Teror kedua itu berupa sebuah boneka beruang kecil berwarna merah muda. Boneka itu jatuh saat Khannaya membuka pintu lokernya. Boneka yang seharusnya terlihat manis itu justru nampak mengerikan.
Sebelah matanya dicongkel, di bekas mata yang tercongkel itu, ditancapkan paku berkarat. Sekujur tubuh boneka robek sana-sini. Terlihat sekali jika robekan itu disengaja dan dilakukan dengan brutal, karena isi boneka mencuat ke sana, ke mari.
Yang paling membuat Freya begitu tercengang saat melihatnya adalah, boneka itu juga berlumuran darah. Darah sungguhan. Bukan cat air berwarna merah yang ditumpahkan ke badan boneka. Bau amis menguar dari boneka itu.
Khannaya, dengan wajah yang sudah sepucat mayat, mencabut sebuah kertas yang tertempel di badan boneka. Ia membalik kertas itu dan membacanya. Freya mendekat, penasaran dengan apa isi kertas tersebut.
Which do you prefer, red or pink?i give you both.
Freya menatap jeri kertas yang Khannaya pegang. Siapa pun pengirim teror itu, Freya yakin, dia sosiopat. Dalam hati ia berkali-kali merapal syukur, karena meskipun cukup populer, Freya tidak pernah mendapatkan teror seperti itu.
Freya berbalik, semua orang yang ada di ruang loker menatap ke arahnya sambil berbisik-bisik. Oke, biar Freya ralat, menatap ke arah Khannaya. Freya mundur, mendekatkan diri ke arah Ghita, supaya tidak ikut jadi pusat perhatian.
Ghita mendekat pada Freya dan berbisik pelan, "Gue yakin, kali ini bukan iseng kayak yang waktu itu Nanda bilang."
Freya mengangguk setuju. Ia meraba leher yang terasa merinding. Khannaya kembali meletakkan boneka itu ke dalam loker dan beralih mengambil tasnya. Ia kemudian menutup pintu loker seolah tidak terjadi apa-apa. Melihat apa yang pemilik loker lakukan, kumpulan siswa yang menonton di koridor segera membubarkan diri. Tentunya masih sambil berbisik-bisik. Khannaya berbalik. Menatap Freya dan Ghita yang berdiri menyandar di tembok.
"Nay?" tanya Freya hati-hati. Lidahnya terlalu kelu untuk sekedar bertanya 'are you fine'
"Nggak apa, Fe, Ta. Biarin aja. Nanti kalo direspon, yang ngirim makin seneng," Suara Khannaya terdengar tenang dan terkendali. Ia bahkan memberikan senyum, berusaha menenangkan Freya dan Ghita yang terlihat masih terkejut.
Seolah apa yang terjadi barusan bukan hal besar. Padahal saat boneka itu jatuh tadi, kemudian Khannaya mengambilnya, beberapa siswa secara reflek berseru 'astaga' atau 'Ya Allah, apa itu' disertai dengan pekikan takut yang berusaha di tahan.
Freya diam-diam merasa iri dengan pengendalian diri dan emosi Khannaya. Jika kejadian ini terjadi pada Freya, Freya yakin dirinya akan langsung menangis di tempat. Atau minimal, tidak bisa berkata-kata lagi,
"Aku mau pulang ke asrama langsung. Mau bareng sampe gerbang depan nggak, Fe, Ta?"
Freya dan Ghita reflek mengangguk. Upacara yang rasanya seperti simulasi padang mahsyar, perlombaan yang cukup melelahkan, penampilan teater yang keren, dan ditutup dengan teror yang dikirim sosiopat gila.
Hari ini cukup melelahkan.
***
"Hah?!" Freya hampir saja menjatuhkan tempe goreng yang sudah masuk ke dalam mulutnya, ketika berujar, 'hah' tadi.
"Lo denger dari mana deh, El, jangan ngaco ya," lanjut Freya. Setelah tuntas mengunyah tempe gorengnya.
"Gue sih, denger dari anak IPS 4. Anak IPS 4 nggak tahu denger dari mana. Tapi emang bener ya, darahnya sampe masih netes-netes dan jadi berceceran di lantai?" tanya Elia penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Inside [END]
Teen FictionApa yang paling ditakutkan primadona sekolah? Kehilangan atensi. Freya hanya bisa menahan geram, saat semua perhatian yang biasanya tertuju padanya, kini berpindah pada orang lain. Khannaya. Murid baru yang sejak kehadiran pertama kali, berhasil m...