Kara buru-buru mengunci pintu kamar mandi dari dalam kemudian tubuhnya merosot karena perutnya terasa nyeri, seperti kram. Lidah dan tenggorokannya terasa bengkak karena Kara tidak bisa menelan sekarang. Anak itu membekap mulutnya dengan jaket ketika batuk menyerang, agar tidak ada yang dengar, sial, ia sesak dan oksigen portabel yang ia bawa ada di mobil Biru.
Ada ruam kemerahan di lengan dan wajahnya, mengharuskan Kara memakai masker yang ia kantongi sebelum berangkat tadi.
Ia terakhir kali merasakan sensasi ini dulu sekali saat bersama Langit setelah makan sate kerang yang diberikan Kakek. Apa mungkin ia salah makan? Apa karena sup yang tadi diberikan Amber? Mungkin ada campuran susu sapi? Atau seafood? Kara sudah tidak bisa memikirkan itu.
"Ah.. mama.." Kara mengerang, anak itu merogoh obat penyakitnya yang ia kantongi. Kemudian meminum satu butir karena takut salah penempatan dan membuatnya tambah buruk.
Pikirnya sesak yang ini bisa mereda dengan meminum obat yang biasa ia konsumsi saat kambuh.
Setelah menunggu satu menit, setidaknya dadanya yang terhimpit bisa dikondisikan. Tapi sensasi kesemutan di kulit kepalanya membuat anak itu berjalan tanpa tenaga.
"Abang, ayo pulang." Ajak Kara tanpa basa basi.
Biru terkesiap, kemudian menepuk dahi ketika melihat jam. Ia mengangguk cepat dan segera membereskan barang-barang Kara dan dirinya. Wajah lesu Kara sangat memprihatikan.
"Amber, aku pulang dulu ya."
"Ya, babe. Hati-hati."
Kara melirik, Amber melambaikan tangan kepadanya dengan senyuman miring. Kara mencoba tidak peduli. Anak itu langsung memejamkan mata ketika sudah duduk di dalam mobil. Biru yang melihatnya jadi khawatir.
"Kara sakit? Bilang sama Abang."
"Enggak. Cuma capek."
"Buka aja maskernya, Kara. Biar lega."
"Enggak perlu."
Singkat sekali. Apa Kara marah? Anak itu bahkan menarik kupluk Hoodienya dan duduk membelakanginya.
Ia benar-benar lupa terhadap adiknya, ia malah asik sendiri dengan Amber tadi. Beberapa kali Biru melirik Kara yang tampak menahan sesuatu, terlihat dari posisi duduknya yang sangat meringkuk.
Sesampainya di rumah, Biru dan Kara langsung dihadang oleh Abraham, Renata, dan Brian yang menatap garang. Biru merutuki kesalahannya, ia lupa bilang kepada mereka kalau mengajak Kara keluar. Apalagi dengan waktu yang lumayan lama.
"Habis darimana?" Tanya Abraham dingin. Ia bahkan tidak membalas senyuman kecil yang dilemparkan Kara. Tunggu, kenapa ada bentol-bentol merah di wajah anaknya.
"Maaf."
Hanya itu yang bisa Biru ucapkan. Ia yakin seratus persen ayahnya tahu kemana ia membawa Kara.
"Kara. Sudah papa bilang stay di rumah aja. Di luar sangat dingin! Apa kamu tidak mengerti kekhawatiran kami?!"
Kara memejamkan matanya ketika mendengar suara nada tinggi itu. Tangannya saling bertautan. Renata kasihan melihat wajah Kara yang pasi dan terlihat takut, tapi ia juga marah karena telah dibuat ketakutan ketika anak ragilnya tidak ada di rumah.
"Kara bosen di rumah." Cicit anak itu.
Abraham berdecak. Kemudian menatap sulungnya. "Sudah tau adiknya tidak boleh keluar lama-lama kenapa malah kamu ajak keluar, Abang? Diluar dingin, bukannya papa udah bilang sama kamu?!"
"Kasian, pa. Kara sendiri di rumah. Kalian juga pergi-pergi aja."
"Kami pergi karena ada hal mendesak, Biru. Sedangkan kamu?! Bertemu Amber Lynn?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING✔️
Novela JuvenilSemua itu perihal menerima. Btw, orang-orang pada gak percaya sama judulnya.