"Berhentilah tertawa Lyon." Aku ngambek tentu saja. Aku bisa melihat Vic tersenyum, menahan tawa. Huh!
"Sejak kapan kau suka menyuarakan pikiranmu?"
Aku hanya diam, tidak peduli pada Vic yang bertanya.
"Ayolah, Ly, jangan ngambek! Walaupun ku akui tadi itu lucu." Kata Lyon lalu tertawa lagi.
"Aku setuju dengan Lyon." Kata Vic tetap menahan tawanya.
Tin Tin!
Deja vu. Ada mobil yang melintas cepat ketika kami bertiga menyeberang. Aku yang berjalan paling belakang hampir tertabrak mobil kalau saja Lyon tidak menolongku.. Dan semuanya berubah gelap ketika aku terjatuh setelah Lyon mendorongku.
***
Aku membuka mataku. Bau rumah sakit tersebar di seluruh ruangan. Dan sekelilingku semuanya berwarna putih."Kau sudah sadar?" Tanya Vic yang duduk di samping ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat.
"Iya." Jawabku lemah. Lalu aku tersadar aku tidak menggunakan sarung tangan. Lalu aku menggapai tangan Vic. "Boleh?"
Dia tahu aku ingin melihat kejadian yang terjadi tadi. Dia pun mengangguk.
Aku menyentuh tangannya, lalu aku melihat Lyon yang.. Berlumuran darah..
"Dimana dia sekarang?" Tanyaku pdanya. Wajahku tidak kalah pucat dengannya. Dia hanya menunjuk ranjang rumah sakit di sebelahku yang tertutup tirai putih.
Aku turun dari ranjangku perlahan. Vic menuntunku ke tempat Lyon. Ketika aku menyibak tirai di antara ranjang kami, aku terkisap.
Kepalanya di balut perban, tangan kanannya di gips. "Dia masih belum bangun sejak tadi." Kata Vic pelan.
"Ini salahku." Gumamkunpada diri mendiri.
"Jangan salahkan dirimu sendiri, Lili." Katanya sedih.
"Kejadian ini bahkan pernah terjadi, Vic. Dua orang yang berbeda! Pertama kau! Lalu sekarang Lyon!" Air mataku tumpah.
Vic menepuk kepalaku pelan, lalu mengusapnya. "Kau sering menangis akhir-akhir ini. Itu bukan kebiasaanmu."
Aku tidak membalas perkataannya. Terus menangis hingga mama datang dengan paman Thomas.
***
Mama sudah pulang karena lelah. Aku yang menjaga Lyon hari ini. Ketika aku masuk ke ruangan, aku melihat Paman Thomas sedang duduk di samping ranjang sambil membaca buku."Permisi." Kataku, lalu masuk.
"Oh Lyna. Kamu sudah sampai." Katanya sambil tersenyum.
Aku pun duduk di dekat paman, lalu kami berdua diam.
"Paman.. Kapan kalian akan menikah?" Tanyaku memecah keheningan.
"3 bulan lagi." Katanya.
"Paman benar-benar sayang pada mama?"
"Tantu saja, Lyn. Aku sangat menyayanginya. Aku juga sayang pada kalian berdua."
"Mama sudah cerita tentang kami berdua? Semuanya?"
Dia mengangguk. "Termasuk ini." Katanya sambil menganbil tanganku yang dibalut sarung tangan. "Kau boleh melihat kesunggukanku kalau kau mau, sayang."
Aku melepas sarung tanganku, memegang tangannya yang kasar. Dan.. Ya, dia serius. Tanpa sadar aku pun tersenyum.
"Besok kamu sekolah kan? Biar paman saja yang jaga Lyon."
***
"Bagaimana Lyon?" Tanya Val khawatir.Karena Lyon masih di rumah sakit, Vic yang mengantar jemputku.
"Lynaa!!! Kau dengar aku tidakk?" Teriak Val yang jelas-jelas duduk di sebelahku.
Aku meringis kesakitan. "Berhentilah berteriak! Kau tidak kasihan dengan telingaku?"
"Habisnya kau tidak mendengarkanku!"
"Baik.. Baik. Apa tadi yang kau katakan?"
Dia menghela napas kesal. "Bagaimana keadaan Lyon?"
"Dia membaik. Tapi masih belum sadar." Val terlihat sedih ketika mendengarnya. "Aku berharap dia cepat sadar."
"Dan juga cepat sembuh." Sambung Val.
Lalu aku menangkap sosok Grey masuk ke kelas.
"Sepertinya dia menghindarimu." Kata Val.
"Iya, aku juga berpikir begitu."
"Mau bicara dengannya, Lyn?"
Aku berpikir sebentar. "Kurasa aku akan bicara dengannya pulang sekolah nanti."
Aku pun cepat-crpat membuka HP ku lalu mengirim pesan.
Untuk: Grey
Pulang sekolah temui aku di cafe biasa.Tidak lama kemudian Grey pun membalas.
Untuk: Lyna
Kenapa?Untuk: Grey
Ada yang harus aku bicarakan denganmu.Grey tidak membalas lagi.
Untuk: Victor
Kau pulang saja duluan. Aku ada urusan. Nanti aku jalan kaki.Untuk: Lyna
Aku akan tunggu kau di lapangan sekolah. Aku tidak menerima penolakan.Aku menghela napas. Baiklah, tuan pemaksa..
KAMU SEDANG MEMBACA
Mind Reader
Teen FictionKau mau menjadi sepertiku yang punya kemampuan membaca pikiran? Aku bersedia memberikan kemampuan ini padamu, kalau saja aku bisa. -Lyna Freyana- Ketika rahasianya terbongkar, yaitu kemampuannya membaca pikiran, tidak ada satupun orang yang mau bert...