Chapter 22

5.9K 501 26
                                    

Ujian kelulusan telah tiba. Benar, Jeno dan Jaemin saat ini sedang mempersiapkan ujian kelulusan besok pagi. Banyak waktu yang berlalu tanpa disadari, dan tak disangka-sangkakan sebentar lagi keduanya akan melepas masa SMA yang hanya tinggal hitungan jari saja.

Jeno sangat serius berkutat pada bukunya. Berbanding terbalik dengan Jeno, justru Jaemin rebahan di kasur sembari bermain ponsel. Posisi ponselnya horizontal, terdengar suara tembakan dibersamai suara Jaemin yang terkadang tengah berbicara dengan rekan tim mainnya. Pemuda itu terlihat sangat santai, padahal waktunya tinggal besok.

"Kamu mau belajar kapan, Na?" tanya Jeno mulai jengah.

"Iya, nanti, Sayang."

Jeno langsung memutar kursi belajarnya. Netra sipitnya menilik sinis pada sang kekasih. Jika ingin tahu, jawaban Jaemin tadi merupakan jawaban yang ke sepuluh kalinya. Teritung sudah dan dua jam lebih Jaemin masih berada di posisi itu.

"Na Jaemin!"

Biasanya ketika Jeno memanggil, Jaemin akan memusatkan atensinya pada Jeno. Seolah tak ingin melewatkan atau mengalihkan pandangan dari Jeno dan menunggu apa yang ingin dikatakannya. Namun, Jaemin sama sekali tidak menoleh atau bagaimana, hanya menjawab sekenannya saja.

"Sebentar, Sayang."

"Oke." Jeno menutup bukunya dengan kasar. Ia beranjak, memakai jaket kulitnya lalu meraih kunci motor yang tergantung di dinding di atas meja belajarnya.

Pintu ditutup kencang membuat Jaemin menengok kaget.

"Oh, astaga." Jaemin mematikan ponselnya. Tanpa menunggu banyak waktu lagi, Ia berlari menyusul Jeno ke depan.

Terlambat, saat pintu utama rumah Jaemin dibuka, Jeno telah terlebih dahulu berlalu dengan motornya meninggalkan pekarangan rumah sang kekasih. Jaemin mengusap kasar wajahnya. Sekesal-kesalnya Jeno, dia tidak pernah sampai sebegininya, sungguh.

"Hyuck, kalau Jeno bersamamu, tolong bilang padaku. Aku titip Jeno sebentar. Terima kasih."

Setelah kalimat itu diketik dan dikirim ke ruang obrolannya dengan Donghyuck, Jaemin menutup kembali pintu rumahnya. Jaemin sengaja tidak mengejar, Ia ingin agar emosi Jeno mereda terlebih dahulu sebelum nanti Ia menyusul. Kemungkinan besar Jeno pasti bersama Donghyuck, atau paling ke kafenya Taeyong.

....

"Jeno!" panggil Jaemin menyela masuk ke dalam rumah Donghyuck setelah si pemilik membukakan pintu. Ia melihat Jeno yang sedang makan ramyeon.

Jeno tak menggubris kehadiran Jaemin. Ia sibuk menikmati ramyeonnya sembari menonton tayangan televisi.

Donghyuck datang seraya menyenggol pundak Jaemin. Ia tak nerasa takut ketika Jaemin menatapnya tajam. Dengan santai mendudukkan dirinya di samping Jeno dengan kaki kiri diangkat sebelah. Dia melirik Jaemin sinis. Gestur Donghyuck persis sekali bak seorang preman yang suka memalak uang di gang-gang perumahan.

"Kamu harus mengganti stok ramyeonku yang dimakan Jeno. Dia sudah habis tiga wadah, bahkan tidak membiarkanku mencicipinya."

"Bukankah tadinya kamu tidak masalah, mengapa sekarang jadi perhitungan?" sahut Jeno tidak terima.

"Mungkin satu ramyeon masih bisa ditolerir, tapi kamu makan tiga sekaligus. Kalau kamu ingin tahu, itu untuk stok bertahan hidup selama seminggu! Karena sekarang ada Jaemin, minta uang padanya untuk mengganti ramyeonku!"

Jeno mengkode Donghyuck lewat matanya bahwa Ia tidak bisa melakukannya sekarang. Namun, Donghyuck seakan tutup mata, dia tidak peduli dengan alasan apapun.

"Ini." Jaemin menyodorkan tiga lembar uang kepada Donghyuck.

Donghyuck menerimanya dengan sukarela. "Ini kebanyakan, tapi terima kasih. Aku juga tidak berniat ingin mengembalikannya, hehe."

"Ayo pulang," seru Jaemin sudah menggenggam pergelangan Jeno. Namun, Jeno langsung menepisnya.

"Pulang sendiri sana."

"Jeno."

"Aku tidak mau!"

"Lee Jeno, ayo pulang, sekarang!"

Bruk

Donghyuck ambruk ke lantai. Tubuhnya seakan dipaksa untuk tunduk. Sialan, harga dirinya jatuh pada posisi ini.

Jaemin memandang datar ke arah Jeno yang menundukkan wajahnya takut. Ia berusaha menurunkan amarahnya agar tidak menyakiti Jeno. Jaemin kemudian meraih telapak tangan Jeno untuk digenggam. Ia merasakan otot-otot tangan Jeno masih menegang.

Ia merasa bersalah telah membuat Jeno takut padanya.

"Kita pulang, oke?" seru Jaemin lembut. Memberi usapan halus di punggung tangan Jeno guna menenangkannya.

Jeno hanya mengangguk pelan. Saat Jaemin mulai berjalan, Jeno mengikutinya dari belakang tanpa berniat mensejajarkan langkahnya dengan Jaemin. Tapi Jaemin malah menariknya supaya Jeno berada di sampingnya.

....

"Aku minta maaf, aku menyesal."

Keduanya telah sampai di rumah. Mereka duduk di ruang tamu, masih dalam keadaan Jeno yang terdiam. Jaemin sudah minta maaf, tapi Jeno meresponsnya dengan anggukan, itupun langsung diam tak seperti biasanya ketika Jaemin melakukan kesalahan dan setelah minta maaf, Jeno tidak akan sediam ini.

Memang baru pertama kali ini sejak mereka berhubungan, Jaemin marah hingga mengeluarkan nada perintah mutlak yang bisa dikatakan mampu membuat lawannya tunduk dalam sekejap. Jaemin lepas kendali, Ia tak dapat mengontrol dirinya.

"Sayang~ tolong katakan sesuatu. Aku sungguh minta maaf, jangan hanya diam seperti ini. Kamu membuatku sedih."

"Iya, Jaemin."

Jaemin semakin merengek mendapatkan respons seperti itu. Ia hendak memeluk Jeno, tapi terhenti manakala merasakan gejolak tak mengenakkan yang membuatnya ingin—

"H-Huwek!"

—muntah.

Jaemin berlari ke dapur, lebih tepatnya berada di depan wastafel.

"Huwek ... h-huwek!"

"Astaga, kamu kenapa, Jaemin?"

"Aku juga tidak—huwek ... anghh ... huwek!"

Sialan, tubuh Jaemin terasa mati rasa. Ia sangat lemas sekaligus mual, padahal yang Ia muntahkan hanya cairan bening saja.

....

👀

Alpha's Sworn EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang