30

6.1K 741 13
                                    

"Pacar Lo gak nyariin, bang?"

Biru yang sedari tadi memandang taman bersalju dari balik dinding kaca restoran menoleh, menatap Brian yang sedang tersenyum miring kepadanya.

"Lo lama-lama disini pacar Lo gak nyariin?" Ulang Brian.

Adiknya yang satu itu memang suka sekali memancing keributan, Biru berdecih. "dia gak seburuk apa yang Lo pikirin kali."

"Oh ya?"

"Ya."

Abraham tersenyum mendengar percakapan dua anaknya yang memang sering adu mulut dan adu otot itu. Ia tidak tertarik dengan mereka dan memilih memperhatikan anak bontotnya yang sedang menyeruput sup yang masih mengepul dengan pelan dan hati-hati. Abraham tersenyum lembut.

"Mau mama suapin, sayang?"

Kara yang hendak memasukkan sendok ke mulutnya terhenti, ia melirik Renata kemudian menggeleng. Brian menahan senyumnya.

"Kenapa? Mama tiupin sekalian biar enak."

Kara melirik keadaan sekitar kemudian menggeleng. Restoran sedang ramai, Kara malu.

"Nape sih, cil. Santai aja kali, biasanya juga disuapin mama."

"Sshhtt! Kak Brian bisa diem aja gak sih." Kara memelototi kakaknya. Suara Brian sangat keras, takutnya terdengar sampai meja seberang.

Brian terbahak. Ia beberapa kali memergoki adiknya tengah mencuri pandang kepada gadis yang sedang duduk di kursi seberang sendirian, yang tadi menawarkan foto, si juara kedua. Apakah Kara ingin terlihat bagaimana gitu di depan Evelyn? Dasar para bocil, lusyu sekali.

"Tadi punya Evelyn gak kalah bagus, temanya apa ya?" Tanya Brian tiba-tiba.

Abraham menceletuk, "pantai yang kesepian."

"Padahal ada potret wanita kan di lukisannya," sahut Renata.

"Berarti wanita itu yang kesepian. Lebih tepatnya perasaan si pelukis. Kita kan rata-rata menggambar untuk mengungkapkan perasaan yang tidak tersampaikan."

Biru menatap adiknya yang mengatakan dalam satu tarikan napas. Abraham dan Renata berpandangan, tidak menyangka kalau Kara akan mengatakan itu. Brian tepuk tangan dengan dramatis

"Keren, keren. Kamu gitu juga dong, cil?" Tanya Brian, Kara menggeleng.

Punya Kara, cloudy lake. Menggambarkan keindahan danau namun dalam keadaan yang berawan mendung. Apa maksudnya? Padahal kalau Kara mau anak itu bisa menggambar dengan langit cerah. Biru menatap adiknya dalam.

"Kenapa punya Kara tadi harus mendung?" Tanya Biru.

Kara menoleh, kemudian tersenyum. "Karena emang langitnya mendung, jadi gak berwarna, makanya matahari juga gak muncul. Sekarang mendung, kan?"

Tapi ini bukan tentang langit mendung. Batin Kara.

Brian melongok. Benar, agak mendung.

"Kalian diem dulu, mama mau ajak ngobrol Evelyn." Bisik Renata.

Kara langsung terdiam. Ia melahap lagi supnya yang sudah agak mendingin.

"Nama kamu Evelyn, ya?" Renata mulai basa-basi.

Gadis berambut karamel yang asik dengan minuman susunya itu menoleh, kemudian tersenyum. Ia sadar karena keberadaannya yang sendirian di restoran sebesar ini pasti mengundang perhatian orang-orang. Seperti keluarga si juara satu itu, pikir Evelyn.

Evelyn mengangguk.

"Sendirian saja?"

"Iya."

Renata membeo, ia mati kutu. Kenapa gadis itu dingin sekali, wajahnya tidak ramah seperti anak kecil kebanyakan.

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang