duatiga

6.6K 647 15
                                    

"Aku tidak mau!"

Apa Lewis gila? Dadanya akan dibedah dan dimasukkan selang yang menembus kulit selama beberapa bulan sampai dirinya mendapatkan donor jantung?!

"Beri obat saja, aku tidak akan melakukan hal berat! Aku akan tiduran sepanjang hari, deh."

"Ayolah, Kara. Kamu takut operasi? Sebentar aja, paling empat sampai enam jam?"

"What? Big no!"

Kara memundurkan tubuhnya ketika Lewis mendekat, anak itu menekuk lutut dan memeluknya.

"Biarkan saja, kalau aku panjang umur pasti aku akan bertahan, kan? Kalau tidak yaudah itu takdirnya."

Renata menatap Kara tidak percaya. "Sayang... ini demi kebaikan kamu."

"Kebaikan aku?" Kara tertawa remeh. Mereka bahkan tidak merasakannya.

"Kara tidak mau, ma." Kara menggenggam tangan Renata dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Abraham memalingkan wajahnya, kalau bisa ia mau Lewis memindahkan rasa sakit di tubuh Kara kepadanya. Kara masih merengek kepada Renata agar tidak operasi. Anak itu tidak kaget ketika Lewis memberitahu bahwa kondisi Kara makin buruk karena komplikasi gagal jantung kronis sebelah kanan. Namun ketika diberitakan kalau akan dioperasi malah seperti ini.

"Kara mau pulang sekarang, mama!"

Renata memeluk anaknya, berusaha menenangkan.

"Aku dan papamu sedang berusaha mencari jantung yang sehat buat Kara, sampai saat itu Kara pakai alat pompa jantung dulu, biar gak gampang kambuh." Ucap Lewis memberi pengertian.

Kara menggeleng brutal, air matanya malah menetes dan membasahi baju Renata. Menurutnya kalau memang sudah separah ini yasudah biarkan saja, percuma nanti kalau Abraham dan Renata sudah usaha keras-keras tapi tidak berhasil. Kara tidak bisa menjamin itu. Ia tidak mau membuat orang tuanya kecewa.

"Mama.. gak mau, ma."

"Iya, iyaa gak jadi, kok." Renata mengusap punggung Kara. "Udah jangan nangis. Nanti malah dibius sama Lewis."

Kara langsung melirik Lewis, lalu menangis lagi. "Lewis nyebelin!"

"Iya mereka emang nyebelin, yang nyenengin cuma mama, kan?"

Abraham dan Lewis menganga tidak percaya, Renata licik sekali, bisa-bisanya meracuni pikiran polos Kara. Renata masih memeluk putranya, mengayun-ayunkan tubuhnya agar anak itu bisa benar-benar tenang.

"Kucing mu itu gendut sekali, Kara. Kalau kau mau gendong kesana kemari terus kamu capek itu akan fatal. Kamu bakal bengek. Kamu mau masuk berita ada anak pingsan di rumah sendirian karena diduga bengek karena habis gendong kucing?"

Kara melepaskan pelukan Renata, ia menatap Lewis nyalang. "Jangan hina, Labu."

"Itu tidak menghina, itu kenyataan."

"Besok akan ku ajak Labu kesini, ku suruh dia menyakarmu, Lewis."

Lewis tertawa saja. Astaga, apa kira Kara menyeramkan dengan wajah seperti itu?

"Labu sudah disini, Kara."

Di ambang pintu sana, ada Brian dan Ken yang sedang menggendong Labu yang menggeliat ingin dilepaskan. "Tenanglah kucing." Omel Ken.

Mata Kara berbinar, ia langsung merentangkan tangannya. "Labu!"

"Meong!"

Semua orang melotot tidak percaya. Labu yang mendengar suara Kara langsung meloncat dari gendongan Ken dan berlari ke arah ranjang. Abraham membantu kucing itu naik, kemudian Labu memposisikan di pangkuan Kara. Kucing itu langsung terdiam. Brian memandangi takjub. Mereka seperti tidak bisa dipisahkan lagi.

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang