Jeno berdiri di halte bus menunggu kendaraan umum itu tiba. Motornya kemarin sempat dibawa ke bengkel oleh Jaehyun. Alpha Jung itu sendiri yang memberitahunya melalui sebuah pesan singkat tadi malam. Walhasil, agar bisa sampai ke sekolah, Jeno harus rela menunggu bus yang datangnya terkadang terlambat.
Berulang kali Jeno selalu memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu terus berjalan, tetapi bus yang ditunggu Jeno tak kunjung datang. Alpha itu tak hentinya mendecak tak sabaran. Gerbang hampir di tutup jika Jeno tetap singgah menunggu bus tiba di pemberhentian.
"Disaat begini, mengapa kau tidak bisa diandalkan?!" Jeno langsung pergi meninggalkan halte.
Jeno sempat menghubungi beberapa teman-temannya, tapi sepertinya keberuntungan sedang tidak memihak Jeno. Renjun bersama Donghyuck, Taeyong sedang ada urusan, bahkan yang lain pun secara bersamaan tiba-tiba mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Sehingga tak ada satupun dari mereka yang dapat membantu Jeno.
"Akan kupastikan, jika kalian membutuhkan bantuanku, aku bersumpah tidak akan menolong kalian semua!" Lagi, Jeno menggerutu disepanjang jalanan.
Jeno kembali melihat jam. Oh sial, dirinya sudah terlambat. Lekas Jeno pun mempercepat jalannya. Sesekali berlari mengejar waktu yang semakin menipis.
ㅡㅡㅡ
Sudah Jeno duga sebelumnya. Ia takkan diizinkan masuk lantaran keterlambatannya. Jeno sampai di sekolah tepat sepuluh menit kemudian dari kesempatan yang memperbolehkan para pelajar telat agar tetap bisa masuk yang hanya diberikan waktu lima menit. Jeno mengumpati penjaga sekolah karena tak mengizinkannya masuk meskipun dengan sukarela Jeno sempat menawarkan sebuah hukuman untuk dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Jeno memutuskan untuk masuk lewat belakang sekolah. Bersusah payah memanjat dinding tinggi, lalu sampailah ia berada di puncak dinding. Tepat ketika dirinya bersiap melompat ke bawah, Jeno dikejutkan oleh sebuah tas yang terlempar, nyaris mengenai Jeno apabila ia tak segera mengelak. Alpha Lee itu menengok ke bawah, di mana keberadaan musuh bebuyutannya berada.
Jeno masih singgah di tempatnya. Belum ada niatan turun. Memerhatikan dengan saksama saat Jaemin memanjat tembok. Ketika telah sampai di atas, Jaemin berhenti dan duduk tepat di samping Jeno yang menatapnya penuh kebencian.
"Terlambat juga?" Alpha Na bertanya.
Jeno tak merespons pertanyaan itu. Kala melihat Jaemin, rasa bencinya semakin membumbung tinggi. Jeno memilih untuk menghindar. Namun sebelum dirinya terjun, lengannya terlebih dahulu tercekal oleh Jaemin yang menahannya agar tak pergi.
Tatapan tak bersahabat lekas dilayangkan Jeno kepada Jaemin yang masih senantiasa menggenggam pergelangannya. Ia menepis kasar tangan Jaemin. Tanpa terucap sepatah kata, langsung melompat turun. Jeno berlalu meninggalkan Jaemin yang setia memerhatikan kepergiannya.
Kini, Jeno sampai di depan kelasnya. Ia menarik napas, mempersiapkan mental menghadapi guru killer yang tengah menerangkan sebuah materi di dalam sana.
Di ketuk pintu yang tertutup. Tangannya memegang pegangan pintu lalu mendorongnya secara perlahan sampai Jeno dapat diperlihatkan suasana kelas yang tenang dengan para murid memandang ke arahnya. Jeno langsung gugup seketika.
"Permisi, Bu. Maaf saya terlambat. Sayㅡ"
"Bersihkan gudang."
Jeno benar-benar merasa sial hari ini. Mau tidak mau ia mematuhi perintah gurunya atau hukuman akan lebih berat jika Jeno membangkang. Jeno menutup pintu kelas, melepas tas yang berada di punggung, kemudian menaruhnya di kursi. Tepat saat itu, Jaemin muncul dengan dibanjiri keringat. Mungkin karena berlarian, mengingat jarak belakang sekolah dengan kelasnya cukup jauh. Apalagi harus menaiki tangga terlebih dahulu.
"Bersihkan gudang." Jeno mengulang perintah sang guru kepada Jaemin.
Lagi dan lagi alpha Lee itu memilih untuk menghindar sebelum Jaemin bersuara. Langkahnya dipercepat. Tak ingin Jaemin mengikutinya. Salah bila berpikir Jeno akan langsung pergi ke gudang, ia bahkan tak sudi berada satu ruangan dengan musuh bebuyutannya. Jadi, Jeno putuskan akan ke kantin ketimbang menjalankan hukuman yang sempat diberikan oleh gurunya. Biarkan saja Jaemin sendiri yang membersihkan gudang, itu bukan urusannya.
ㅡㅡㅡ
Jeno mengaduk semangkuk Ramyeon yang baru saja matang menggunakan sumpit yang terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah. Aroma menggugah selera dari asap yang mengepul ke udara itu makin membuat perut Jeno keroncongan. Sedari pagi dirinya belum makan apapun.
"Aku selalu menyukai masakanmu, bibi Im," puji Jeno. Sosok wanita yang dipanggil bibi Im tersebut lekas mengacungkan ibu jarinya kepada Jeno.
"Mengapa kau malah datang kemari disaat jam istirahat masih lama? Apakah kelasmu tak diisi guru yang mengajar?"
Jeno menggeleng selepas menyuapkan mie ke dalam mulut. "Aku terlambat. Guru sempat menyuruhku untuk membersihkan gudang, tapi aku kemari karena aku merindukan masakan bibi, terutama Ramyeon buatanmu."
"Kau benar-benar anak nakal. Selepas ini, segeralah melaksanakan hukumanmu. Aku takkan membiarkanmu merasakan masakanku lagi jika bersikeras menolak karena Jaemin."
Jeno menghentikan kegiatan makannya. Kedua mata sabit itu menatap bibi Im yang tengah bersedekap dada. "Bibi tahu?"
"Kau selalu bercerita kepadaku, bagaimana aku tidak tahu masalah sekecil ini. Kau sudah seperti putraku. Jelas apa-apa yang membuatmu menghindar, itu pasti ada sangkut-pautannya dengan Jaemin."
Jeno tersenyum getir. Benar apa yang dikatakan bibi Im. Jeno tak punya tempat untuk dirinya berkeluh kesah. Orangtuanya pasti takkan peduli misalkan Jeno terkena masalah. Mereka akan selalu bekerja, bekerja, dan bekerja. Melupakan putra semata wayang mereka yang selalu kesepian setiap saat. Jeno hanya memiliki bibi Im yang telah ia anggap sebagai ibu juga teman untuk setiap permasalahan yang menimpanya.
"Bibi, kau membuatku ingin menangis. Ini masih terlalu pagi buatku untuk mengeluarkan airmata." Jeno merengek bak anak kecil. Menatap bibi Im dengan bibir mengerucut maju. Itu hanya sebuah refleks, dan hanya diperlihatkannya kepada bibi Im.
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. "Habiskan makananmu. Bibi harus mempersiapkan segalanya sebelum bel istirahat berkumandang."
"Bibi ingin kubantu?" tawarnya.
"Tidak usah. Kau harus ke gudang, ingat?"
"Aku tidak mau. Terlalu muak. Lebih baik membantu bibi."
"Kau sangat keras kepala, Jeno. Seperti putraku. Baiklah, aku akan membuatmu menyesal karena memilih untuk tetap di sini."
"Lebih baik menyesal di sini, daripada menyesal karena berada satu ruangan dengan si bajingan itu. Terima kasih bibi, kau yang terbaik!"
Jeno terkikik senang ketika mendapatkan usapan halus di rambutnya, sampai-sampai memperlihatkan kedua matanya yang turut tersenyum bahagia. Sikap tegas dan berwibawa yang dimiliki Jeno saat bersama bibi Im telah tergantikan dengan sikap yang jarang ditunjukkannya kepada orang lain. Karena bibi Im pernah bilang, senakal-nakalnya Jeno, Jeno tetaplah bayi di matanya.
Jeno pensaraan, siapa putra bibi Im yang kadangkala dijadikan perbandingan dengannya? Tapi tang pasti, anak itu sangat beruntung memiliki ibu penyayang seperti bibi Im.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alpha's Sworn Enemy
FanfictionKeduanya adalah musuh bebuyutan. Sikap mereka bahkan hampir mendekati mirip jika dibandingkan; sama-sama keras kepala, suka main tangan dan ingin menang sendiri. Sampai pada suatu ketika, kedua Alpha itu mengalami siklus Rut secara bersamaan dan ent...