"Mau Abang temani kemana gitu, Kara?"
Kara menggeleng, menolak ajakan Biru. Lewis dan Abraham tidak mengizinkannya keluar kamar barang sedetikpun. Jadi Biru mau mengajaknya kemana? Hanya membuka pintu kemudian masuk lagi? Haha. Kara sekarang bisa duduk di balik jendela yang terbuka saja sudah bersyukur. Meskipun pakai kursi roda.
"Atau mau berbaring lagi?" Tanya Biru, karena adiknya sedari tadi terdiam memandangi taman.
"Aku capek tiduran terus."
Brian sekolah, Renata dan Abraham pulang sebentar ke rumah, sedang Amber ada pemotretan. Alhasil Biru yang sedang kosong bertugas menjaga adik gemoynya ini meskipun semakin hari makin kurus saja. Biru menarik kursi kemudian duduk di samping Kara, sesekali menepuk punggung adiknya karena terus menerus batuk.
Hening. Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Kara dengan pikiran ingin cepat sekolahnya, dan Biru sedang berbicara kepada Langit yang sedang cerah itu, dalam hati merapal doa agar Bunda jangan dulu membawa Kara bersamanya.
Uhuk uhukk!
"Kamu ketika pertama kali melihat Abang, apa yang kamu pikirin, Kara?" Tanya Biru, melirik Kara yang tiba-tiba tersenyum mendapat pertanyaan seperti itu.
Biru agak salfok dengan selang yang melintang di bawah hidung Kara. Adiknya tetap yang paling manis.
Kara menoleh, "Abang galak, dingin, kayak jauh banget. Gak kayak bang Langit."
"Jadi kamu suka bandingin Abang sama Langit??" Biru berseru dengan dramatis.
Kara terkekeh, ia menggeleng.
Biru berdecih. "Kita memang kembar seiras, Kara. Tapi karakter kita berbeda, sangat berbeda. Abang sama Langit itu kayak... Yin dan Yang."
"Tapi kan mereka saling membangun satu sama lain." Sahut Kara, menatap wajah Biru dari samping.
Garis wajah Biru persis dengan Abraham. Tegas. Rahangnya tajam. Seperti Langit juga, namun yang membuat berbeda adalah sorot mata Langit teduh.
"Ya, karena itu nama kita Langit dan Biru. Dengan harapan kita itu bisa membuat suasana yang berwarna, tidak mendung." Ucap Biru sembari memandang langit. "Karena itu Bunda nambahin lagi matahari, biar gak mendung, biar cerah, hangat."
Kara membisu. Biru memperhatikan itu, ia merapatkan diri, kemudian mencolek hidung adiknya. "Mataharinya itu Kara."
Sampai saat ini Kara masih bingung, dari mananya dia bisa membuat suasana hangat, cerah seperti kata Biru. Kara benar-benar tidak merasakan perwujudan dari arti namanya.
Biru mengacungkan kelingking, "mau janji sama Abang gak, Kar?"
"Apa?" Ia mengernyit bingung.
"Janji kalau Kara tetap disisi Abang terus."
Agak sulit.
Tapi karena Kara berusaha bertahan jadi ia mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Biru. Anak itu tersenyum lebar. Biru memeluknya.
"Permisi?"
Kara langsung melepaskan pelukan Biru ketika pintu kamar rawatnya dibuka oleh seseorang. Pemuda seumuran Brian masuk dengan cengirannya, dia melambaikan tangan dengan riang.
Biru menatap aneh. Ia tidak kenal begitupun adiknya. Namun setelah pemuda itu mengenalkan diri, dan menceritakan kalau ia pengemudi mobil saat kejadian dimana Kara collapse Biru bergegas berdiri ingin menonjok wajah pemuda itu.
"Hehe maaf, bang. Meskipun aku ugal-ugalan tapi aku tau rem. Mana mungkin aku akan menabrak orang." Jelasnya sambil mengangkat kedua tangan, seperti akan ditembak saja.
![](https://img.wattpad.com/cover/327050146-288-k869944.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING✔️
Ficção AdolescenteSemua itu perihal menerima. Btw, orang-orang pada gak percaya sama judulnya.