Chapter 15

11K 745 34
                                    

BUGH!

Jaemin tersungkur menyamping. Kotak beludru di tangannya pun ikut jatuh ke tanah. Sebilah cincin di dalamnya sampai terlepas dari tempat, mengubur separuh emas perak tersebut ke dalam serbuk pasir yang membuatnya kotor.

Sosok yang meninjunya barusan—Jeno—memasang raut menyedihkan ke arah Jaemin. "Aku mohon, berhentilah bersikap yang membuatku tak mengerti. Aku tidak memintamu untuk melakukan ini, tapi kau yang memaksaku untuk melakukannya. Kau tidak akan mengerti jika belum merasakannya sendiri. Aku sakit, Jaemin, dan itu semua karena kau.

Berapa banyak lagi kesakitan yang akan kau torehkan padaku untuk yang kesekian kalinya? Apa kau belum puas melihatku tak berdaya? Butuh waktu yang tidak singkat untuk menghilangkan rasa sakit ini, dan aku minta, kumohon berhentilah mencampuri urusanku. Kali ini aku memohon sangat padamu, jangan pernah menganggu hidupku lagi." Jeno lantas berlalu pergi meninggalkan Jaemin dengan luapan amarah yang menggebu-gebu.

Jaemin tak bersuara. Ia sama sekali tidak pernah terpikirkan pada tujuan awalnya yang menjadi penyebab Jeno ketika menghadapi tindakan bodohnya, justru malah memberikan dampak yang bukan main-main rasanya bagi Jeno. Jujur saja kalau Jaemin dari awal tidak ada niatan untuk melukai perasaan Jeno. Ia tak suka melihat Jeno bersama orang lain karena dirinya cemburu. Katakanlah bahwa Jaemin memang bodoh. Ketidakberaniannya untuk mengungkapkan rasa sukanya pada Jeno, malah menyimpang di luar rencana awal yang telah disusunnya secara mantap.

Selain itu, Jaemin menyukai reaksi Jeno ketika memaki-maki dirinya. Jeno itu bersumbu pendek, mudah marah, dan mudah sekali terpancing emosi. Mungkin bagi sebagian orang saat menyaksikan Jeno berteriak penuh bentakan, terlihat sangat menakutkan, terlebih Jeno merupakan seorang alpha. Namun, bagi Jaemin, apa yang diserukan Jeno meskipun dengan cara membentak, Jeno yang cantik tetaplah terlihat berbeda di penglihatannya.

Kini semuanya berubah hanya dalam beberapa tindakan Jaemin yang terlalu gegabah mengambil langkah. Jeno membenci Jaemin. Selesai sudah.

Jaemin bangkit berdiri dengan gerakan lambat. Sorotnya memandang kosong pada hamparan tanah di bawahnya. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya sembari diliputi perasaan yang teramat menyakitkan. Bodoh, bodoh, bodoh, dasar bodoh. Dalam batinnya menyerukan umpatan untuk dirinya sendiri. Dia kemudian menendang pasir guna meluapkan emosinya.

"Sialan!"

•••

"Sepertinya kau sudah mengalami sedikit peningkatan."

Jaehyun tak merespons ucapan Taeyong yang datang dari arah belakang. Jaehyun hanya fokus pada pekerjaannya—mengelap meja—dengan menghiraukan keberadaan Taeyong.

"Sepertinya aku tidak bisa bekerja sampai kafe tutup. Akan kuserahkan semua padamu, oke?" Taeyong kembali bersuara. Kali ini alpha Lee itu mendekat pada Jaehyun, lebih tepatnya berdiri di samping Jaehyun.

"Kau mau ke mana?" tanya Jaehyun menghentikan kegiatannya.

"Ehm ... ke suatu tempat untuk menyelesaikan sedikit masalah ... mungkin?"

Jawaban macam apa itu, sama sekali bukan jawaban meyakinkan. Lebih ke ketidakpastian yang dipenuhi keraguan. Jaehyun sendiri menghela napas, lantas melanjutkan kegiatan tertundanya tanpa berniat ingin tahu lebih lanjut tentang urusan Taeyong.

"Sudah, hanya itu? Kau tidak ingin bertanya lagi?"

"Tidak."

Taeyong mengerucutkan bibir. Dengan sekali tarikan pada celemek kerja yang dikenakan Jaehyun, kini posisi mereka berdua sangat dekat dan saling berhadapan. Kedua tangan Taeyong menahan pinggang Jaehyun, sementara Jaehyun menaruh kedua tangannya di dada Taeyong. Bukan apa-apa, Jaehyun hanya refleks dan berusaha melepas dekapan Taeyong.

"Kau ... a-apa-apaan! Lepaskan aku!"

"Tidak mau, kau terus mengabaikanku."

"Lee Taeyong! Nanti ada yang melihat kita jika seperti ini!"

"Apa peduliku?"

Jaehyun menggeram kesal. Berontakannya pun percuma. Taeyong menahan akses gerakannya, di mana tenaga Jaehyun dibanding dengan Taeyong, jauh berada di bawahnya.

"Jung Jaehyun, tahukah kau, aku merasa tenang saat melihat wajahmu. Sekali saja, tersenyumlah untukku, boleh?"

"Kau ini sebenarnya kenapa?!" Alih-alih mendapatkan respons positif, Taeyong justru mendapat bentakan dari sosok di depannya ini. Namun, bukan Taeyong kalau menyerah begitu saja.

"Ayolah, kau hanya menunjukkan ekspresi datar. Kapan terakhir kali kau tersenyum?"

Jaehyun menyeringai tipis, dan dalam sekali serangan, Ia berhasil melepas dekapan Taeyong sekaligus membuat empunya itu meringis kesakitan sembari memegang bagian sensitifnya yang baru saja diremas kuat oleh Jaehyun.

"Sejak kau dan kelompok keparatmu itu mengubah kehidupanku, aku bahkan sudah lupa cara berbahagia itu seperti apa. Yang kulihat setiap hari hanyalah masalah, orang-orang tidak berguna, tangisan, penghianatan, dan perpisahan menyakitkan. Dalam prinsipku, aku tak memerlukan bahagia untuk hidup. Jika kebahagiaan bisa menjadi menyakitkan, aku lebih memilih langsung sakit untuk menghilangkan perih di relung hatiku."

Taeyong tak menjawab. Hal itu membuat Jaehyun kembali menyeringai kecil. "Ubah ekspresimu, aku tahu kau mengasihaniku, tapi aku tak butuh. Jika kau ingin pergi, pergilah. Aku akan menjaga kafemu hingga waktunya menjelang penutupan," ujar Jaehyun meninggalkan tempat. Dia berjalan ke arah meja bar pemesanan guna mengantarkan sajian pesanan seorang pelanggan.

Alpha Lee itu melirik ke arah Jaehyun. Memang tidak ada senyuman, hanya mengantar kemudian membungkukkan badan dengan sopan sebelum akhirnya pamit undur diri.

Perkataan Jaehyun tadi terus berputar ulang di benaknya. Sebesar itukah dampak yang ditimbulkan akibat kelalaian, hanya dalam kurun waktu sesingkat-singkatnya, mampu merenggut banyak hal termasuk kebahagiaan di dalamnya.

"Kalau begitu izinkan aku masuk ke kehidupanmu untuk memberikan kebahagiaan padamu, Jung Jaehyun," ucap Taeyong lantang. Tak peduli apabila masih ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati hidangan.

•••

Semua perkataan yang diserukan kepada Jaemin tadi memang curahan hati Jeno selama ini. Namun, setibanya di rumah, ada perasaan aneh hinggap di dadanya. Terasa mengganjal dan bisa membuat Jeno menitikkan air mata. Jujur, rasa sakitlah yang paling mendominasi.

Pemuda itu kini tengah meringkuk tak berdaya di atas kasur sembari meremat bagian dada. Tangisnya terdengar begitu pilu. Jeno tidak tahu mengapa, tapi dirinya senantiasa diingatkan kembali pada kejadian beberapa saat yang lalu seakan-akan apa yang sebelumnya sudah Jeno katakan sebagai sesuatu yang tidak seharusnya diucapkan.

"Aku mohon ... berhentilah ... ini menyakitkan ...."

Jeno teringat pada saat dirinya dan Jaemin rut bersamaan, kala itu Jaemin memberikan afeksinya yang membuat Jeno mengalami perasaan sentimental luar biasa yang membawanya pada euforia.

Membayangkan hal mesum itu membuat tubuh Jeno merinding. Namun, menghentikan sejenak rasa mengganjal di hatinya.

Apa yang terjadi?

"A-Akhh!" Jeno kembali memegangi dadanya. Ia tak sanggup lagi terus menangis. Sepanjang dirinya pulang, Jeno menahan tangisannya. Energinya benar-benar terkuras karena hal ini.

Tak tahu mengapa Jeno kini sangat membutuhkan kehadiran Jaemin. Dia ingin melihat Jaemin, ingin menghirup feromonnya, bahkan memeluknya erat supaya tidak pergi ke mana-mana.

"J-Jaemin ...." Tangan Jeno meraih ponselnya. Jemarinya mendial sebuah nomor, sampai akhirnya terhubung oleh seseorang yang dituju. "K-Kemarilah ... ku-kumohon ...."

Sambungan langsung dimatikan secara sepihak oleh seseorang yang Jeno hubungi.

Alpha's Sworn EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang