empatbelas

8.2K 823 17
                                    

"Aku dibayar satu milyar hanya untuk menjaga bocah? Dua puluh empat jam??"

Abraham menepuk pundak sekretarisnya, kemudian menarik koper dan memberikannya kepada ajudannya yang lain. "Apakah kurang?"

Ken menggeleng, maksudnya... Kenapa Abraham gabut sekali. Pria itu bisa menyewa seorang baby sitter sekalian. Okay, Ken memang cerdas, tanggap, baik hati, dan tidak sombong. Tapi untuk urusan menjaga anak kecil.. Ken tidak sabaran.

"Mau dibayar satu triliun pun aku tidak mau, lebih baik suruh aku gantiin kau meeting dadakan, pak." Ken masih protes.

"Sayangnya aku sudah dapat sekretaris baru. Sori dori bori." Abraham tersenyum miring. "Selanjutnya akan dijelaskan Renata, pesawat ku sudah siap, aku pergi dulu. Bhay!"

Dasar orang tua itu.

Renata memakai cardigan dengan buru-buru, ia menghampiri Ken. "Ini ada lima botol obat, kasih tiap habis sarapan dan makan malam. Kalau kambuh, kasih dua obat ini, kalau masih belum reda tolong pasangin oksigen. Jadwal Kara sudah ku share padamu."

Sial sial sial. Harusnya ia tidak melamar kerja pada Abraham dulu. Sudah pernah direpotkan menjadi guru privat Brian, supir Biru karena anak itu pernah patah kaki selama enam bulan, kemudian menjadi manager Renata. Sungguh multitalenta sekali dia.

Padahal disini ada puluhan pembantu, kenapa tidak dibagi rata tugas untuk menjaga Kara. Kenapa Abraham senang sekali menindas orang kecil sepertinya.

Ken membuka ponselnya, kemudian membaca pesan dari Renata.

Jadwal Kara (For Ken):
1. Sarapan+minum obat (harus)
2. Olahraga
3. Berjemur
4. Mandi
5. Belajar (jangan terlalu lama)
6. Tidur siang
7. Makan
8. Terserah Kara mau ngapain (diawasin)
9. Mandi
10. Makan malam+minum obat
11. Belajar (bentar aja)
12. Tidur (temenin sampe bener-bener tidur, kalau sesek waktu tidur pakein nasal kanul atau masker oksigen)

Setelah membaca pesan-pesan yang lain, Ken menghela napas dalam dan keluar dari kamar pasutri bikin gemas itu. Ken menuruni tangga yang panjang menuju pantry. Namun Ken heran sekali, punya rumah gedong dan anak dengan gangguan pernapasan kenapa Abraham tidak pasang lift saja?! Ken juga lelah hayati badani kalau begini ceritanya.

Di meja makan sana, ada Kara dan Biru yang sudah rapi dengan kemeja. Mereka makan dalam diam.

"Hai, boys."

Biru tidak menanggapi Ken dan tetap lanjut makan. Berbeda dengan Kara yang meletakkan sendok, kemudian balas menyapa sekretaris ayahnya itu.

"Hai, om."

Pffttttt. Biru tergelak, apalagi melihat wajah Ken yang menjadi kecut.

"Saya masih umur dua puluh tujuh tahun asal kau tau, bocah. Panggil aku kak."

Kara mengerjap bingung, kemudian meminta maaf.

"Gue cabut dulu. Titip Kara." Pamit Biru.

Ken mencibir. "Semester tua sok sibuk sekali."

"Gue emang sibuk, sat!"

"Heh mulutnya!"

Biru melengos, ia menghampiri Kara dan mengacak gemas rambut adiknya. "Abang ke kampus dulu, baik-baik sama Ken, ya."

Kara mengangguk kaku. Masih sedikit canggung.

"Baiklah Kara, sudah habis makannya?" Ken memasang wajah ramah seperti pegawai mart.

Kara menggeleng pelan, nasinya masih setengah dan ia sudah sangat kenyang. "Habiskan, Kara. Kata mama suruh habiskan."

"Gak mau. Bibi maid ngasih porsinya kebanyakan. Biasanya mama yang siapin sendiri."

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang