Bad Inside: 24

38 1 0
                                    

Freya mengatupkan rahangnya kuat-kuat dan mulai menghitung mundur untuk mengatur napas. Meladeni nenek lampir macam Zerin, hanya akan membuang tenaga.

"Dari pada capek-capek nyari kambing hitam, mending ngaku aja nggak sih, Fe? Resikonya paling juga elo kehilangan nama baik yang selama ini lo jaga mati-matian itu kan." Senyum miring masih menghiasi wajah Zerin.

Freya memutar bola mata, mulai jengah dengan omong kosong Zerin. "Gue nggak perlu ngakuin hal yang enggak pernah gue lakuin, Zerin. Dan, gue nggak akan pernah jatuh kayak harapan lo."

Kalimat yang Freya ucapkan sepertinya tidak memberikan efek apa-apa ke Zerin. Terbukti cewek itu malah terkekeh pelan, dengan senyum menyebalkan yang terpasang di wajahnya, Zerin berujar, "Kalo gitu tunjukkin dong, siapa pelakunya. Gue kasih lo waktu sampe minggu depan. Let see lo bisa nggak, buktiin omongan lo waktu itu kalo lo bakal nemuin pelaku terornya." Usai mengatakan kalimat tersebut, Zerin melenggang santai. Meninggalkan Freya yang wajahnya sudah semerah kepiting rebus.

Cih, dia piker dia siapa? Sok-sokan ngasih waktu sampe minggu depan.

Freya hanya bisa menendang udara kosong dengan kesal. Sebagai ganti dia tidak bisa menendang Zerin. Dengan wajah tertekuk, ia berjalan menuju parkiran sekolah.

"Loh, Fe, nggak ekskul?" tanya Elia saat berpapasan di jalan dengan Freya.

"Enggak dulu, El. Lagi bad mood."

Yasa sudah duduk di atas sepeda motor sambil memainkan game online saat Freya sampai di parkiran. Tanpa mengatakan apa-apa, cowok itu mematikan game dan memasukkan ponselnya ke dalam tas, menyerahkan helm Freya dan duduk di atas motor. Freya menerima uluran helm.

"Nggak ada tulisan tangan yang mirip sama yang ada di kertas teror, Yas. Apa jangan-jangan pelakunya bukan anak kelas kita ya?"

Yasa menggeleng. Menurut gue pelakunya anak kelas kita. Kebetulan kita belum bisa nemuin jejak dia aja."

"Lo yakin?"

Yasa mengangguk.

Freya naik ke atas motor dengan lesu. Semoga saja jejak-jejak yang dimaksud Yasa benar-benar ada.

**

Freya begadang dan baru tidur jam satu dini hari. Akibatnya, ia tertidur sepanjang perjalanan ke sekolah. Freya mencium tangan ayahnya dan menguap lebar sebelum membuka pintu mobil. Setelah turun dari mobil, Freya berjalan seperti biasa memasuki gerbang sekolah. Wajahnya kusut. Tidak berseri seperti biasanya. Freya begadang hanya untuk memikirkan rencana apa yang harus ia dan Yasa jalankan untuk menemukan jejak-jejak pelaku teror. Setelah begadang, Freya mendapatkan sebuah kesimpulan,

Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan.

Kesimpulan yang memukul telak semangat Freya.

Alasannya karena barang bukti yang mereka punya hanya terbatas pada surat-surat teror. Dan setelah mengecek tulisan anak sekelas, tidak ada yang memiliki tulisan serupa yang ada di surat tersebut. Freya memijit keningnya. Bagaimana pun ia sudah terlanjur sesumbar kepada anak kelas akan menemukan pelaku terornya, tidak mungkin ia menarik kembali kata-katanya. Apapun yang terjadi, Freya akan menemukan pelaku teror tersebut.

Tapi bagaimana?

Itu yang harus Freya pikirkan ulang.

Hasil ulangan Bahasa Inggris tempo hari dibagikan. Mungkin ini hari kesialan bagi Freya, sudah pusing memikirkan cara menangkap pelaku teror, malah ditambah pusing karena nilai ulangan harian Bahasa Inggrisnya hanya dapat 80. Yang lebih membuat Freya sakit kepala adalah karena nilainya lebih kecil dari pada Yasa dan Dasheena. Freya terbesar nomor 3.

Menjadi nomer dua saja sudah menjengkelkan. Apalagi nomor tiga.

Freya membereskan barang-barang yang tergeletak di atas meja. Bunyi bel tanda jam istirahat kedua sudah berbunyi lima menit lalu. Karena hari ini ia sedang haid, Freya berencana untuk pergi ke kantin untuk minum segelas es teh sambil memikirkan rencana selanjutnya,

"Kayaknya waktu itu ada yang pernah bilang deh, bakal nemuin pelaku terornya Khannaya, kok sampe sekarang anyep, ya." Celetukan itu membuat Freya yang sedang menutup tas, menoleh ke bangku belakang.

Sialan. Kenapa dia juga inget.

Freya mencoba mengabaikan celetukan tidak berguna tersebut dan fokus menghitung uang yang tersisa di dompetnya.

"Apa dia nggak bisa nemuin pelaku terornya, karena yang selama ini ngirim teror diri dia sendiri?"

Freya sudah tidak bisa tinggal diam jika ada yang mulai menggiring opini seperti ini.

"Lo punya bukti nggak, Gung, berani ngomong kayak gitu?" Freya berusaha mengucapkannya setenang mungkin.

"Poinnya bukan di situ, Fe," elak Agung. "Poinnya adalah, lo udah sesumbar bakal nemuin pelaku teror tapi sampe sekarang nggak ada kabar. Ini Freya loh, Freyadisie Alessandra yang katanya selalu nepatin omongan. Kok sekarang ingkar janji." Orang-orang yang tadinya tidak tertarik dengan perdebatan Agung dan Freya mulai menyimak dan menaruh perhatian. Beberapa orang yang tidak terlalu akrab dengan Freya bahkan terang-terangan berbisik.

Freya menghela napas keras. Selain Zerin, orang yang selalu mencari celah untuk menjatuhkan dirinya adalah Agung.

"Gue bakal nangkep pelakunya kok. Tenang aja. Lo tinggal tunggu aja, Gung." Freya mengucapkannya tanpa sadar. Lagi-lagi ia sesumbar.

Agung terkekeh. "Lo yakin?"

Freya mengangguk mantap. "Dan gue bakal buktiin kalo gue nggak terlibat sama kasus penculikan Khannaya. Lo siapin aja pidato minta maaf karena selama ini udah nuduh-nuduh gue tanpa bukti yang jelas." Selesai dengan kalimatnya, tanpa menunggu balasan Agung, Freya berjalan melenggang keluar kelas.

Di selasar, Freya menunduk dan memegangi lututnya. Payah sekali, bersitegang dengan Agung sebentar saja, lutut Freya sudah gemetar. Dan kalimatnya yang terakhir, Freya memijit pelipisnya.

Bagus sekali Yasa tidak ada di kelas tadi. Jika Yasa ada di kelas, Freya yakin, cowok itu sudah menghujaninya dengan tatapan laser karena bersikap sembrono dan terlalu banyak sesumbar.

Sisa hari tersebut Freya lalui dengan berpikir. Tapi sampai jam sekolah berakhir, Freya tidak menemukan ide apa-apa terkait kelanjutan kasus teror Khannaya.

**

"Da, aku nemu jalan buntu," lapor Freya secara tiba-tiba. Ia tiba-tiba masuk ke kamar Erhan dan duduk di atas kasur sambil mengeluh.

"Hm, jalan buntu? Di daerah mana?"

"Ish, bukan jalan buntu yang itu!"

"Terus jalan buntu yang apa?" Erhan merespon asal-asalan. Ia sedang sibuk main game online di komputernya.

"Jalan buntu soal kasus temen aku yang Namanya Khannaya itu."

"Loh kok bisa, bukannya kemarin katanya kalian udah dapet bukti surat teror? Kok sekarang mendadak buntu?"

"Kami udah cek semua tulisan temen sekelas, dan nggak ada yang tulisannya kayak yang di surat teror."

"Berarti itu kelas lain kali pelakunya. Coba kamu cek kelas lain juga." Erhan masih merespon dengan asal-asalan. Sejujurnya, dia cuma merespon supaya Freya tidak ngambek saja.

Freya mengerutkan dahi dan menatap Erhan tajam. "Masa aku harus cek semua tulisan anak kelas 11 satu-persatu. IPS aja ada 5. IPA juga ada 5. Jadi aku harus ngecek 10 kelas gitu? Uda udah gila apa?"

"Ya Uda kan asal ngomong aja. Kamu serius amat deh, Fe."

Freya menghela napas berat. Niatnya datang kemari adalah untuk mendapatkan saran, tapi apa yang bisa diharapkan dari abangnya ini.

Semuanya seperti kembali ke titik awal. Gelap dan buntu. 


Lampung Selatan, 11 Oktober 2023





Bad Inside [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang