Lyna's POV
"Vic! Lama sekali kau!! Kau sedang apa?!" Teriak Lyon di luar kamar Vic. Kami berempat, aku, Lyon, Grey, dan Val akan mengantar Vic ke bandara bersama kedua orang tuanya.
"Sebentar lagi selesai!!! Sabarlah Lyon!!" Kalian bertanya apakah aku sedih? Tentu saja! Bahkan lebih dari sedih! Aku sebenarnya tidak rela Vic pergi. Tapi, aku harus menghargai keputusannya. Yang penting dia ke sana untuk belajar, bukan untuk mencari cewe.
"Aku sudah siap." Kata Vic sambil membuka pintu kamarnya. Dia menarik kopernya yang besar. Kami pun berjalan ke depan rumah, menghampiri 2 mobil yang terparkir rapi di sana.
Setelah Vic menaruh kopernya di bagasi, kami pun pergi ke bandara. Vic dan orang tuanya di mobil pertama sedangkan sisanya di mobil kedua.
Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan sampai Vic kembali nanti. Entahlah, karena aku sudah terbiasa berada di dekatnya. Jadi kalau dia tidak ada rasanya ada yang kurang.
"Hei bengong terus." Vic menyentil dahiku. "Dari rumah sampai aku udah mau terbang kamu belom ngomong sama sekali, loh."
Aku mengusap dahiku yang memerah. "Jangan sentil-sentil sembarangan, dong." Dia hanya nyengir. Lalu kami mendengar pesawat yang akan di tumpangi Vic akan segera pergi.
"Jaga diri kamu baik-baik ya. Jangan malu-maluin di sana. Papa mama harap kamu bisa bedain mana yang boleh kamu lakukan mana yang ngak boleh." Kata papa Vic sambil mengusap puncak kepalanya.
"Kami akan merindukanmu, sayang." Kata mamanya sambil memeluk Vic.
"Jaga diri ya bro! Kita bakal kangen sama lo." Kata Lyon sambil menepuk pundak Vic.
"Lu harus balik lagi. Jangan gantungin adek gua lama-lama." Kata Grey.
"Good luck ya di sana. Kita semua doain kamu selamat sampai tujuan" kata Val sambil nyengir.
Ketika sampai padaku, aku belum bicara. "Kamu gamau ngomong apa-apa, Li?"
"Kamu harus nepatin janji kamu. Janji harus di tepatin. Aku akan berusaha jagain perasaan ini sampai kami balik ke sini."
Dia tersenyum, lalu menepuk puncak kepalaku. "Aku juga akan berusaha. Tapi, perasaan gabisa di paksa. Kalau akhirnya kita ga bersatu, yang penting aku liat kamu bahagia. Itu udah cukup. Tapi tenang aja, aku akan berusaha." Katanya sambil tersenyum lembut.
Dia lalu memelukku dan aku membalasnya. "Kamu harus sering skype sama aku." Dia hanya terkekeh.
Bye, Vic. We'll miss you so much.
***
10 tahun kemudian
"Mama!! Katanya mau ke rumah sakit, liat Lyon." Teriakku dari lantai bawah.
"Iya sebentar Lyna! Mama lagi siap-siap. Kamu tunggu aja dulu di depan sama papa." Aku mendengus kesal. Padahal kerjaanku di kantor masih banyak.
Setelah kami menunggu lama sekali, mama akhirnya selesai. "Memangnya kenapa nih mama mau liat Lyon? Ngak biasanya."
Mamanya hanya tertawa. "Mama kangen, tahu. Mama pengen tahu dia udah punya pacar lagi apa belom." Aku memutar bola mataku. Aih.. Mama. Lyon itu masih stuck sama satu orang yang tidak akan terlupakan baginya!!
Akhirnya kami menuju ke rumah sakit tempat Lyon bekerja. "Papa ternyata ngak salah kasih pekerjaan buat kamu, ya. Untung bukan Lyon yang ambil alih." FYI, aku sangat ingin menjadi dokter. Tapi, Lyon sudah bilang ke papa jauh-jauh hari sebelum aku sempat mengatakannya, sementara Grey.. Um dia membuka restoran yang sekarang cukup terkenal di kota ini. Jadilah aku yang harus mengganti papa kelak. Hah.. Nasib. Nasib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mind Reader
Teen FictionKau mau menjadi sepertiku yang punya kemampuan membaca pikiran? Aku bersedia memberikan kemampuan ini padamu, kalau saja aku bisa. -Lyna Freyana- Ketika rahasianya terbongkar, yaitu kemampuannya membaca pikiran, tidak ada satupun orang yang mau bert...