Bukan Sayap, Tapi Tangan - Lutfi Al Hafid

5 0 0
                                    

"Sudah paham kan, apa yang Ibu sampaikan pada pembahasan kali ini?" ujar Ibu Dina usai menjelaskan panjang lebar pelajaran agama Islam satu jam terakhir.

"Sudah, Bu," seru murid-murid serentak, tak terkecuali Clara yang berada di barisan paling depan, memperhatikan sambil mencatat semua penjelasan darinya.

"Kalau begitu, kita sudahi pertemuan kali ini dengan bacaan tahmid bersama"

"Alhamdulillahirabbil 'alamin." Seisi ruangan kelas mengucapkannya bersama.

"Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya anak-anak," lanjut Ibu Dina, yang kemudian disambut dengan jawaban serempak para murid.

Selang beberapa saat setelah Ibu Dina melangkah meninggalkan kelas, suara bel terdengar. Dari instrumen khasnya menandakan bahwa waktu istirahat telah tiba. Satu persatu para murid mulai mengisi waktu istirahat tersebut.

"Clara. Ke kantin, yuk."

Sementara Clara masih membereskan alat-alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas. Ia merespon ajakan Shofia, teman sebangkunya, dengan anggukan kecil.

"Oke, bentar dulu, ya." Tiba-tiba Clara teringat sesuatu. Refleks kepalanya menoleh, menatap Shofia. "Oh iya, Shof. Tugas dari Mr. Khusnul kemarin, sudah kamu selesaikan?"

"Ah," Shofia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku lupa soal itu. Tugas Bahasa Inggris, kan?"

Clara hanya tertawa kecil melihat tingkah temannya itu. Kemudian ia bangkit dari duduk, mulai melangkah menuju kantin, diikuti Shofia.

"Gimana kalau nanti kita kerjain bareng-bareng?" usul Clara ditengah mereka masih melangkah.

"Boleh juga. Biar nggak lupa-lupa terus." Shofia tertawa kecil. "Dirumahku, gimana?" lanjutnya.

Clara terlihat berpikir sejenak. "Kayaknya nanti agak telat. Seperti biasa, aku harus membantu ibuku dulu."

"Nggak masalah." Sebuah senyum tulus terukir di wajah Shofia.

"Jam dua siang. Deal?"

"Deal."

Mereka berdua tertawa bersama.

Sebagai sahabatnya, Shofia sudah paham betul maksud dari perkataan Clara tadi. Shofia sendiri sudah lama bersahabat dengan Clara bahkan semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Ia sangat mengetahui kepribadian Clara, yang terlahir dari keluarga sederhana, dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu yang sangat tulus kepadanya. Sedangkan ayahnya meninggal saat usia Clara baru menginjak tujuh tahun, karena mengalami sakit parah yang berkepanjangan.

Mungkin dengan cara inilah, Tuhan menjadikan Clara seorang pekerja keras, suka membantu ibunya dengan rajin, serta tidak banyak mengeluh atas apa yang terjadi dalam kehidupannya.

Berbeda dengan Shofia yang terlahir dengan hadirnya kedua orang tuanya sampai sekarang. Segala keinginannya selalu terwujud berkat bantuan orang tuanya. Perbandingannya sangatlah kontras.

Namun karena kekontrasan inilah yang menjadikan persahabatan mereka tetap utuh sampai sekarang, saling melengkapi satu sama lain.

"Shofia."

Untuk kesekian kalinya Clara memanggil, dan kali ini Shofia baru tersadar dari lamunannya.

"Eh, iya. Ada apa?"

"Jangan keseringan melamun. Kamu mau pesan apa?"

Shofia baru tersadar kalau mereka sudah berada di kantin. Sesaat ia melemparkan pandangan kesana kemari.

"Mmm..." Shofia mulai berpikir. "Mie ayam sama es teh."

Clara mengangguk paham. "Oke. Sekarang giliran aku yang pesan sama petugas kantin, kamu tunggu disini."

Padma Amerta: Antologi Cerpen MA An-Nawawi Berjan PurworejoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang