s a t u

17.6K 1.3K 9
                                    

"Ada apa dengan wajahmu?"

Ku lepas earphone dari telingaku, lalu mendongkak pada laki-laki itu. "Hah?"

"Aduh... bahkan perempuan yang satu ini tidak sadar kalau wajahnya yang muram itu mengganggu hariku yan cerah." Lyon memutar bola matanya .

Aku menaikkan sebelah alisku. "Kalau kau sudah tau aku sedang sedih, kenapa kau bicara padaku?"

"Wah wah.. adikku yang satu ini gemar sekali membentak." Lyon menyeringai, tidak menghiraukan pertanyaanku itu. "Cepatlah buang wajah yang menyedihkan itu lalu turunlah! Mama sudah menyiapkan sarapan di bawah."

Aku pun berjalan ke ruang makan. Lyon mengikutiku dari belakang.

"Ngomong-ngomong aku tidak suka di panggil adik karena umur kita bahkan hanya beda beberapa menit. Kau tahu itu kan?" Tanpa melihatnya pun aku tahu dia sedang menyeringai di belakangku.

"Pagi, Lyna!" Mama terdengar riang hari ini. Hmm.. ada apa kira-kira?

Aku duduk di sebelah mama lalu menyambar dua lembar roti sekaligus. "Pagi, Ma!"

Mama menepuk pundakku sambil tersenyum. Eh?"Mau ikut?" tanya Mama setelah melihat perubahan ekspresi wajahku.

Mataku mengarah dari Mama menuju Lyon. "Apa?" Dia mengangkat alisnya, bingung karena aku menatapnya.

"Kau ikut ke pemakaman hari ini?"

Wajah bingungnya berubah menjadi senyuman lembut khasnya. "Tentu saja aku ikut, duh!"

Mataku kembali mengarah ke Mama. "Kalau begitu aku juga ikut." Aku menjawab pertanyaan nya sambil tersenyum. Tiba-tiba suasana hatiku berubah ceria.

"Kalau begitu, cepat habiskan sarapanmu, ganti pakaian dan kita berangkat," kata Mama sambil menuju ke kamarnya, lalu tiba-tiba langkahnya terhenti lalu mendongkak ke arahku.

" 'Dan jangan lupa pakai sarung tanganmu.' Iya, aku tahu." Aku melanjutkan kata-kata yang belum sempat keluar dari mulut Mama yang sudah terbuka itu. Lyon terkikik melihatnya.

Mama tersenyum dan berkata "Mama lupa kalau kamu bisa membaca pikiran tanpa harus bersentuhan." Lalu berhenti sebentar. "Yah walaupun itu hanya berlaku untuk Mama dan Lyon." Lalu kembali berjalan ke kamarnya.

***

Lyna Freyana. Itulah namaku. Saat ini aku tinggal dengan mamaku dan saudara kembarku, Lyon. Yah.. Papa sudah meninggal ketika aku berumur 10 tahun. Kecelakaan.

"Hei kita sudah samapai. Mau bengong sampai kapan?" Lyon menepuk pundakku, lalu aku menepisnya dengan halus. "Maaf."

Aku tidak menghiraukannya, berjalan keluar dari mobil. Aku memang tidak suka disentuh, karena aku tidak suka melihat apa yang orang lain pikirkan. Apalagi yang terkesan negatif.

Yup. Aku bisa membaca pikiran orang hanya dengan menyentuhnya. Terutama menyentuhnya dengan telapak tangan.

"Oh.. ayolah jangan marah." Lyon mengejarku. "Lagi pula pikiranku bukan limbah." Aku berhenti lalu mendongkak ke arahnya. Dia menyeringai.

"Yah tapi aku tidak ingin melihat otakmu yang sedang menampilkan gambar orang yang kau sukai itu." kataku sambil memutar bola mata. "Oh.. berhentilah menyeringai dengan wajah menjengkelkan itu." Aku mecubit kedua pipinya, lalu melepaskannya sebelum berjalan lagi. Mama yang melihat kami hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng.

Nisan papa. Sudah setahun aku tidak ke sini. Biasanya aku berdoa di nisan papa, sambil menceritaka semua suka dan duka yang kualami setiap tahun. Aku dan papa cukup dekat sebelum ia meninggal. Aku bahkan menangis tanpa henti selama 2 hari karena tidak rela dia meninggalkan kami sedini ini.

Semenjak papa meninggal, aku lebih terbuka dengan Mama, selalu bercerita tentang kemapuanku atau tentang masalah sosialku. Terlebih kepada Lyon. Bagiku dia adalah bagian diriku yang lain. Jika saja dia sudah tidak ada sekarang, mungkin hidupku sudah kacau.

Mind ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang