Bad Inside: 01

158 8 2
                                    

Freya merogoh laci mejanya, meraba ke seluruh bagian dengan kepala penasaran. Kemudian  tersenyum senang begitu menemukan sesuatu. Ia mengeluarkan 'sesuatu' tersebut dari laci.

Sebatang cokelat Cadbury rupanya. Freya mengambil kertas yang tertempel di cokelat tersebut.

Selamat ulang tahun Freya. Semoga suka cokelatnya, ya!

Padahal ulang tahunnya sudah lewat dua hari yang lalu.

Freya membolak-balikkan kertas tersebut, mencari siapa pengirim cokelat tersebut. Namun tidak menemukan apapun.

"Jeje," panggil Freya pada cewek berambut pendek yang sedang menulis tanggal di papan tulis. "Yang naruh cokelat di laci gue tadi siapa? Lo liat nggak?"

Jeje menoleh. Menutup spidol dan meletakkannya di atas meja. "Anak 12 IPS."

Freya langsung terbayang wajah seseorang, senyum seketika merekah, membuat bibirnya yang tipis menjadi tinggal segaris. "Kak—"

"Bukan crush lo,"potong Jeje.

Senyum Freya seketika luntur. Bahkan ia belum menyelesaikan tebakannya, tapi Jeje sudah memumpuskan harapannya tanpa rasa bersalah.Freya memasukkan cokelat yang ia temukan di laci ke dalam tas dan bangkit dari kursi. Kelas masih sepi karena jam masih menunjukkan pukul enam tiga puluh. Baru ada Jeje yang memang sedang jadwal piket hari ini.

"Je, beli nasi kuning yuk! Laper gue,"ajak Freya.

Jeje hanya mengangguk dan berjalan mendahului Freya. Freya berjalan dengan perlahan, memperhatikan lingkungan sekitar yang masih sepi. Anak-anak yang berangkat pukul segini, biasanya anak-anak yang duduk di barisan depan dan selalu menjawab pertanyaan dari guru. Sesekali ia tersenyum lebar ketika ada seseorang yang menyapanya di koridor. Sambil mengingat-ingat siapa saja yang barusan menyapanya. Sesekali juga ada yang mengucapkan selamat ulang tahun dan Freya balas dengan terima kasih dibarengi senyum lebar. Freya menanggapi mereka semua dengan baik, seolah itu bukan hal baru dan ia sudah sangat professional mengatasi itu semua.

"Bu, nasi kuningnya dua ya." Jeje langsung meraih kursi dan memesan begitu sampai di kantin. Freya hanya mengikutinya karena Jeje sudah sekalian memesankan untuknya.

"Eh, ada Freya. Tumben Fe, pagi-pagi sarapan di sini." Mengabaikan seruan Jeje, Bu Imas pemilik kantin justru menghampiri Freya dengan wajah berseri.

Freya tersenyum dengan canggung. Ia meremas tangannya di bawah meja. Di dalam hati ia mulai berhitung

Satu..

Dua..

Ti—

"Erhan gimana kabarnya? Ibu udah lama nggak ketemu dia. Udah sibuk banget ya dia? Nggak nganter kamu lagi tah, dia?"

Freya sudah menduganya, saat memutuskan untuk sarapan di sini. Ia pasti akan diberondong dengan pertanyaan semacam ini. "Enggak Bu, sekarang diantar Ayah."

Erhan adalah kakak laki-laki Freya yang juga dulu bersekolah di Cakra Bhuana. Sudah sejak masih sekolah, Bu Imas ini getol sekali berusaha mendekati Erhan untuk dijodohkan dengan anak perempuannya. Anak perempuan yang sekarang ada di depannya, mengantarkan nasi kuning sambil berusaha menguping.

"Oalah begitu. Kapan-kapan, kalau Erhan nganter atau jemput kamu, diajak mampir ke sini dulu Fe. Nggak kangen tah,dia, sama nasi kuning buatan Ibu?" Bu Imas memukul bahu Freya pelan, mencoba mengajaknya bergurau.

Freya hanya tersenyum setengah hati dan mengangguk supaya Bu Imas segera pergi dan ia bisa sarapan dengan tenang.

Begitu Bu Imas pergi, Freya mulai menyendok nasi kuningnya secara perlahan. Mengunyah selama beberapa kali, Freya secara reflek memegang rahangnya. Rasanya agak pegal.

Pagi ini ia sudah tersenyum kepada lebih dari lima orang. Meskipun tadinya kesal, hari ini Freya bersyukur ayahnya mengantar pagi-pagi. Jika ia berangkat bersama Erhan, rahangnya akan jauh lebih pegal dari sekarang.

"Tumben sarapan di sini." Mahira, salah satu teman sekelasnya datang dan menarik kursi di samping Freya. Tangannya mencomot bakwan yang disiapkan di atas meja.

Freya meletakkan sendok di piring dan mengunyah sisa nasi di mulutnya sebelum mulai bicara. "Uda Erhan hari ini nggak kuliah. Jadi dianter sama ayah gue."

"Di loker lo ada yang gantungin paper bag,.noh, Fe." Zerin, yang datang bersama Mahira memberi tahu.

"Hah? Siapa yang ngasih?" Mata Freya seketika berbinar saat mendengar kata paper bag.

"Lah, mana gue tahu. Pas gue mau ngambil buku paket Sosiologi di loker gue, udah di gantung di situ."

Freya mengangguk-angguk dalam diam. Meskipun rasanya langsung ingin lari ke lokernya untuk mengambil paper bag yang disebut Zerin, Freya harus menahan diri. Tidak mungkin ia bersikap begitu. Akan terlihat seperti apa dirinya nanti, di mata Zerin, Mahira dan Jeje kalau ia langsung pergi begitu mendengar ada hadiah untuknya.

Terdengar norak dan tidak sabaran kan?

Freya bangkit setelah menghabiskan nasi kuningnya. Tidak lama kemudian bel tanda masuk kelas berdering. Mahira mengeluh pelan, mengatakan ia bahkan belum sempat memesan nasi tapi sudah bel. Beres membayar, Freya beranjak menuju kelasnya di lantai dua. Sementara Jeje, Mahira, dan Zerin mengekor di belakangnya seperti sekumpulan ajudan dan tuannya. Bukan karena mereka memang ajudan Freya, tapi karena koridor lantai dua sempit dan tidak memungkinkan mereka berempat berjalan bersisian.

Freya lebih banyak tersenyum dari pada tadi pagi. Hampir sepanjang jalan ada saja orang yang menyapanya, dan Freya balas dengan anggukan serta senyum yang lebih lebar dari yang mereka lemparkan ke dirinya. Meskipun terdengar agak kepedean, tapi Freya memang cukup populer di SMA Cakra Bhuana. Hampir setiap angkatan mengenal dirinya. Freya memiliki mata yang tajam, hidung yang tinggi dan bibir yang sering mengembangkan senyum.

Kelas sudah jauh lebih ramai begitu Freya masuk. Tak lama setelah ia duduk dan mengeluarkan buku Sosiologi, ketukan sepatu yang Freya kenal sebagai sepatu wali kelas terdengar jelas. Freya mengernyit. Wali kelas mereka adalah guru Matematika.Apa yang beliau lakukan di sini?

"Anak-anak, Ibu sudah izin ke guru Sosiologi kalian untuk minta waktu sebentar.Tolong perhatiannya sebentar ya. Kalian kedatangan teman baru hari ini. Ayo perkenalkan dirimu," ujar Bu Rina, begitu memasuki kelas. Ada seseorang yang mengekor di belakangnya.

Freya mengangkat kepala ketika wali kelas menyelesaikan ucapannya. Ia sudah mendengar desas-desus akan ada murid baru di sini dari kemarin, tak disangka itu sungguhan. Tapi..

Eh?

Freya menaikkan sebelah alisnya, begitu melihat wajah anak baru tersebut.



Lampung Selatan, 27 Desember 2022

Bad Inside [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang