"Pak. Kau tau, sampai saat ini aku masih mencari tau siapa yang meretas sistem keamanan keuangan kantor."
Abraham memelankan langkahnya, menunggu Ken menyejajarkan agar ia bisa mendengar dengan jelas.
"Buat apa? Lupakan saja. Anggap kita bersedekah ke orang yang membutuhkan."
Ken menggeleng tegas, "tapi ini penghianatan, pak. Orangnya adalah orang kita sendiri. Mungkin."
Mereka berjalan pelan melewati koridor rumah sakit yang lengang. Kamar di gedung belakang lantai satu ini tidak penuh, setelah diamati oleh Abraham, hanya ada beberapa saja. Di tangan kanan Abraham menenteng seekor kucing yang terus mengeong karena ia ayunkan ke depan dan belakang. Sengaja, biar Labu kayak lagi main kora-kora. haha.
Saat sudah sampai depan pintu Abraham berhenti, ia menatap Ken tajam. "Kalau sudah ketemu kabari saja, Ken. Kalau orang dalam urusi saja sendiri, kalau dia orang luar berarti ingin meet and great denganku."
Setelah itu Abraham masuk ke kamar rawat anaknya. Dengan Labu yang awalnya ditenteng jadi digendong dengan penuh sayang. Biar tidak dimarahi Kara. Ken mendecih tidak percaya, percaya diri sekali orang tua itu. Ia ikut menyusul ke dalam, semua orang ada di dalam bahkan calon mantu Barnard Aaron. Ken mendekati ranjang ketika Kara menyapanya.
"Bagaimana, Kara? Sudah kuat berlari?" Guyon Ken, menepuk kepala Kara.
Kara menggerutu, menepuk-nepuk pantat kucingnya yang semok. "Tidak. Tapi setidaknya nanti sore aku sudah boleh pulang."
"Haha, bagus. Besok malam kamu harus ikut ke kantor papamu lagi. Banyak makanan enak."
Oh? Acara ulang tahun itu? Berarti besok sudah malam tahun baru? Tidak terasa sekali waktu terlewati.
"Apa ada pesta kembang api?"
Brian menyahut dari sofa, "tentu saja! Kara mau lihat dengan kakak?"
Kara mengangguk antusias, sudah lama sekali tidak melihat kembang api. Ia ingin membuat harapan. Setelah itu ia akan mengunjungi bunda dan Langit, kan? Anak itu semakin tidak sabar.
"Bagaimana supnya? Sudah Kara makan, kan?" Tanya Abraham memastikan.
Anak itu menatap Renata yang berada di sampingnya. Sup apa? Setelah bangun ia disuapi Biru makanan yang diberikan suster.
"Sup jagung kesukaan Kara. Papa belikan dari kantor tadi siang." Ulang Abraham.
Mendengar pertanyaan itu Amber berdehem pelan, ia benar-benar tidak berkutik. Perempuan itu hanya terus menempeli Biru yang senantiasa merangkul bahunya. Brian yang melihat gelagat aneh dari pacar Abangnya itu tersenyum miring. Apakah ia harus bilang kepada semua orang?
"Dibuang sama Amber." Ucap Brian tiba-tiba.
Renata, Abraham, dan Ken bahkan Labu menatap Amber yang malah tersenyum kecil, perempuan itu meringis. Ia berusaha keras memutar otaknya, sedang yang lain menunggu penjelasan.
"Tadi.. saat aku mengaduknya seperti ada campuran keju. Kara.. alergi susu kan? Keju terbuat dari susu. Jadi ku buang saja. Lily pasti tidak tau."
Abraham tersenyum mendengarnya, namun Renata tetap datar menatap pacar anaknya itu. Amber menggigit bibir bawahnya.
"Tadi Lily memang ku suruh menambahkan ekstra keju, tapi keju dari susu domba. Kara lumayan suka itu. Ku suruh juga Lily ngasih obat penambah nafsu makan." Jelas Abraham, kemudian menyentuh pipi Kara. "Karena makin kesini pipi ini makin hilang saja."
Kara menjauhkan tangan besar Abraham dari wajahnya. Ia menatap Amber yang sepertinya jadi canggung karena semua orang terdiam memandanginya.
"Lily tidak mungkin ceroboh seperti mu dulu, Amber. Sebelum dia memberikan makanan ke orang lain pasti dia akan bertanya dulu, tidak memaksanya makan." Sahut Brian sinis dan sedikit menyindir.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING✔️
Teen FictionSemua itu perihal menerima. Btw, orang-orang pada gak percaya sama judulnya.