BAB 21

43 4 0
                                    

Tepat saat ketika perjalanan nya yang hendak ke kampus nggak jadi, dan yang lain pun merasa kecewa pada pak Ilham karena menggosting mahasiswa maupun mahasiswi nya. Karena adik kembar nya berada di rumah sakit milik dokter Nafidzah, Raka berniat untuk ke sana sekarang pun.

Ia tahu, bahkan tahu sekali tempat lokasi rumah sakit tersebut. Setiba sampai di halaman rumah sakit, tak lupa juga Raka memarkirkan mobil nya di tempat parkir yang sudah di sediakan di sana dan mengunci semua nya agar tidak terjadi mencuri atau hal lain.

Raka berada di kasir untuk menanyakan keberadaan adik kembar nya pada mbak-mbak kasir tersebut. “Permisi, selamat siang. Ada hal keperluan apa, Mas?”

“Kalau boleh tahu, pasien bernama Hanna Salsabila Al Ghifari, di ruangan mana, ya?
“Di lantai dua kamar nomor 5,” jelas salah satu dari mbak kasir rumah sakit. Mbak tersebut melihat ke arah Raka dengan rasa takjub dan kagum, karena seorang Raka masih terlihat muda dan mungkin seusia dengan nya.

“Ini nanti yang menjadi calon istri nya beruntung banget, sih. Masya Allah, kalau nggak bisa dapatkan yang ini boleh lah kasih yang copy paste nya.”

“Kenapa mbak?” tanya Raka, karena pria itu sempat mendengar sedikit suara dari gumam kasir. Mbak tersebut langsung menggeleng kepalanya menandakan bahwa tidak ada apa-apa meski asli nya ingin memberontak kalau salah tingkah.
“Jangan menatap saya seperti itu, mbak. Itu tidak baik menatap pria yang bukan mahram nya terlalu lama, apalagi mbak nya sampai senyum seperti itu,” jelas Raka dengan lembut. Mbak itu tersadar langsung mengucap istighfar. “Astaghfirullah, Maaf.”

**

Setiba sampai di kamar yang sudah di kasih tahu tadi, Raka membuka pintu kamar inap adik kembar nya itu, sebelum nya pun ia mengetuk pintu terlebih dahulu karena teriakan dari dalam menandakan bahwa suruh masuk. Raka pun mengucap salam terlebih dahulu sebelum memasuki ke dalam kamar inap Hanna.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam.” Mereka yang berada di ruangan tersebut menoleh ke arah sumber suara, mereka sama-sama terkejut karena yang datang yaitu Raka. Bukan kah pria itu ke kampus? Tentu tidak, karena pria itu di gosting oleh dosen nya yaitu Pak Ilham.
“Abi, udah lama, Bi? Abi sama siapa ke sini nya?” sebelum menyamperin sang adik, Raka menghampiri Abi nya dulu yang sedang duduk di samping brankar yang di tempati oleh Hanna. Raka pun salim pada Abi nya. “Abi berapa menit yang lalu, ke sini nya tadi sama kang Rahman karena beliau bulak balik.  Kok kamu sudah pulang, nak? Bukan kah kata Hannan kamu mau ke kampus?”

“Raka di gosting karena dosen Raka mendadak kasih informasi saat mobil Raka sudah sampai di tengah-tengah perjalanan yang cukup jauh dari resto dan lumayan jauh dari kampus. Setelah itu Raka langsung putar balik, deh.”  Jelas Raka. Hannan yang sedang memakan martabak di bawakan oleh Abi nya pun tersedak lalu tertawa.

Raka dan kyai Riki yang menyadari itu langsung menoleh ke arah Hannan memberi kode jangan tertawa di saat masih di rumah sakit karena bahaya takut ada yang mengikuti. “Maaf, maaf, kok bisa bang? Bukan nya dosen abang nggak pernah memberi informasi mendadak gitu ya? Kok ini bisa? Kasihan nanti teman-teman abang di fakultas lain nya yang hari ini ada jadwal dosen itu.” Hannan mengasih pertanyaan membuat Raka semakin bingung karena banyak sekali pertanyaan yang di lontarkan nya.

“Dosen abang mau nemenin kucing nya lahiran,”

“HAH, APA?!” Bahkan Hannan yang sedari tadi diam mendengarkan pembicaraan sang kakak sedikit menganga terkejut. Hannan tertawa terbahak-bahak mendengar nya. Sungguh ini hal yang paling langka alasan dosen mengambil cuti dan mengerjakan mahasiswa maupun mahasiswi yang lain.

“Hufft..., Capek bang, kok bisa dosen abang kek gitu? Lebih penting kan kucing dari pada mahasiswa maupun mahasiswi yang di kerjakan oleh beliau,”

“Stop kamu! Jangan tertawa keras-keras di rumah sakit.” Meski memang benar apa yang di katakan adik nya itu. Harusnya seorang dosen lebih penting kan murid-murid nya dari pada hewan peliharaan itu. Ah sungguh tidak adil. Namun langka.

“Lalu sekarang teman-teman kamu gimana, nak?” tanya kyai Riki pada Raka. "Mereka juga pada menggerutu, bahkan sudah ada yang sampai ke sana. Soalnya katanya sangat penting, namun malah kek gini.”

**

“Umi, ini Hanna, umi di mana?” lirih Hanna bangun dari pingsan nya. Akhir nya Hanna pun tersadar namun ucapan yang di kala pertama kali saat sadar yaitu menanyakan umi nya.

Hannan, Raka, dan kyai Riki menoleh ke arah sumber suara. Mereka mendekati Hanna, Raka yang menggenggam tangan adik kembar nya itu. Hannan yang memeluk kakak nya itu. Abi nya pun menggenggam tangan putri nya.
“Teh, ini Hannan, teteh tolong sadar, kalau teteh seperti ini nanti umi akan malah sedih,” ucap Hannan menenangkan Hanna yang menangis. Hanna pun mulai berhenti menangis nya. Kyai Riki dan anak-anak memeluk Hanna untuk menenangkan Hanna.

“Abi, Abi nggak malu ‘kan kalau Hanna meminta waktu untuk lamaran dari Gus Zakka?” lihatlah Hanna malah memikirkan seperti itu bukan kah Hanna harus mementingkan kondisi nya dulu?

“Nak, kamu jangan memikirkan hal seperti itu. Abi belum meminta mantu dari kalian, Abi ingin kalian harus kejar impian kalian dulu. Jodoh, rezeki, maut sudah ada yang mengatur jadi kamu serahkan semua nya kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mendengar. Jadi, kamu meminta pertolongan kepada Allah, Allah yang mengetahui segala nya.” Jelas kyai Riki pada mereka.

“Abi nggak pernah malu, kamu kalau memang ingin menikah di usia muda itu hak kamu. Namun, kalau kamu ingin meminta nikah di usia yang sudah cukup, Abi pun nggak melarang. Nikah itu bukan sekedar hanya memamerkan romantis di depan kalangan orang lain, bukan pula seperti kamu yang lihat-lihat di sosial media, tapi menikah itu ada tanggung jawab yang besar. Seperti menjadi seorang istri, harus tanggung jawab melayani suami nya. Suami pun harus bertanggung jawab pada istri nya yaitu menafkahi istri dan anak, dan juga harus menanggung semua nya. Karena jika istri terluka pasti suami akan mendapatkan dosa.”

Mereka pun mengangguk kepala nya masing-masing. “Abi, nggak usah bahas nikah. Aku ‘kan masih sekolah, belum mikir ke sana,” rengek Hannan pada Abi nya.
Raka menyenggol lengan sang adik nya itu. “Diam, kamu!” mata tajam Raka bertemu dengan mata sang adik.

Hannan yang kalah pun langsung diam tanpa melihat wajah abang nya, padahal ia ingin sekali memaki-maki abang nya. Namun, ia tak mau salah satu hukuman sangat berat bagi nya. Siapapun yang membuat Gus Raka marah selalu ada hukuman nya.

**

Hannan dan Abi nya sudah pulang, namun di rumah sakit hanya Raka dan Hanna. Mereka kembar namun tak seiras. Wajah nya kembar tapi hanya beberapa persen saja. Kedua orang tua mereka sengaja memberi nama mereka tidak sangat mirip karena takut orang lain bisa mengenalinya. Ya meskipun masih bisa karena mereka kembar nya beda jenis kelamin bukan satu kelamin. Yaitu cewek sama cewek, atau cowok sama cowok.

Raka melihat ponsel nya yang menyala, di sana tertera dengan nama Bg Zibran. Raka lupa kalau diri nya sudah membuat janji untuk ke tempat cafe milik Zibran. Namun, bagaimana malam ini ia bisa keluar rumah sakit kalau diri nya harus menemani adik kembar nya?

Raka pun mengangkat telepon dari Zibran, takut ada yang penting.

“Assalamualaikum, bang. Kenapa?”

“Waalaikumsalam, huffttt .., akhir nya di angkat juga. Lo lagi di mana? Lo nggak lupa kan dengan janji?” suara Zibran sudah jelas di sela-sela telepon nya karena takut Raka lupa janji nya.

“Iya, bang. Gue tahu. Gue nggak lupa dengan janji itu. Tapi, maaf. Gue nggak bisa, karena gue harus temani Hanna di rumah sakit.”

“Astaghfirullah, kok bisa? Lo di rumah sakit mana? Kenapa lo ga bilang kalau Hanna masuk rumah sakit? Kan gue bisa tolongin dia. Tapi ah maksud gue bukan gitu.” Raka yang mendengar itu tersenyum tak jelas. Ia yakin abang senior nya di kampus menyukai adik kembar nya. Apakah Raka menolak kalau adik nya di sukai oleh orang lain? Tidak. Bagaimana pun itu hak mereka masing-masing. Tapi yang Raka pinta untuk tidak berpacaran dengan Hanna kecuali sudah menikah.

“Di rumah sakit dokter Nafidzah. Tahu ‘kan?”

“Iya gue tahu. Boleh gue ke sana? Maksudnya setelah acara ini. Karena kasihan di sini sudah ramai dan banyak orang. Lo nggak hadir juga ga masalah, yang intinya lo fokus ke Hanna dulu.”

“Iya, bang. Semoga acara nya lancar, sorry gue ga bisa datang ke sana. Kalau mau kesini kabari gue, Assalamualaikum.”

Telepon nya di matikan oleh Raka. Ia menaruh handphone nya ke dalam saku celana nya. Setelah itu duduk kembali di samping brankar Hanna. Sebenarnya lama-lama di sini bosan tetapi ini demi menjaga adik nya sendiri.

Raka menatap wajah sendu milik sang adik, ketika melihat wajah sang adik kembaran nya itu persis mirip dengan almarhum umi nya. Ketika Hanna senyum, Raka merasa itu bukan Hanna melainkan umi nya. Ketika bicara nya lembut Raka mengingatkan dengan umi nya.

Begini lah di tinggalkan oleh orang yang kita cintai, yang kita sayangi selama-lamanya. Dan, bila ingin bertemu hanya berdoa itu pun kalau bertemu dengan nya kalau tidak hanya takdir Allah yang menentukan.

“Kak, mau?” tanya Hanna menyodorkan cemilan nya. Hanna merasa kalau kembaran nya ini melihat diri nya. Sebenarnya Hanna ingin menanyakan kepada kembaran nya kenapa Raka bisa menatap nya seperti itu.

Raka menggeleng kepalanya sebagai jawaban. “Kakak mau shalat dulu, kamu di sini nggak apa-apa ‘kan?” Shalat yang di maksud Raka yaitu shalat Ashar. Raka belum shalat karena tadi di dalam ruangan masih ada Abi nya. Dan ia pun merasa tidak enak hati meninggalkan Abi nya meski itu untuk melaksanakan kewajiban.

“Iya, kak. Nanti setelah itu bantu Hanna untuk shalat juga, ya?” Raka mengangguk kepala nya, ia mengusap kepala adik kembarnya. “Kalau ada apa-apa kabari kakak, jangan sampai kamu kenapa-napa. Kakak tidak mau kamu ada luka sedikit pun, okay?”

“Iya, kak. Posesif banget, padahal aku sudah dewasa loh, aku bisa jaga diri baik-baik, kok.”

“Bagaimana pun, kamu tetap anak kecil di mata kakak, Abi mu, dan adik mu. Karena apa? Karena di keluarga ini, hanya perempuan satu-satunya kamu. Maka dari itu kamu harus di jaga dengan baik. Walaupun kita kembar, seusia, kamu tetap anak kecil di mata kakak.” Suara Raka sangat lembut membuat Hanna terharu. Seperti ini kah rasa nya memiliki tiga seorang laki-laki yang menyayangi nya dan menjaga nya.

Hanna dan Raka usia nya berbeda beberapa menit, namun Hanna di mata keluarga Ar-Rofiq yaitu di anggap anak kecil yang manja. Walaupun usia nya sudah 23 tahun tidak ada salah nya bila di manja oleh ketiga orang laki-laki yang di sayangi.

Setelah menunggu Raka shalat, Hanna membuka ponsel nya ia melihat beberapa pesan yang di kirim oleh Qilla. Hanna tahu Sebenarnya masalah Qilla, namun wanita itu kalau kelamaan di rumah Hanna takut lebih masalah nya dari itu. Qilla saat ini sedang membutuhkan Hanna, namun kondisi Hanna belum sepenuhnya stabil dan sehat. Tubuh nya saja lemas bahkan kepala nya kalau bangun pusing. Padahal, penyakit yang di alami tidak terlalu parah. Mungkin ini akibat stres dan syok
Qilla 🖤: Assalamualaikum, Hanna. Kamu lagi di mana?

Qilla 🖤: Aku capek, Hanna. Aku ingin bersama kamu.

Qilla 🖤: bahkan aku capek di siksa seperti ini, lebih baik aku balik ke asrama lagi dari pada tinggal di Indonesia kalau di siksa seperti ini.

Qilla 🖤: Hanna, kamu nggak lupa sama aku ‘kan?

Hanna: waalaikumsalam, aku lagi di rumah.
Qill, aku yakin kamu kuat. Kamu jangan lemah seperti ini. Ayok ngelawan walaupun memang ngelawan sama yang dewasa itu tidak baik. Aku ingin ke sana, namun aku takut dengan kakek nenek mu.

Qilla 🖤: Aku capek, bahkan saat ini aku di siksa di dalam kamar. Aku nggak boleh keluar, nggak boleh makan. Aku capek. Aku ingin ke rumah kamu.

Hanna: Aku akan ke sana. Dan aku akan bujuk kakek nenek mu yang sudah menyiksa kamu. Okay? Kamu kirim makanan, namun aku akan mengirim nya melalui satpam rumah kamu, Pak Derry. Di sana ada Pak Derry kan? Nanti aku kirim makanan nya. Nanti aku kasih tahu Pak Derry mengasih makanan nya jangan sampai kakek nenek mu melihat.

Qilla 🖤: Kamu jangan ke sini, ya? Aku ga mau kamu di siksa juga. Sebenarnya pak Derry ada di ruangan nya, namun pak Derry juga nggak berani ke dalam kalau ada kakek nenek.

Hanna: iya udah, kamu boleh kirim nomor Pak Derry? Aku minta tolong sama pak Derry.

Qilla 🖤: Contacts Pak Derry.

Hanna: kamu jangan kelamaan nangis ya? Aku sudah pesan makanan nya. Kamu nggak usah bayar, nanti aku minta sama pak gojek nya kasih ke pak Derry aja.

Qilla 🖤: maafin aku, ya? Maaf aku merepotkan kamu. Hanya kamu yang aku butuh kan.

Hanna: iya, Qilla. Kamu sudah aku anggap sebagai saudara sendiri. Kamu kalau lagi butuh sesuatu gapapa kabari aku aja, ya? Maaf aku tidak bisa ke sana. Karena aku ada urusan.

Hanna hanya beralibi pada Qilla, ia tak mau kalau Qilla semakin khawatir pada Hanna tentang penyakit nya dan sampai di bawa ke rumah sakit. Waktu itu pun, Hanna tak sengaja memberi tahu pada Qilla, namun wanita itu ketika sedang ada acara dengan keluarga, Qilla tetap menyempatkan waktu nya untuk menjenguk Hanna sampai saat itu Qilla menangis karena khawatir.

“Maafin aku, Qilla. Aku ingin membantu kamu, namun kondisi aku seperti ini. Maaf aku sudah berbohong karena aku tidak mau membuat kamu khawatir. Ya Allah, tolong lindungi sahabat saya. Beliau orang baik, tolong lindungi sahabat saya dari kejahatan yang ada di dekat nya.”

Ceklek!

“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan sopan.

Hanan menoleh ke sumber suara. “Waalaikumsalam.”

“Dek, tadi abang nggak sengaja dengar kamu bicara tentang Qilla. Memang Qilla kenapa, ya? Kamu juga wajahnya terlihat khawatir.”

“Aku—

**

Gaisss..., kalau ada typo kabari aku aja, ya? Kalau ga jelas maaf banget yaaaaa"(

Bingung mau ngetik apalagi.

Jangan lupa bahagia yapss<3 walaupun ga ada duit, tetap bahagia terus❤️ ✨ jangan lupa di vote.

Semangat yang sedang menjalankan PAS (Penilaian akhir semester) ganjil🤝. Semoga nilai nya memuaskan, jangan lupa belajar. Jangan suka fiksi Mulu.

Tangerang, 29 November 2022

FAMILY AR-ROFIQ ||SQUEL DOSEN BUCIN||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang