1000 Cinta Untuk Abah - Nilnama Anjani

7 0 0
                                    

Bocah itu terduduk lemas. Kesiur angin membuat baju dan rambutnya melambai-lambai. Ia sendirian. Petang-petang begini biasanya para orang tua menyuruh anak mereka untuk pulang ke rumah, lalu mandi. Setelah mandi terserahlah mereka mau berbuat apa. Para orang tua mulai berkeluaran menuju surau. Anak-anak juga. Suasana sore itu cukup ramai.

Tapi tidak untuk bocah satu ini. Ali namanya. Beberapa hari ini dia suka menyendiri dan melamun di tepi pantai. Menunggu ayah pulang, katanya.

"Hei, pulang Nak! Petang begini tak baik sendirian di sini!"

Itu Abah Tohar. Orang tua yang galak tapi baik hati. Dialah yang selama ini mau mengasuh Ali semenjak ditinggal ayah 1 bulan yang lalu.

Yah--Ayah Ali telah meninggal tertelan ombak, dan Ibu Ali telah meninggal 3 tahun silam, karena sakit. Kasihan sekali. Bocah sekecil itu kini hidup sebatang kara. Tak ada yang Ali punya selain Abah Tohar.

Mereka berdua sama, sebatang kara. Entah ke mana anak-anak Abah Tohar ini. Mereka bilang hanya mau merantau ke Jawa, mencari uang. Tapi sampai sekarang pun tak pernah Ia dengar kabar dari anak-anaknya.

"Ayah sedang ke sini Abah, sedang pulang"

Ucap Ali lemas. Pandangannya tak lepas dari matahari yang hampir tenggelam di sana. Mendengar itu Abah Tohar menghela nafas, lalu ikut duduk di samping Ali.

"Sudahlah, Bujang, Ikhlaskan. Ayah kau sudah tenang di sana"

Ali tersenyum sekilas mendengarnya, lalu menyeka air mata yang tadi sempat tumpah.

"Tiap-tiap hari kau ini murung saja, tak ada senyum. Ayolah, Bujang! Kau ini lelaki! Harus punya hati besi! Kuat! Macam aku. Kau pun Cuma diam saja seperti ini tak akan ada yang berubah, Bujang"

Ali hanya diam, merenungkan ucapan Abah Tohar sepertinya,.

"Heh Ali! Ku cari kau sampai China rupanya di sini kau berduaan dengan Abah Tohar. Tengoklah wajah kau, kusut macam baju Sobri"

Itu pastilah Ilmi. Bocah tinggi kurus dan cerewet itu memang suka muncul tiba-tiba dan membuat kaget orang. Bajunya tak pernah keluar dari celana, selalu dimasukkan. Rambutnya selalu tersisir rapi dan tampak basah. Kata Ilmi, biar terlihat habis mandi. Padahal kenyataannya Ilmi tak pernah mandi. Kalau kata anak-anak perempuan, Ilmi itu tampan. Banyak yang suka pada Ilmi, entah dari segi mananya. Padahal menurut Ali, Ilmi adalah bocah cengeng yang kalau kena tendangan bola langsung menangis dan mengadu pada mamaknya. Kesukaannya hanyalah ikan. Banyak sekali ikan ia punya, warna-warni. Aneh memang. Mungkin hanya Ilmi satu-satunya bocah laki-laki di dunia ini yang tak suka bola.

Sudah lama Ali dan Ilmi berteman. Apa pun keadaannya, mereka selalu bersama. Ali tak bisa beli permen, Ilmi belikan. Ali tak bisa buat layang-layang, Ilmi buatkan. Selalu seperti itu. Kadang Ali bingung sendiri bagaimana cara membalas kebaikan bocah cerewet itu.

"China-China!! mana ada lah kau sampai China! yang benar saja kau!"

Sewot Abah Tohar.

"Abah ini, sukanya marah-marah. Sakit telingaku Bah, dengar celotehanmu itu! nikah saja sana, dengan Cik Siti janda kampung sebelah. Wuish! mantap itu, Bah!"

"Heh mulutmu itu, SINI!!"

Abah Tohar marah-marah mengejar Ilmi yang berlari menghindar sambil tertawa terbahak-bahak. Melihat itu membuat Ali menarik senyum, lalu ia berdiri. Menepuk-nepuk bokongnya yang kotor karena pasir, dan berjalan pergi meninggalkan pantai guna pergi ke surau.

* * *

"Kenapa pula kau taruh di situ, Sobri! ku bilang taruh sini! di samping meja ini! bodoh kali kau!"

Padma Amerta: Antologi Cerpen MA An-Nawawi Berjan PurworejoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang