Chapter 17

8.3K 609 23
                                    

Jaehyun masuk ke dalam kafe. Hal pertama yang dilihatnya adalah Taeyong yang berada dibalik meja bar pemesanan, tepatnya menghadap pada tempat penyimpanan uang. Pemuda itu tengah menghitung uang dengan serius, sampai-sampai tak menyadari kedatangan Jaehyun.

"Ada masalah?"

Taeyong terperanjat kaget. Bergegas menoleh ke belakang dan melihat Jaehyun yang menatapnya dengan mimik heran. "Kapan kau datang?" tanyanya setengah memekik.

Jaehyun menaruh tas salempang hitamnya di atas meja bar, mendudukkan diri di stool bar dengan nyaman. "Baru saja," jawabnya singkat. Ia kembali memerhatikan kegiatan Taeyong yang tertunda akibat interupsinya. "Tidak biasanya kau datang lebih awal ke kafe, apakah ada masalah?" tanya Jaehyun menanyakan pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh Taeyong tadi.

"Bukan masalah serius sih—atau mungkin sedikit ... ah lupakan. Bisa dikatakan masalah ini beberapa kali terjadi oleh setiap pengusaha seperti kita. Aku menghitung jumlah pendapatan kita kemarin dengan kemarinnya lagi, benar-benar buruk. Pendapatan yang kita peroleh naik dan turun tidak menentu, bahkan jika dibandingkan dengan minggu lalu, minggu ini pendapatan kita tidak sebanyak minggu lalu. Jika tidak ada peningkatan, untuk membayar gaji karyawan dan membeli keperluan kafe, tidak akan cukup," keluh Taeyong terdengar putus asa.

Jaehyun ikut dibuat berpikir. "Aku melihat kafe baru tak jauh dari blok kafemu. Kafe itu cukup ramai untuk seukuran kafe yang baru buka," ucap Jaehyun memberitahu. Taeyong menghela napasnya berat mendengar itu. Tangannya kembali memasukkan uang-uang yang dikeluarkan dari dalam laci kasir.

"Kupikir kafe itu bisa ramai karena interior kafe bagian luar dan dalam hingga furniturnya terasa lebih hidup bagi target mereka. Sebagai perbandingan, lihat kafe ini, meskipun bersih dan terawat, tapi untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya, bukankah sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, bisa memancing pelanggan berdatangan, 'kan? Jika bisa, kita mengubah peletakan meja-meja, membarui dekorasi dan mengatur ulang tata letak keruangan agar terasa berbeda dari saat ini."

Taeyong tampak berpikir. Iya juga ya, mengapa sebelumnya Ia tak terpikirkan sama sekali? Menurut Taeyong, kafe yang dimilikinya saat ini tak perlu diubah, kecuali kalau ada kerusakan yang harus segera diperbaiki. Taeyong tak ada waktu untuk memikirkan itu, sebab mau diubah atau tidak pun tampaknya tetap sama saja tampilan dari sebelumnya—begitu kata mereka yang tidak mengetahui target pasar.

Taeyong tersenyum sumringah. Jaehyun sangat membantu. Dia mendekat pada Jaehyun lalu memeluknya dengan erat. Empunya sendiri terkesiap. Namun, Jaehyun hanya diam membiarkan alpha Lee itu berbuat sesukanya.

"Apa kau mau membantuku mempersiapkan semuanya?" tanya Taeyong setelah menjauhkan diri. Takut-takut semisal Jaehyun merasa tidak nyaman.

"Hm."

"Yosh!"

•••

Jeno membuka kelopak matanya. Langit-langit kamar menjadi objek pertama yang dilihatnya. Ia tampak tak berniat beranjak sedikitpun dari kasur selain menatap dengan pandangan kosong.

Kepalanya bergerak perlahan, menoleh ke samping. Ada Jaemin yang masih terlelap. Ia memandangi paras rupawan Jaemin yang kalau di lihat dari jarak sedekat ini, amat begitu mempesona. Jeno baru menyadari kalau Ia menjadikan lengan Jaemin sebagai bantalnya. Jeno pun hendak menyingkir, hanya saja tarikan lembut di pinggangnya membuat Jeno kembali ke dalam dekapan hangat Jaemin.

"Mau ke mana?" tanya Jaemin dibersamai dengan suara yang terdengar berat.

Jeno terdiam. Badannya sedikit meremang. Ada yang aneh, Ia seperti tidak biasanya. Jaemin adalah alpha, dirinya juga alpha. Kemampuan alpha yang selalunya mendominasi, seringkali menundukkan para omega. Itu sebabnya para alpha sangat disegani oleh kebanyakan omega. Namun, kini Jeno seperti merasa sehabis dirinya melakukan bonding dengan Jaemin semalam, tubuhnya tampak tidak merespons seperti biasanya oleh kehadiran Jaemin dalam memperlakukannya.

"Hei," panggil Jaemin. Jeno pun menatapnya. "Ada yang sakit? Sebelah mana? Mau kubantu mengobatinya?"

Jeno menggeleng pelan. Ia bangkit untuk duduk dengan gerakan lambat sembari meringis kecil begitu mulai merasakan nyeri di bagian pinggangnya menjalar ke bagian bawahnya.

Jaemin bergegas meletakkan bantal ke belakang tubuh Jeno. Jeno duduk bersandar dengan kepala menengadah ke atas. Hanya bergerak kecil, tetapi seolah-olah habis melakukan aktivitas berat yang melelahkan.

Jujur, leher, pundak, pinggang, dan bagian bawahnya terasa linu. Bak kaca retak yang bisa kapan saja pecah berhamburan, Jeno tak bisa bergerak banyak saat ini. Nafsu membuatnya hilang kontrol. Meskipun dengan penuh kesadaran Jeno menyerahkan diri sepenuhnya untuk dijamah Jaemin dan membiarkan alpha Na itu menggigit tengkuknya, tak dapat dimungkiri bahwasanya kini Jeno merasakan penyesalan lantaran bisa bertindak implusif sebegitunya.

Jeno tidak mengerti ada apa dengan dirinya. Alpha dalam dirinya sama sekali tidak menolak Jaemin yang notabenenya adalah alpha juga.

"Anghh!" Jeno kelepasan mendesah. Tunggu-tunggu, ini bukan desahan nikmat, melainkan desahan kesakitan saat Jaemin tiba-tiba mengurut pinggangnya.

"Sakit," tuturnya lirih.

"Maaf, aku hanya ingin bantu kamu sedikit dengan rasa sakitnya."

Jeno tidak memprotes—tidak seperti biasa—Ia membiarkan telapak tangan itu menyentuh pinggangnya. Menekan sedikit sampai membuatnya meringis kesakitan. Jaemin tidak melanjutkan, dia beranjak dari kasur lalu berjalan keluar dari kamar.

Sekembalinya Jaemin, pemuda itu ternyata membawakannya sebaskom es. Dengan telaten, beberapa es dimasukkan ke dalam saputangan berwarna biru, lalu ditempelkan di pinggang Jeno. Menempelkannya pun tidak hanya di satu tempat, tapi berpindah-pindah untuk mengurangi nyeri.

"Sudah mendingan?" tanyanya. Jeno pun mengangguk. "Mau aku bantu juga untuk yang di bawah?"

Sontak Jeno memelototkan matanya. "A-Aku bisa sendiri. Kalau ingin mandi, mandi saja duluan, aku akan mengobatinya sendiri." Jeno memalingkan wajah. Memalukan, sungguh.

Jaemin sendiri terkekeh. Dia mendekatkan diri, menaruh kedua telapak tangannya di pipi Jeno. Jaemin mencium kening yang tertutup oleh poni, tampak sangat menggemaskan.

"Maaf sudah membuatmu sakit."

Alpha's Sworn EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang