Bad Inside: 22

32 2 0
                                    

Freya bertolak pinggang, menunggu Erhan mengeluarkan mobil dari garasi. Hari ini ia memakai celana training, kaus pendek dengan rambut yang dikuncir kuda. Pukul setengah delapan pagi, ia menyeret Erhan yang masih setengah mengantuk untuk pamitan pada Bunda. Freya mengarang cerita kalau mereka akan pergi lari pagi di gelanggang olahraga. Bertambah lagi daftar kebohongan Freya pada ibunya. Berbohong bukan lagi hal besar, apalagi untuk hal sepenting ini. Freya tidak masalah kalau harus berbohong sepuluh kali pada ibunya.

Setelah Erhan mengeluarkan mobil, Freya langsung membuka pintu dan duduk di kursi penumpang. Erhan menguap, melirik adiknya dengan mata sipit sambil mendesis kesal.

"Ngerepotin aja anak satu ini."

Freya yang mendengar desisan, telunjuknya teracung ke arah Erhan.

"Hoho, Uda. Hati-hati ya, kalo ngomong. Uda mau bantu aku, atau aku laporin ke Bunda sama Ayah karena nilep uang kuliah?" ancam Freya.

Erhan menatap Freya dengan ekspresi tidak percaya. Ia membuka mulut tapi lantas menutupnya kembali. Kehabisan kata-kata. Adiknya yang dulu manis, sekarang sanggup menumbalkan dirinya untuk hal-hal yang dia kehendaki.

Mobil melaju dengan pelan, tidak lama, berhenti di salah satu rumah yang hanya berbeda blok dari rumah mereka. Erhan turun dari mobil. Sementara Freya masih duduk manis,mengetik balasan pesan untuk Lulu.

Lulu: Pulangnya mungkin sekitar jam 10 an, sih. Fe. Sehabis Zuhur aja deh ya, kita mainnya.

Freya: Oke deh,Kak Lulu.

Freya kekeuh ingin melakukan 'operasi pencarian bukti teror Khannaya'--begitulah Freya menyebut rencananya hari ini-- karena mendapat informasi dari Lulu jika anak-anak asrama sedang keluar untuk jalan-jalan pagi di gelanggang olahraga. Dengan alasan ingin main bersama, Freya bertanya tentang jam keberangkatan dan kepulangan Lulu dan rombongan. Untuk masalah bagaimana cara masuk ke asrama, Freya sudah menyerahkannya pada Erhan. Jantung Freya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia mencoba mengatur napas dengan menghirup dan menghembuskan secara perlahan. Freya tidak tahu, apakah yang akan dia lakukan ini termasuk ke dalam tindakan kriminal atau bukan. Sekalipun ini kriminal, Freya cuma berharap dia tidak akan ketahuan.

Pintu mobil terbuka dan secara reflek menoleh. Matanya membesar melihat siapa yang duduk di kursi pengemudi. Masih diserang rasa terkejut, pintu mobil bagian belakang terbuka dan Erhan naik. Dengan santai menyandarkan kepala ke kursi dan menutup mata.

"Uda, kenapa jadi malah duduk di belakang?" Freya menolehkan kepala ke belakang.

"Udah biarin aja Yasa yang nyetir. Dia bisa kok. Uda ngantuk banget masihan, Fe. Jangan cerewet," jawab Erhan masih dengan mata tertutup.

"Uda mau kita semua mati?!" Suara Freya yang meninggi sarat akan ketakutan. Mengendari motor saja Yasa kadang ugal-ugalan. Apalagi mobil.

Yasa yang sudah memasang seat belt dan memegang setir kemudi, menoleh pada Freya. Dengan suara datar berujar, "Gue tahu cara nyetir dengan baik kok, Fe. Udah diajarin Bang Gusti." Ketimbang Erhan, Yasa punya lebih banyak stok kesabaran untuk menghadapi Freya.

"Kalo dia masih ngeyel, suruh dia aja yang nyetir mobil, Yas," ketus Erhan

Freya menutup rapat mulutnya, tidak mengatakan apa-apa lagi. Tangannya secara refleks memegang seat belt erat-erat. Dalam hati tidak berhenti berdoa semoga dirinya selamat sampai tujuan.

Mobil Rush warna hitam yang dikendarai Yasa berhenti halaman kecil sebuah kios cemilan atas perintah Erhan. Dari kios itu, mereka berjalan menuju tanah kosong di samping halaman belakang SMA Cakra Bhuana. Freya dan Yasa mengekor di belakang Erhan.

Bad Inside [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang