Meniti Asa - Muhammad Nur Aminuddin

5 0 0
                                    

Ada saatnya senja yang tenteram digantikan malam yang kelam. Ada saatnya laut yang tenang berubah menjadi menantang. Ada saatnya hidup yang nyaman jatuh pada keterpurukan.

Begitulah kehidupan. Kehidupan akan terus berjalan. Mau, tidak mau. Suka, tidak suka. Siap, tidak siap. Karena semuanya telah dibuatkan scenario oleh sang maestro kehidupan.

Ahmad Nurudin, atau lebih kerap disapa Udin. Begitulah sebuah nama yang telah tertulis rapi di akta kelahiranku. Nama yang telah diberikan oleh kedua orang tuaku, yang mempunyai arti "cahaya bagi agama". Walaupun saat ini keterpurukan masih terus datang silih berganti, melanda perjalananku dalam meniti tujuan di kehidupan yang fana ini.

Bagaimana tidak? Semuanya seperti senada dengan yang telah dikata oleh para orang bijak. Dimana saat hidupku tenteram damai, berbagai halang rintang datang menerjang memperkeruh keadaan. Dimana saat aku nyaman berjalan dalam menentukan kehidupan, jurang material semakin jelas terlihat memperburuk keadaan.

"Din!, tak usahlah kau belajar siang malam. Apalah artinya semua itu, heh? Ingat Din, buah tak akan jatuh jauh dari pokoknya. Tak usahlah kau bermuluk-muluk mengejar mimpi. Toh akhirnya kau juga akan jadi petani!"

Begitulah salah satu hujatan yang aku terima. Mungkin tak akan berpengaruh padaku. Jika saja yang mengatakannya bukan Abangku. Perkataannya tak sepenuhnya salah, pun tak sepenuhnya benar. Salah, karena dalam segala kaidah, pasti ada pengecualian. Dan aku berpikir mungkin aku bisa menjadi salah satunya. Benar, karena kami berasal dari orang yang minim materi. Aku dapat lulus SMA saja sudah Alhamdulillah, itu pun Mamak rela mengorbankan sapi satu-satunya punya kami. Bagaimana jadinya bila mimpiku terus kukejar? Mampukah aku menempuh jenjang selanjutnya?

Dalam remangnya cahaya lilin, diriku terbuai dalam syahdunya belajar buku dan kitab kuning. Bersiap menempuh peraduan nasib, untuk mengikuti seleksi beasiswa yang diselenggarakan oleh Kemendikbud daerah Sumatera Selatan.

_____ " Udin, kau adalah anak yang berbakat, genius, juga cerdas. Apakah kau tak ingin melanjutkan kuliah? Janganlah kau terlantarkan kecerdasanmu Din." Ucap Wak Rani sore tadi. "Mau bagaimana lagi Wak? Bapak sudah tua. Jadi, tak mudah bagiku untuk melanjutkan kuliah. Kalau masalah kecerdasan, selalu Udin asah Wak, dengan membaca berbagai buku dan kitab yang Udin punya." Balasku jujur. Mau bagaimana lagi? Mungkinkah aku memaksa bapak untuk membiayaiku? Apalagi dengan bang Rohman yang terus menekan diriku, hati dan mulutku pun terasa kelu.

"Bagus!" Sahut Wak Rani. "Apanya yang bagus Wak?," ucapku dengan nada sedikit
meninggi, merasa kedatangannya hanya ingin menertawakan nasibku. "Bagus, karena kedatangan Wawak kesini untuk memberikan sedikit bantuan kepadamu. Wawak punya teman di Kemendikbud. Wawak ingin mengajukan dirimu untuk ikut seleksi beasiswa kuliah. Wawak harap kemampuanmu terus berkembang, bukan malah jalan di tempat. Karena kau terus mengasah kemampuanmu, wawak yakin kau bisa lulus dalam seleksi ini." Mataku mengerjap lebih cepat. Hatiku berdebar lebih kencang sampai aku takut Wak Rani mendengarnya. Ungkapan rasa terima kasih pun terbata-bata ku ucapkan. Berharap dengan hal ini, jadi perantara bagiku untuk tetap mengejar mimpi._____

Braaak!!, meja bergetar hebat. Lilin pun seketika padam. rasa kejut yang luar biasa seketika kurasakan. Melihat tiba-tiba meja digebrak oleh abangku.

"Perlu berapa kali kubilang, heh!? Sudahlah Din!, tak perlu kau hiraukan tawaran Wak Rani sore tadi. Itu hanya akan membuat waktu istirahat kau habis sia-sia. Besok pun kau harus ke lading. Tak puaskah kau sampai larut-larut pun masih belajar!?"

"Rohman!" Mamak yang sedari tadi sibuk menganyam tikar ikut terganggu. "Tak usahlah kau ganggu adikmu. Kalau kau tak senang ataupun iri, buktikan sajalah apa yang kau bisa. Bukan malah mengganggu perjuangan adikmu. Toh kalau besok dia berhasil, ekonomi kita tak lagi sulit. Tak perlu lagilah kau pergi ke lading pagi-pagi." Ucap Mamak dengan nada sedikit meninggi. "Cih, berhasil apa mak? Berhasil habiskan duit dengan ganti gelar? Cukupkah sebuah gelar untuk hidup mapan?" Selesai kata itu terucap, emosiku sedikit tersulut. "Yang saya cari bukan gelar, Rohman! Tapi ilmu. Dengan ilmu, hidup akan bermakna. Dengan ilmu pula kita dapat menggapai apa yang kita mau!." "Kau nak jadi apa, heh!? Nak jadi peta—"

" Duta besar Mesir!." Potongku pada akhirnya. Dan ketika suasana sedikit memanas, Mamak berdiri dan mengusir kami dari ruang depan. Beruntung kamar kami terpisah, sehingga meniadakan kelanjutan debat di waktu yang salah.

Gerimis melanda pagi, menghadirkan keadaan jalan yang sunyi. Menyisakan sedikit suara katak selepas berorkestra di malam tadi. Membuat banyak manusia nyaman terbuai mimpi. Entah mimpi dalam tidur, ataupun dalam halusinasi.

Aku dan Mamak tengah duduk di teras depan rumah, ketika tukang pos datang dengan sepeda onthel seperti biasa.

3 minggu yang lalu, Aku ditemani Mamak dan Wak Rani pergi ke rumah temannya Wawak. Dikarenakan tes beasiswa yang bersifat online, sehingga mau tidak mau kami harus merepotkannya, lagi. Karena, temanya Wak Rani lah satu-satunya orang yang memiliki fasilitas yang mumpuni dalam hal tersebut di desa seberang. Sedangkan di desaku?, televisi hitam putih pun hanya satu-dua yang memiliki.

"Permisi Mas, ada surat dari Kemendikbud provinsi." Ucap tukang pos tersebut dengan logat Jawa yang khas, membuyarkan diriku dari lamunan tadi. " Terima kasih ya pak!." Sahutku sembari menerima surat tersebut.

Tergesa-gesa aku menerimanya, tergesa-gesa pula aku membukanya. Namun, musibah tak dapat dinyana, malang tak dapat ditolak. Pecah tangisku seketika, mengetahui bahwa aku tak diterima dalam program beasiswa tersebut.

"Apa kataku?, inikah hasil yang kau inginkan, setelah sekian banyak waktu yang terbuang? Sudahlah Din, fokuslah mengurus lading. Buang jauh-jauh hal yang tak penting!." Hardik Abangku tiba-tiba. Ternyata dirinya ikut mengintip hasil tes ku dari balik pintu. "Sudahlah Rohman, tak bisakah kau pikirkan sedikit suasana hati adikmu?, dia juga sudah berusaha, hanya saja takdir Tuhan tak selalu sama dengan rencana kita."

Beruntung ada Mamak. Setidaknya mulut Abangku langsung bungkam. Jadi aku bias langsung pergi ke bilik kamar. Berusaha menghalau keperihan dalam dada. Mungkin benar kata Abangku. Bahwa buah jatuh tak akan jauh dari pokoknya. Bahwa semua hal terus berjalan. Tidak pernah ada yang namanya "kebetulan", pun tidak pula selalu sesuai dengan yang kita "rencanakan". Karena semua hal berjalan dengan kehendak Tuhan.

Jadi, akankah di balik gelapnya malam, akan dating fajar yang membawa cahaya?. Akankah badai di lautan nantinya akan menghadirkan pemandangan yang menawan?. Benarkah di balik sebuah keterpurukan akan dating sebuah kebaikan bila kita terus berjuang?.

Cuaca menunjukkan cerah berawan, yang mungkin saja berimbas pada hujan yang akan dating. Ya, musim hujan telah bermulai, membantu berbagai tanaman bersemai. Mempertunjukkan rintik-rintik hujan yang membuai. Membuai tunas-tunas pohon yang lemah gemulai. Di kota maupun di desa yang permai.

"Setdaah Din, malah ngelamun. Ayo, udah di tungguin sama yang lain. Udah mau take off." Suara Fahmi membuyarkan lamunanku. Lamunan yang terjatuh pada 3 bulan yang lalu.

3 bulan yang lalu, selepas bercekcok dengan Abangku perihal tidak diterimanya aku dalam beasiswa, sepekan kemudian tukang pos dating kembali memberikan beberapa surat dari kemenag, yang ternyata berisi peralihan beasiswa. Tercatat di sana bahwa kemampuanku sangat di sayangkan bila tidak di kembangkan. Maka kemenag mengambil namaku sebagai salah satu dari 30 orang yang menerima beasiswa di Al-Azhar, Mesir. Bukan main kegembiraan yang dirasakan oleh keluargaku. Abangku pun menyesali prasangka buruknya kepadaku. Bagaimana tidak, beasiswa tersebut full dari berangkat, sampai pulang ke tanah air, serta tunjangan biaya saat aku dan rekan-rekanku ada disana.

"Astaghfirullah, Udin!. Cepetan, udah mau ketinggalan nih!." "Iya, bentar!."

Kupandang Negeriku dari atas kumpulan awan tipis. Negeri yang amat aku banggakan. Negeri yang memberiku banyak pengalaman. Negeri yang juga memberiku berbagai kenangan yang tak mungkin kulupakan.

Ku lirik android Pocco M3 Pro pemberian teman Wak Rani, sebagai ungkapan rasa kagumnya dan apresiasi atas keberhasilanku. Terlihat banyak notifikasi berungkapkan selamat di layarnya, yang masuk pada akun instagram bernamakan "anudin_lastjahn", yang di buatkan oleh Ahmad beberapa hari yang lalu.

Pandanganku beralih pada diary-ku. Kubaca beberapa renunganku dulu untuk memupuk semangatku, juga sebagai motivasi bagiku. Tertuang tinta di atas kertasnya, bertuliskan beberapa kata mutiara.

"Teruslah berjalan tanpa memperdulikan lika-liku kehidupan. Tetaplah berjuang demi sebuah keberhasilan. Jaga ibadah serta teruslah berdoa supaya tetap diberi jalan. Percayalah bahwa Tuhan tak pernah ingin kemenangan jatuh bagi setan. Percayalah bahwa anda mampu menggapai cita. Dan berpikirlah optimis karena perjalanan hidup tak selamanya manis!"

Writer: Muhammad Nur Aminuddin

Padma Amerta: Antologi Cerpen MA An-Nawawi Berjan PurworejoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang