"Ken, cari tahu bagaimana lingkungan sekolah Kara dulu, kalau memang putra ku dirundung cari tahu dan laporkan padaku-"
"Ku kira kau sudah tobat, pak." Potong Ken dengan berani. Ia sudah lelah sekali disuruh melakukan hal kotor oleh Abraham. "Dengar, pak. Mereka juga sama-sama anak-anak."
"Tapi aku sama sekali tidak membenarkan meskipun itu anak-anak."
"Yang salah berarti orang tuanya yang tidak bisa mendidik anaknya, akhirnya jadi perundung seperti itu, pak."
Abraham tersenyum miring. "Kalau begitu cari tau orang tuanya. Paling lambat nanti sore. Lama sekali aku tidak main-main dengan kekuasaan ku."
Cih, dasar pria tua sombong. Cibir Ken kesal, walau tetap menjalankan perintah Abraham. Paling lambat sore? Selalu semaunya sendiri. Tidak banyak yang tahu soal kelicikan Abraham, pria itu pintar sekali memasang kesan baik lewat perusahaannya yang bekerjasama dengan pemerintahan. Abraham punya nama baik di bidang bisnis, jaringan yang luas, dan kekayaan yang tidak bisa diukur lewat rumah yang ditinggalinya.
"Bisa-bisanya merusak mental anakku sampai membuat dia ingin mati! Mulutnya itu akan ku robek nanti." Abraham melanjutkan sesi marahnya.
Ken geleng-geleng. Padahal Kara ingin mati juga karena lelah harus bengek setiap hari, yang mana itu adalah perbuatan bapaknya sendiri. Namun Ken diam saja, daripada satu milyar nya dipotong. Ken juga tidak berniat resign lagi, biaya pernikahan semakin lama semakin mahal. Tanpa sokongan Abraham juga akan sulit. Wkwk.
"Anda akan ke kantor, kan? Aku akan menemui Kara dulu. Nanti aku akan menyusul kesana." Pamit Ken, keluar dari ruang kerja Abraham.
Renata ada di rumah, bersama Kara sedang mendesign baju. Renata akhir-akhir ini sedang disibukkan oleh pekerjannya karena akan ada event fashion yang mana brandnya akan tampil disana, launching model gaya baru tema musim dingin. Kara sedikit membantu Renata memberikan ide lewat gambarannya, yang nantinya gambar Kara akan menjadi model utama dalam pe-launchingannya. Nanti kalau memang memang pantas dan layak akan Renata rilis kemudian ia akan mengajak Kara naik ke panggung bersamanya.
"Kamu nanti mau ambil art school aja bagaimana, sayang?" Tanya Renata sambil terus memandangi Kara yang sedang menggambar baju untuknya.
Kara menggeleng. "Ini tuh cuma buat hobi, ma. Kara mau tetap ambil yang biasa saja."
Renata manggut-manggut.
"Jadi arsitektur saja, Kara." Ken yang baru datang memberikan saran.
Kara menghentikan acara mengarsirnya, anak itu tampak berpikir sebentar. "Boleh, tapi gak tau, belum tau mau jadi apa, Kara pengen ngelakuin apa yang ada dulu sekarang. Gak mau berharap lebih."
Maksudnya? Renata mengernyitkan dahi, tidak mau berharap lebih soal apa?
"Udah sayang, mama lanjutin aja, kamu belajar sana sama, Ken."
Kara mengangguk patuh, kemudian mengeratkan selimut yang membungkusnya sebelum membuka buku. Sebentar lagi masuk bulan Desember, jadi cuaca semakin dingin dan itu sangat tidak baik untuk orang seperti Kara yang Lewis duga sudah mengalami komplikasi dari hipertensi paru dan sleep aneanya menjadi artimia, sebab dalam keadaan dingin seperti ini otot jantung bekerja lebih ekstra serta membuat pembuluh darah semakin mengecil. Akibatnya pasokan darah ke jantung akan menurun dan membuat Kara merasa sesak. Kata Lewis dirinya harus selalu hangat.
"Ken, titip Kara. Aku mau buatkan minuman hangat dulu."
"Eh, tidak usah repot-repot, Bu Renata!"
Renata mendelik. "Buat anakku, bukan dirimu. Kalau kau mau buat saja sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING✔️
أدب المراهقينSemua itu perihal menerima. Btw, orang-orang pada gak percaya sama judulnya.