26.

41 6 0
                                    

NamJoon tak pulang ke Kondo seminggu terakhir. Selama itu pula aku harus memberi alasan pada Ha Joon. Setelah aku yang tak pulang beberapa hari yang lalu sekarang ayahnya melakukan hal yang sama.

Rengekan Ha Joon makin menjadi-jadi tiga hari terakhir karena ponsel NamJoon tak aktif. Sekolah dan kedai mengalihkan kesedihan Ha Joon sejenak, setiap harinya. Begitu sampai di Kondo dan mendapati rumah kosong maka wajah putraku akan masam dan kecewa.

Benarkah ini kehidupan pernikahan yang sesungguhnya? Berselisih paham, bertengkar, lalu salah satunya lari dari rumah? Bukankah seharusnya wanita yang punya emosi meledak-ledak dan minggat? Kok malah jadi bapak leader? Pria yang dipuja cerdas, leader handal, public speaking bagus nyatanya malah menghindar begini.

Aku lelah dan jengah menghadapi siatuasi ini. Ha Joon juga makin tak bisa ku kendalikan. Mau tak mau ku turunkan egoku untuk menelponnya. Lima tahun lalu keadaannya berbeda, aku tak pernah menelponnya sekalipun ingin dan butuh dia.

Dering pertama terlewat. Ku coba untuk kedua kalinya. Ketika tak juga dijawab, aku mulai gusar. Nyatanya, ponsel NamJoon tergeletak diatas meja ruang santai Bangtan. Benda pipih itu sengaja menjadi tontonan member Bangtan ketika berdering dan menunjukkan foto ku dan Ha Joon dilayarnya.

"Orang-orang jahat." Komentar Suga pada semua orang.

"Apakah aku harus menjawabnya?" NamJoon masih bertanya.

"Jika kau jawab sekarang maka semua rencana akan gagal Joon." SeokJin menjawab.

"Aku tak sanggup membayangkan wajah Eden yang kebingungan." Taehyung menyandarkan punggungnya dikursi.

"Jawab saja Joon, bilang kau sedang sibuk. Setidaknya beri kabar kasihan Eden." Jhope memberi saran.

Tangan NamJoon terulur hendak meraih ponselnya yang masih berdering.

"Jangan Joon, aku sendiri yang akan menemui Eden." Manager mereka tiba-tiba muncul.

NamJoon menarik kembali tangannya dengan wajah kecewa. Hati kecilnya tentu memberontak tapi rencana sudah disusun. Sekalipun menyakitkan dia harus patuh.

"Setidaknya biarkan Ha Joon mendengar suara ayahnya, hyung." Pinta SeokJin berubah pikiran.

"Bagaimana jika mereka malah muncul di sini?" Manager mengingatkan.

"Tak mungkin, aku yakin Eden tak akan melakukan hal sebodoh itu." JiMin membela.

"Kita tetap harus pada rencana, apapun yang terjadi. Apa lagi Boram makin gencar bicara melalui pengacaranya."

Semua orang diam. Mereka memilih untuk tidak mendebat siapapun. Memang harus ada yang dikorbankan dalam hal ini. NamJoon memilih mengorbankan perasaan anak dan istrinya.

Ha Joon makin sering merengek. Malam ini dia mogok makan dan tak mau bicara sepatah kata pun. Ku tutup pintu kamarnya dengan kehabisan akal membujuk. Melihat putraku sedih, aku juga ikut sedih.

Teknologi tak ada harganya dalam masalah kami. Ponsel sepintar apapun, mobil listrik hybrid milik NamJoon juga tak ada harga dirinya. Tak berguna! Aku lelah secara pikiran juga fisik.

Ha Joon duduk di kursi belajarnya. Dia juga sedang menatap ponsel yang dia miliki. Layarnya menyala, menampakkan foto kami bertiga ketika aku dan ayahnya menikah lagi. Pria kecil itu sedang gundah.

"Daddy, tak membalas pesan ku, bahkan membacanya juga tidak. Apakah daddy benar-benar sibuk? Daddy juga tak pulang." Ha Joon mengeser kasar ponsel didepannya hingga berbenturan dengan dinding.

"Molla!" Kekesalannya muncul.

Seminggu lagi berlalu, kegiatan kami masih seperti biasa. Aku mulai terbiasa lagi dengan kedai bibi Shin. Ha Joon juga sama, tapi nampak murung dan menjadi pendiam.

Mr Idol, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang