Sebuah Kisah di Bawah Derasnya Hujan - Jihan Alfaris

5 0 0
                                    

Hujan turun dengan derasnya. Membasahi seluruh Kota Berjan. Tanah yang semula kering menjadi basah hingga menimbulkan genangan air. Segerombolan burung terbang menjauh untuk mencari tempat berteduh. Meninggalkan daun-daun yang berjatuhan akibat terpaan angin hujan yang semakin kencang.

Halte. Di sinilah aku berada. Berteduh untuk menghindar hujan yang semakin lama semakin deras. Duduk sendiri, sembari menggosokkan kedua tangan untuk menghilangkan rasa dingin yang menerpa permukaan kulitku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ada kendaraan yang bisa kunaiki untuk kembali ke rumah. Lengang. Tak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti biasa. Jalanan kali ini sepi karena derasnya hujan yang turun. Aku menghela napas berkali-kali. Hampir satu jam aku menunggu sendirian di halte. Dingin? tentu saja. Rasanya aku ingin duduk di perapian agar merasa hangat. Sembari minum kopi panas ditemani semburat senja jingga yang selalu menghiasi langit kala waktu sore tiba.

Ah, rasanya aku ingin cepat-cepat pulang. Menggendong kucing anggora kesayangan yang kunamai; Oir. Kucing yang selalu menjadi teman dikala sepi karena orang tuaku yang sudah kembali ke pangkuan-Nya. Ya, setahun lalu orang tuaku mengalami kecelakaan saat hendak menghadiri rapat di perusahaan kerabat ayahku. Mereka tertabrak truk bermuatan kayu. Mobil mereka remuk akibat kayu-kayu yang berjatuhan dari truk. Begitu juga dengan orang tuaku. Sudahlah, mengingat kejadian itu hanya akan membuka luka lama lagi. Sekarang aku sangat bersyukur. Masih memiliki Fatih –kakak laki-lakiku- yang selalu menjagaku. Ia sering mengatakan,"Jangan sedih terus. Kamu itu anugerah yang Tuhan beri melalui ayah dan ibu lalu menjadi adik kesayanganku. Berdoa saja terus, biar mereka tenang di alam sana." Aku selalu tersenyum setiap mengingat perkataannya. Aku sungguh merindukannya. Tapi sekarang ia sedang KKN di Jogja. Dan akan kembali satu bulan lagi.

Kembali ke topik awal. Hujannya belum juga reda. Ku hembuskan napas. Lelah. Tanpa kusadari, seseorang berlari ke arah halte yang sama denganku. Ia berlari kencang melewati derasnya hujan. Mengabaikan seragamnya yang basah kuyup. Sekitar dua menit, ia akhirnya tiba di halte yang sama denganku. Ia terlihat ngos-ngosan akibat berlari. Merasa ada suara helaan napas, aku menoleh ke kanan. Ku dapati seorang cowok berseragam sedang berdiri sambil menunduk. Ku tatap lambang yang melekat pada seragamnya. Itu kan lambang sekolahku. SMA AIRLANGGA, batinku.

Aku berdeham, "Kalo mau duduk, duduk aja"

Ia mengangkat wajahnya. Lalu mengibaskan seragamnya yang basah kuyup. Setelah itu, ia melangkah ke bangku yang sama denganku.

Sembari bergeser, aku memperhatikannya terus. Pahatan wajah yang sempurna. Hidung mancung, mata hitam legam, rambut yang acak-acakan membuatnya terlihat semakin tampan, dan senyumnya yang manis ditambah lesung pada kedua pipinya. Eh, kenapa aku jadi merhatiin dia?

Aku kembali ke posisi awal. Menatap jalanan yang masih setia dilanda hujan. Ku pejamkan mata agar merasa tenang. Namun, pertanyaan dari seseorang menghentikan aktivitasku.

"Zaira?", tanya seorang cowok yang duduk di sebelahku.

Aku pun membuka mata lalu menatap ke arah cowok itu. "Kok tau?", balasku bingung.

Ia tersenyum tipis, "Satu organisasi saja masih belum kenal"

Aku tambah bingung, "Kamu OSIS?"

Ia hanya mengangguk.

Aku terhenyak, "Kok aku nggak kenal kamu ya? Jadi apa?"

"Sekretaris. Maaf belum pernah masuk. Ada halangan."

Mataku membulat mendengar jawabannya. Ia OSIS? Sekretaris? Partner ku dong? Kok aku nggak pernah lihat orang ini ya? Berbagai pertanyaan beterbangan di kepalaku.

"Belum pernah masuk? Kenapa?"

"Sakit."

Jawabannya membuatku terdiam sejenak. "Masih bisa jadi partner kan?", tanyanya lagi.

Padma Amerta: Antologi Cerpen MA An-Nawawi Berjan PurworejoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang