27

6K 667 17
                                    

"Dingin, nak?"

Kara yang sebelumnya asik menatap luar jendela menoleh ketika Abraham bertanya sembari menyentuh dahinya. Kara menggeleng, mantel yang dipakai dan pendingin yang dimatikan sudah cukup membuatnya hangat, namun Abraham tetap melepas mantel miliknya dan menyelemuti tubuh anaknya.

"Emang papa gak dingin?" Kara menatap heran.

Masalahnya Abraham hanya memakai kemeja dan jas sekarang. Itu tidak tebal.

Abraham tersenyum jahil, "melihat senyum mu sudah membuat hati papa hangat."

Kara sontak berdecih. Alay sekali.

"Bagaimana? Kamu senang hari ini? Ada cerita menarik yang perlu diceritakan?"

Iya, batin Kara. Namun Kara tetap bergeming, ia terlihat sangat ragu untuk mengatakan ini. Takutnya merugikan orang yang dibicarakan.

Abraham menoleh sekilas, menatap wajah Kara yang bingung.

"Kalau tidak mau cerita tentang hari ini tidak apa-apa, lain kali saja kalau Kara siap."

"Emm... Itu..."

Abraham menyunggingkan senyum ketika mendengar cicitan Kara. Akhirnya anak itu mau memulai obrolan duluan. Ternyata ampuh juga saran Ken. Kalau sampai membuat Kara seterusnya seperti ini akan ia berikan rumah untuk sekretaris nya itu.

"Tadi calonnya Ken cantik banget tau, pa."

"Oh ya? Secantik apa?" Tanya Abraham, sesekali melirik anaknya yang bercerita sambil memilin kancing mantelnya.

Lucu sekali.

Sayang Abraham tidak mengikuti perkembangan Kara dari bayi. Pasti akan ia abadikan setiap momennya.

"Cantik banget pokoknya. Kayak Bunda sama Mama Renata."

"Hm.. semua perempuan itu cantik, sayang. Kita para lelaki tampan. Ya kan?"

Kara tergelak, menatap ayahnya dengan mata segarisnya kalau sedang tertawa seperti itu. "ya jelas, lah papa! Haha."

"Papa bener, kan?"

Kara mengangguk dengan sisa tawanya. Ia menarik mantel papanya agar menutupi sampai hidung, kemudian memandang ke depan. Jalanan sedikit lengang namun Abraham tetap mengendarai dengan pelan karena licin. Savety is number one.

"Papa," panggil Kara lagi.

"Ya?"

"Setelah ketemu langsung sama Kak Amber, menurut papa gimana? Em.. maksudnya cocok nggak sama bang Biru."

Mendengarnya Abraham terkekeh, tangan kirinya tergerak untuk mengusap pipi anaknya, "kamu kenapa memikirkan urusan orang dewasa, Kara?"

"Enggak.. cuma.."

"Kara, biarkan saja abangmu itu mengeksplorasi apa yang dia mau. Kita sebagai orang terdekatnya hanya bisa mendukung. Kita tidak mengenal lebih kak Amber karena hanya baru bertemu beberapa kali, tapi Biru? Dia yang lebih tau. Jadi.. jangan pikirkan itu ya?"

Padahal Kara juga mengatakan itu kepada Brian, kenapa malah jadi dia sendiri yang overthingking.

"Pikirkan saja jadwal check up mu, nak. Sebentar lagi kalau kamu lupa."

Sial. Benar juga. Kara harus meyakinkan pada ayahnya kalau tidak perlu periksa ke rumah sakit, terkahir kambuh kan waktu di lempar botol oleh Biru saat itu, setelahnya tidak pernah karena Kara anak yang baik dan penurut. Ia makan dengan teratur dan tidak lupa minum obat.

"Aku tidak mau." Gumam Kara kemudian berbalik memunggungi Abraham.

Pria tua itu tertawa, cepat pundung sekali anaknya. Kara itu suka sekali memikirkan yang bukan ranahnya, Abraham tau anak itu khawatir terhadap abangnya, namun ia sebagai ayah juga sudah memberikan peringatan dan petuah, sisanya ia serahkan ke Biru. Abraham hanya harus percaya, kan.

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang