Cinta yang Terpendam - Widi Purnomo

9 0 0
                                    

"Kevin, bangun! Udah siang loh nanti kamu telat sekolahnya", panggil ibunda Kevin saat membangunkan putra bungsunya.

"Iya ma, ini udah bangun kok", sahut kevin pada mamanya walau baru setengah sadar.

"Ya udah buruan, udah jam berapa tuh liat sarapannya juga udah mama siapin di bawah"

Spontan aku pun langsung bangun ketika melirik jam yang menempel pada dinding kamarku menunjukkan pukul 07:15. Aku bergegas mencuci muka dan langsung memakai seragam sekolah tanpa menghiraukan mandi

Selesai memakai seragam sekolah langsung kusambar tas dan kunci motor yang biasa tergeletak di atas meja belajar aku pun bergegas menuruni anak tangga dan kusampaikan pada pak Yono bahwa aku tak sempat untuk sarapan dan langsung berangkat menuju sekolah dan untungnya antara rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh hanya kisaran 10 menit lamanya jadi tidak terlalu lama untukku mengejar waktu.

***

Setibanya aku di sekolah kuparkirkan motor yang kubawa dan berlari menuju kelas tempat ku belajar namun tanpa sengaja aku menabrak Diana yang tengah membawa buku menuju perpustakaan sekolah.

BRAAKK!!

"Aduh maaf, Na, aku nggak sengaja", pungkasku pada Diana saat aku tak sengaja menabraknya.

"Kevin, liat-liat dong kalau jalan!", balas Diana.

"Iya, maaf, Na, yaudah sini biar aku bantu", kubantu Diana untuk bangun, dan kurapikan buku-buku miliknya yang terjatuh berserakan.

"Lagian ngapain sih kamu buru-buru kaya di kejar setan aja?", tanya Diana penasaran.

"Habisnya sekarang aku pelajarannya pak Haris takut telat!", jawabku pada Diana.

"Ya ampun Kevin, pak Harris nggak berangkat, katanya sih istri beliau lahiran"

"Oh gitu, ya udah sini aku bantu bawain bukunya", jawabku pada Diana sembari memindahkan buku dari tangannya.

"Yakin mau bantuin? Ini berat lho", tanya Diana.

"Jangankan cuma ngangkat ginian, ngangkat kamu aja aku kuat kok", pungkasku pada Diana yang berhasil membuat ia tersipu.

"Huu gombal, udah ah yuk langsung ke Perpustakaan!", ajak Diana.

"Siap, tuan putri!"

Aku dan Diana pun melepaskan canda dan tawa bersama dengan terus melangkahkan kaki menuju Perpustakaan Sekolah. Setibanya disana, Diana memintaku untuk meletakkan buku yang aku bawa untuk diletakkan saja di sudut ruangan. Terlihat Diana tengah menyusun buku-buku yang kami bawa tadi dengan penuh semangat. Sesekali ia mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat. Walau begitu, ia tetap terlihat cantik. Kuberanikan diri mengusap keringat pada pelipisnya.

"Kevin! Bikin kaget aja deh",  tepis Diana pada Kevin, namun Kevin bisa membaca pikiran Diana. Rona pipi Diana menunjukan ia malu namun bahagia.

"Istirahat dulu lah, nanti kamu kecapean", ucap kevin pada Diana.

"Iya, bentar lagi", balas Diana pada Kevin yang masih mengusap keringat di pelipisnya.

"Emangnya kamu nggak masuk ke kelas, Na?", tanya Kevin penasaran.

"Enggak, habis ini mau langsung buat lampion, kebetulan bentar lagi jadwal pelajaran Prakarya", ujar Diana pada Kevin.

"Oh, yaudah. Aku masuk ke kelas dulu ya, ntar kalau ada apa-apa tinggal kabarin aku aja", ucapku pada Diana sembari melangkah keluar Perpustakaan.

Aku pun langsung berjalan menuju ruangan kelas dengan dipenuhi rasa bahagia. Dalam hati masih dapat kutangkap bayangan dimana wajah Diana merah padam karna kuusapkan keringat yang ada pada pelipisnya.

***

Setibanya di dalam kelas, aku menemukan Yanto tengah fokus mengerjakan tugas bahasa Indonesia yang minggu lalu bu Haryati berikan pada kami.

"Ngapain lu, Yan?", tanyaku pada Yanto; seorang anak sederhana yang ingin menjadi pakar ahli Kedokteran. Keinginannya menjadi dokter telah tertanam kuat dalam hatinya.

"Ngerjain tugas dari bu Hariati yang tempo hari aku izin masuk itu", jawab Yanto.

Ku anggukan kepala tanda menggubris ucapannya, namun tak berselang lama, aku mendengar keributan di luar. Setelah kuamati, ternyata Diana sedang terkapar di atas sebuah tandu yang di bawa oleh dua orang petugas PMR dan dibawa ke dalam mobil ambulan untuk menuju Rumah Sakit.

Aku bergegas menuju parkiran untuk mengejar mobil ambulan itu dengan mengendarai motorku walaupun ada beberapa guru dan satpam yang hendak mengejarku.

Di balik ramainya jalanan, aku masih bisa melihat mobil yang membawa Diana.

Kukebut motor RX KING tahun 2001 yang kini menjadi tungganganku, namun sial! Lampu merah yang memisahkan jarak antara aku dan mobil Diana terpaksa harus menerima kenyataan pahit.

Kuparkirkan motorku di pinggiran trotoar, kupandangi indahnya awan yang seakan menemaniku yang lemah ini. Namun tiba-tiba, ada pesan WhatsApp dari Alya—sahabat Diana;

Vin, Diana di rawat di RS. Budi Utomo, buruan kalo mau kesini, dia udah siuman tapi belum mau makan, aku ada di dalem ruangan sama Diana di kamar no. 19

Tak berpikir lama aku langsung menuju RS. Budi Utomo tempat Diana di rawat. Setibanya disana, aku langsung menuju kamar nomor 19 ditemani seorang satpam.

Kulihat Diana hanya termenung menghadap dinding kamar Rumah Sakit. Wajahnya yang masih pucat bisa menggambarkan raut kelelahan yang berat. Anehnya, ia tetap terlihat cantik dan spesial di hatiku.

"Diana udah makan belum, Al?", tanyaku pada Alya.

"Ya belum lah, orang dia kusuruh makan susah banget kok, coba kamu bujuk dia siapa tau mau makan", jawab Alya.

Perlahan namun pasti, kudekati Diana yang masih dengan asiknya memandangi dinding kamar. Kulihat pula masih terlihat utuh bubur yang seharusnya jadi sarapan Diana.

Ku ambil bubur itu, lalu kutarik perlahan kursi yang tersedia di pinggir kasur tempat Diana berbaring.

"Cantiknya aku kalo nggak mau makan gimana mau sembuh"

"Kevin! Ngagetin aja, kamu kok bisa ada disini, kamu bolos ya?"

"Nggak kok, aku izin buat jenguk kamu"

"Emangnya boleh?"

"Boleh dong, buktinnya aku bisa sampai sini. Udah makan buburnya dulu ya, Din, biar cepet sembuh, aku kesepian tau tanpa kamu di sekolah", rayuku pada Diana.

"Dasar gombal!", jawab Diana.

"Aku beneran tau!"

"Iya-iya, tapi aku masih kenyang"

"Dikit aja kok"

Ku masukkan perlahan bubur ke dalam mulut Diana, bisa kutangkap dari rona wajahnya yang bahagia. Namun di balik ini semua, jantungku seakan ingin berteriak se kencang-kencangnya. Tak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Namun yang pasti, mulutku seakan ingin jujur bahwa aku selama ini bukan hanya menyayanginya sebatas teman, namun aku pun juga mencintainnya. Oh, Tuhan, apakah aku harus mengatakannya sekarang?

"Din aku boleh nggak bilang sesuatu ke kamu?"

"Boleh dong, Kevin,  kenapa nggak boleh"

"Tapi kamu jawab jujur ya"

"Iya, emangnya apaan sih, kok kayaknya penting?"

Aku mengatur irama jantung yang berdebar hebat, hingga akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutkku;

"Aku sebenarnya bukan cuma sayang sama kamu sebagai teman, Din. Tapi aku juga cinta sama kamu. Kamu mau nggak jadi pendamping hidupku setelah tamat SMA nanti?"

Ku lihat ia hanya menunduk dan tak lama air matanya keluar membasahi pipi. Kemudian ia mengangkat kepalannya dan sembari mengatakan;

"Iya aku mau, sebenarnya kata-kata ini yang aku tunggu selama ini, Vin"

Pada akhirnya aku dan Diana pun melaksanakan akad nikah setelah dua bulan kami lulus dari SMA Sultan Agung Purworejo. Alhamdulillah, setelah satu tahun bulan kami menikah, Tuhan mengaruniakan kami satu orang putra yang kami beri nama, Anshori.

Writer: Widi Purnomo

🎉 Kamu telah selesai membaca Padma Amerta: Antologi Cerpen MA An-Nawawi Berjan Purworejo 🎉
Padma Amerta: Antologi Cerpen MA An-Nawawi Berjan PurworejoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang