s e p u l u h

6.8K 664 2
                                    

Aku sedang duduk sendirian di taman. Karena dia sedang demam, Lyon tidak menemaniku.

Karena bosan. Aku pun berjalan-jalan di sekitar taman. Aku tidak peduli dengan tatapan orang yang kasihan melihat seorang anak berumur 6 tahun berjalan sendirian.

Tanpa kusadari, aku tersesat. Aku mulai menangis. Tidak ada seorang pun yang peduli ketika melihatku terduduk di tanah sambil menangis.

"Kenapa kau menangis?" Tanya seorang laki-laki yang seumuran denganku.

"A..aku ter..se..sat. Hiks." Lalu aku kembali menangis.

Dia pun terlihat bingung. "Sudah jangan menangis lagi." Katanya menenangkanku. "Sini ku antar kau pulang." Katanya sambil menarik tanganku.

Aku menyeka air mataku, berusaha untuk tidak menangis lagi. "Ka..kamu tahu rumahku di mana? Hiks." Tanyaku dengan suara serak.

Dia tidak menjawab. Lalu dia menuntunku kembali ke rumah, tanpa mempedulikan pertanyaan-pertanyaan yang ku lontarkan ketika kami berjalan.

Ketika kami sampai, aku melihat mama sedang mencariku. Aku langsung melepas henggaman tangan laki-laki itu dan memeluk mama.

"Kamu kemama saja? Mama dari tadi mencarimu, sayang." Katanya sambil memelukku.

"Tadi, anak itu-" ternyata anak itu sudah tidak ada. "Tadi ada anak laki-laki yang mengantarkanku pulang."

Mama hanya mengangguk, lalu menuntunku masuk ke dalam rumah.

***

Beberapa hari kemudian, Lyon bilang ia ingin mengenalkan sahabatnya pada mama dan aku.

Aku jarang melihat Lyon bersama orang lain selain aku. Jadi bagiku itu hal yang jarang.

Tok tok tok

Mama cepat-cepat membuka pintunya. Aku tidak tahu siapa yang datang. Mama sepertinya sedang berbincang-bincang dengan tamu kami.

Lalu Mama menuntun tamu itu masuk. Lyon yang juga dari luar masuk dengan mereka.

"Ly! Kenalkan ini sahabatku, Victor. Dia tetangga baru kita."

Aku yang sedang menonton TV pun memalingkan wajah dari TV pada Lyon dan sahabatnya.

Mataku membulat, kaget. Dia orang yang menolongku ketika aku tersesat beberapa hari lalu.

***

Kami bertiga memang tidak satu sekolah, tapi persahabatan kami bertiga tida luntur semudah itu. Sampai satu hari..

"Vic! Lyon! Tunggu aku!" Teriakku pada Vic dan Lyon yang berlari di depanku.

"Cepatlah, Li! Kita akan terlambat ke pertandingan!" Hari ini mereka akan bertanding basket dengan teman-teman mereka yang lain.

Lapangan tempat mereka bertanding ada di seberang sekolah. Aku tidak berhati-hati ketika menyebrang jalan. Dan yang kuingat hanya ada mobil yang hampir menabrakku, dan Vic menyelamatkanku. Tapi tangannya patah karena terjatuh setelah menolongku.

Dia tidak boleh lagi bermain basket sejak hari itu. Dan kejadian itu membuat tali persahabataan aku dengan Vic putus.

Mau berapa kali pun Lyon mencoba memperbaiki hubungan itu, kami tidak akan terikat lagi oleh tali itu jika bukan kami sendiri yang merajutnya.

***
Siapa sangka akhirnya Vic mau berbicara empat mata denganku lagi. Kami sedang duduk di cafe dekat sekolah.

"Sejak kapan kau tahu soal kemampuanku ini?" Aku memulai pembicaraan sambil menunggu pesanan kami.

"Saat sebelum kau membuat tanganku patah. Lyon sudah pernah memberitahunya." Aku terdiam.

Aku tidak membalas perkataannya tadi. Aku hanya menunduk dengan pandangan sedih.

"Sudahlah kau tidak perlu memikirkan itu. Biarkan masa lalu menjadi pelajaran bagi kita." Dia melihat perubahan raut wajahku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.

"Sama bijaknya seperti dulu, huh?"

Dia hanya tersenyum kecil sambil mengangkat bahunya.

"Lalu kenapa kau tidak risi berada di dekatku?"

"Dengar Li. Tidak semua orang takut dengan kemampuanmu. Pasti ada orang lain yang beranggapan seperti Lyon, aku dan mamamu. Lagi pula kau selalu menggunakan sarung tangan." Katanya panjang lebar.

Aku merenung. Apakah benar? Lalu aku menatap mata Vic. "Boleh aku melihatnya sendiri? Dengan caraku?" Tanyaku sambil melepas sarung kangan yang kupakai.

Dia hanya tersenyum lalu memberikan tangannya padaku.

Aku mengambilnya, dan.. Deg... Air mataku tumpah. Aku melepas tangannya dan menangis diam. Vic yang tadinya duduk di depanku, pindah di sebelahku. Dia memelukku dan menepuk pundakku. Dia membiarkanku bersandar di bahunya.

"Terima kasih." Kataku dengan suara serak.

Akhirnya aku mendapat satu orang lagi yang bisa kupercaya.

Mind ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang