duabelas

8.9K 855 11
                                    

Hari sudah berganti siang lagi.

Sejak kemarin anak umur 15 tahun bernama Kara itu belum mau melek sepenuhnya. Padahal dini hari tadi bocah itu sedikit membuka matanya dan ingin mengatakan sesuatu, namun urung terucap sudah tidur lagi. Dan Biru, sejak tengah malam sudah duduk di sisi Kara sambil menggenggam tangan adiknya. Bahkan ketika beberapa maid membersihkan kamar Kara, Biru tidak beranjak dan tetap duduk memandang lurus wajah adiknya yang tertutup masker oksigen.

Apa mimpi Kara lebih indah?

Lewis kemarin mengganti Nebulizer dengan alat CPAP sebagai terapi juga buat Kara karena anak itu mengalami gangguan tidur, sleep anea. Namun sekarang sudah dilepas karena kadar oksigen Kara sudah cukup. Biru tidak paham sebenarnya, tapi ia mencoba paham.

Brian cerita tentang persepsi Kara terhadapnya semalam. Katanya anak itu mengira Biru tidak pernah menyapa karena marah kepada Kara yang sudah membunuh Ara dan Langit. Padahal tidak. Berbeda dengan Langit yang ramah, baik, dan lembut. Maka Biru kebalikannya. Egonya sangat tinggi. Ia hanya bingung bagaimana cara memulai obrolan dengan adiknya yang tau-tau sudah sebesar ini.

"Bunda..."

Biru terkesiap, ia langsung menarik tangannya dan duduk tegak.

"Bunda..."

Kara terus memanggil bunda dengan kerutan di dahi. Biru bingung, jadi ia berlari keluar untuk memanggil Renata dan Abraham yang sedang mengobrol berdua. "Ma, pa! Kara!"

"Kara kenapa??" Abraham panik namun anak yang sekarang jadi sulung itu memberikan info yang tidak jelas. Irit ngomong sekali.

Renata bergegas masuk ke dalam, diikuti Abraham dan Biru. Kara menggeliat dalam tidur, wajahnya seperti menahan sakit, dengan jari-jari yang kaku dan dingin. Wanita itu memposisikan Kara di pangkuannya dan mencoba membangunkan anak itu.

"Eungh...!"

"Kara.. bangun nak. Ini mama.."

Merasa ada suara familiar yang hangat di telinganya, Kara berusaha sekuat tenaga untuk membuka matanya yang lengket. Kepalanya berat sekali. Sinar matahari yang tembus dari dinding kaca membuat Kara menutup matanya lagi, namun Kata terus mencoba hingga tiga orang tampak jelas di penglihatannya.

Napas Kara memburu. "Minum..."

Abraham membantu anaknya duduk dan bersandar padanya, "Pelan-pelan. Mau pakai nebu lagi?"

Tenggorokan Kara yang awalnya kering langsung terasa dingin setelah dialiri air. Anak itu menggeleng menjawab pertanyaan Abraham sebelum perlahan memejamkan mata lagi, masih mengantuk tapi ia lelah berbaring.

"Kara?" Abraham menepuk pelan pipi pucat anaknya.

Kara mengangguk. "Hm.."

Abraham bernapas lega, ia kira anaknya pingsan lagi. Cukup kemarin Kara membuat kalang kabut semua orang karena dipanggil-panggil tidak nyaut di pelukan Renata.

"Kak Ian mana..."

Semua orang langsung berpandangan. Anak itu mengigau atau bagaimana. Abraham menarik selimut dan membungkus Kara karena anak itu sedikit menggigil.

"Kak Ian.." panggilnya lagi.

Biru berdecih, dirinya yang menemani anak itu semalaman kenapa Brian yang dicari.

Renata menggenggam tangan Kara yang dingin, "Sekolah, nak."

Kara menduselkan diri direngkuhan Abraham, mencari kehangatan. "Kara juga mau sekolah..."

"Iya nanti, ya. Kara masih sakit, kalau udah sembuh nanti sekolah." Ucap Abraham.

Kara tersenyum dalam pejaman matanya, "...Janj-"

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang