Bad Inside: 12

45 3 0
                                    

Freya melongokkan kepala ke jendela kelas sedikit. Kelas masih sepi karena baru jam setengah tujuh pagi.

"Aduh," keluhnya pelan. Baru ada Yasa di kelas. Tumben sekali anak itu berangkat sepagi ini. Biasanya, gerbang sudah tertutup separuh, Yasa baru datang.

Freya berkacak pinggang, harus kemana ia sepagi ini? Freya sedang malas ke kantin dan perpustakaan belum buka sepagi ini. Freya juga harus menyalin tugas Matematika yang semalam belum sempat ia pindahkan dari buku coretan ke dalam buku tugas karena ketiduran. Harusnya Freya bisa masuk dengan santai dan cuek meskipun ada Yasa seperti biasa. Tapi kali ini tidak bisa, ia merasa canggung dan agak malu. Kalau saja kemarin Freya naik ojol saja, ia tentu tidak akan merasa canggung begini.


Sesuai prediksi, jalanan menuju arah rumah macet parah. Meskipun naik sepeda motor, tetap tidak bisa menyalip kendaraan lain karena jalanan yang sangat padat. Freya mengipasi wajahnya yang terasa panas dan berdebu karena asap kendaraan. Ia juga berulang kali membetulkan letak helm yang agak kebesaran dan lumayan berat. Sewaktu masih di asrama, Freya ngotot tidak mau memakai helm, tapi Yasa memberikan argumen tak terbantah.

"Kalo nanti ditilang polisi, lo yang bayar berarti ya."

Maka dengan berat hati, Freya terpaksa memakai helm yang diulurkan Yasa.

Freya melongokkan kepala melihat kemacetan yang belum juga terurai di depan sana, kemudian menghela napas pelan. Kedua tangannya ia tumpukkan di atas paha yang tertutup rok abu-abu.

"Pegangan, Fe," ujar Yasa pelan.

"Dih, ogah. Ngapain gue pegangan," balas Freya sewot.

Baru saja Freya menyelesaikan kalimatnya. Motor di depan Yasa maju dan Yasa jadi ikut memutar gas motor secara tiba-tiba. Freya yang sedang membetulkan helm terkejut dan secara refleks telapak tangannya menyentuh punggung Yasa.

"Ish! Pelan-pelan kenapa, sih."

"Kan gue udah bilang, pegangan. Makanya nggak usah ngeyel."

"Ya masa gue harus pegangan pinggang elo. Emang lo bapak gue?" Freya membalas dengan sewot. Entah kenapa, kalau bicara dengan Yasa, Freya tidak bisa bersikap ramah dan halus. Kalau tidak dingin, ya sewot.

"Gue nggak nyuruh lo buat pegangan pinggang gue, bisa pegang seragam atau tas gue aja." Yasa menyikapi kesewotan Freya dengan santai.

Freya mengipasi wajahnya yang memerah. Bukan hanya karena panas, tapi karena malu. Karena dia sudah dengan kepedean berpikir kalau Yasa memintanya memegang pinggang cowok itu.

Kejadian berikutnya adalah kejadian yang menurut dia, berkali lipat lebih membuat malu dari pada kejadian di jalan sewaktu macet.

Yasa mengantar Freya sampai ke depan rumah makan. Begitu turun dari motor, dengan wajah tertekuk, Freya berusaha untuk membuka kaitan helm. Beberapa kali berusaha mencoba, Freya belum berhasil membukanya,

Helm sialan. Udah berat, susah dibuka. Mbak Echa kenapa beli helm model begini, sih?

Freya merutuki helm tersebut dalam hati. Bahkan ikut memaki pemilik helm.

"Bentar, Sa. Ini gue minta bukain Mbak Mei dulu." Freya membalik badan. Hendak minta bantuan Mbak Mei untuk membuka kait helm. Beberapa kali saat diantar pulang ojol, helmnya juga susah dibuka. Dari pada minta tolong driver ojol, Freya mending minta tolong Mbak Mei untuk membuka kaitnya.

Baru saja dua langkah, seseorang memutar bahu Freya. Secara refleks tubuh dan kakinya juga ikut berputar. Belum sempat Freya memahami apa yang sedang terjadi, Yasa yang sekarang berdiri di depan Freya sedikit menunduk dan membuka kait helm. Freya menahan napas, melihat Yasa sedekat ini dengannya.

Bad Inside [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang