali saja?"

Terdengar helaan nafas berat dari seberang sana.

"Kenapa lagi? Kau sudah absen cuci darah kemarin! Tenangkan pikiran mu dulu baru kesini, Len."

Sakit pikir dan sakit fisik adalah kombinasi yang buruk. Ketika pikiran berisik akan mempengaruhi bagaimana kesehatan tubuh juga. Galen berjalan lunglai menuju taman rumah sakit sembari meremas perut. Ia sudah makan, hanya saja belum minum obat, mana skip cuci darah. Galen harap kalau ia oleng di taman ada yang menemukannya.

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang