tiga

9.4K 942 15
                                    

Selama kerja, Langit sama sekali tidak bisa fokus. Hati dan pikirannya penuh akan adiknya disana. Sabar. Satu penumpang lagi dan ia akan menjemput Kara pulang.

"Makasih ya, mas."

Langit mengangguk singkat dan melajukan kembali motornya menuju rumah besar bibinya. Seperti tadi, Langit memarkir motornya agak jauh dan ia akan berjalan kaki. Namun ia tidak sembarang masuk. Langit memilih mengintip dari balik pohon, mencari-cari adiknya di tengah keramaian disana.

Tidak ada.

Ada bibi dan suaminya yang bercengkrama dengan tamu, Lio dengan teman-temannya, tidak mungkin kan Kara jadi badut Frozen itu?

Langit sudah tidak bisa sabar lagi.

"Ada yang lihat Kara?"

Tidak banyak yang melihat ke arah Langit, mungkin hanya Bibi dan Lio yang terlihat sangat kaget. Langit berdecak, ia masuk ke dalam rumah dan menuju dapur.

Feeling-nya tidak pernah salah.

Benar saja. Kara ada disana, berdiri di depan tumpukan cucian piring yang kotor. Keringat anak itu sudah banjir, kemeja yang disetrika dengan teko panas itu sudah lusuh lagi. Hati Langit mencelos. Tanpa aba-aba Langit menarik tangan Kara.

"Eh Abang?!"

Langit berhenti di depan bibinya, ia sudah tidak menahan rasa bencinya saat ini.

"Brengsek kalian semua."

"Abang..." Cicit Kara, ia mencoba meredakan amarah abangnya.

"Kenapa menyuruh Kara cuci piring? Apa dia babu Lo? Kalau punya masalah sama nyokap gue ya sama nyokap gue aja, Kara gak ada sangkut pautnya sama kalian! Dan juga nyokap gue udah mati, jadi kalian masih ada dendam apa? Iri tentang apalagi?"

Tentang kecemburuan antar saudara adalah penyebab permasalahan ini dimulai.

"Kara penyebab Ara meninggal."

Langit tertawa sumbang atas ucapan bibinya. "Bukannya seneng? Lo seneng kan keluarga gue akhirnya hancur, bukannya Lo seneng bunda hampir mati saat persalinan? Oh atau yang paling Lo seneng itu waktu bunda sujud di kaki Lo buat minjem uang operasi Kara?"

Malu sekali Kara rasanya. Ia memang beban sekali. Sudah merepotkan bunda sekarang merepotkan Langit. Abangnya tidak perlu melakukan ini.

"Abang, Kara sendiri yang pengen lakuin ini. Bibi gak nyuruh-nyuruh, Kara." Kara mencoba menengahi.

Langit berdecak kesal, ia tatap wajah adiknya yang pucat pasi. Pemuda itu melepaskan genggamannya pada Kara dan berlalu begitu saja meninggalkan adiknya. Kara tentu saja panik, kakaknya marah.

"Abang, tungguin!"

Tanpa berpamitan Kara pergi, bodoamat mau dibilang tidak sopan. Lain kali ia akan datang untuk meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di acara sepupunya.

"Abang!"

Kara mengejar Langit yang sama sekali tidak peduli bahkan sekedar untuk menoleh. Apakah kakaknya itu tidak berpikir kalau berlari seperti ini bisa membuatnya mati? Kara berhenti, ia menyerah. Napasnya tinggal satu-satu.

Anak itu sudah pasrah kalau ditinggalkan disini. Ia memang pantas dihukum.

"Berdiri."

Kara mendongak, ia tersenyum lebar. Langit tidak mungkin tidak peduli.

"Maaf..."

"Dengan Lo lakuin hal kayak tadi Lo ngehianatin usaha gue buat jaga Lo sebaik mungkin, Kar. Berhenti buat gak enakan sama orang! Karena mereka bakal seenaknya sama Lo!"

HAPPY ENDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang