"Yang bagian sebelah situ, biar gue aja, Ra," ujar Yasa kepada Mahira.
"Oke." Mahira berpindah tempat dengan membawa sapu. Seharusnya mereka piket berempat, Yasa, Mahira, Nanda dan Ilham. Nanda sudah menaikan meja dan Ilham akan menurunkannya besok pagi katanya. Tadi dia buru-buru pulang karena mules.
Sapu yang dipegang Yasa bergerak dengan pelan. Ia mengamati gerak-gerik Mahira, setelah memastikan Mahira tidak melihat ke arah dirinya, tangan Yasa dengan cepat mengambil kertas yang ada di dalam laci.
Laci orang yang Yasa curigai sebagai pelaku. Dengan gelisah, ia memasukkan kertas tersebut ke dalam saku celana dan menyapu dengan lebih cepat. Yasa merasakan perasaan yang sama seperti saat mengambil kertas teror dari kamar asrama Khannaya. Perasaan bersalah karena telah mencuri sesuatu yang bukan miliknya.
Setelah menyelesaikan tugas piketnya, Yasa pamitan kepada Mahira. Cowok jangkung itu menuruni tangga dengan cepat. Tangannya mengetik pesan kepada Freya yang sudah pulang lebih dulu.
Yasa: Fe, nanti gue ke warung ibu lo aja ya.
Freya: Ok.
Membaca sekilas balasan Freya, Yasa beralih ke aplikasi Gojek untuk memesan layanan Go Ride. Kakinya mengetuk-etuk paving blok dengan tidak sabar.
***
"Mbak Mei, minta nasi ayam satu ya. Sama es teh tapi es nya yang banyak." Menunggu Freya yang masuk ke rumah untuk mengambil kertas teror yang disimpan, Yasa piker sebaiknya ia makan siang dulu. Makan siang yang terlambat sebenarnya. Karena sekarang sudah pukul setengah empat. Saat makanan sudah disajikan, Freya baru muncul. Sebelum Freya mengatakan apapun, Yasa sudah meminta nego.
"Ngobrolnya nanti dulu. Gue mau makan."
Freya mengendikkan bahu cuek. Menarik kursi di depan Yasa dan memainkan ponselnya dengan santai. Sesekali memekik saat melihat foto Agam di ponsel.
"Ya ampun, Kak Agam ganteng banget ya, Yas. Udah ganteng, anak teladan, mantan ketos lagi."
Yasa mengangguk cuek. Biar cepat.
"Kata Kak Lulu, tahun depan Kak Agam juga bakal daftar jalur undangan bareng Kak Lulu. Katanya sih, bakal nyoba di UI." Freya bicara sendiri. Sementara Yasa sibuk minta nambah sambal ijo. "Menurut lo, Kak Agam bakal ambil jurusan apa, Yas?"
"Nggak tau, Fe. Kan gue bukan temennya," jawab Yasa sekenanya. "Mbak Mei, minta tambah air dong, pedes banget sambilnya." Setelah sibuk minta nambah sambal, sekarang Yasa ribut minta tambahan air karena kepedasan."
Freya melipat bibirnya ke dalam. Yasa memang tidak asik jika diajak membahas soal hal semacam ini. Persis seperti abangnya.
Selesai dengan makan siangnya, Yasa mengeluarkan kertas lusuh dari kantong celananya. Menyerahkannya kepada Freya. Freya memperhatikan gambar dan nama Yasa yang terukir di sana. Dahinya berkerut, "Ini apa, Yas?"
"Coba lo bandingin sama tulisan di kertas teror itu," perintah Yasa.
Freya menjejerkan kertas-kertas yang tadi ia ambil dari kamar. Ada tiga kertas teror dan diurutkan sesuai dengan waktu kejadian terornya. Mata Freya terpaku pada kertas teror nomor dua dan tiga yang memiliki tulisan lebih kecil dari pada yang pertama. Ia menatap kertas teror dan kertas yang dibawa Yasa secara bergantian. Wajahnya memucat. Matanya membelalak dan dengan dramatis menutup mulut yang secara reflek terbuka saking terkejutnya. Dengan suara terbata, ia bertanya pada Yasa.
"Jadi...ini beneran dia, Yas?"
Orang yang kemungkinan besar adalah pelaku teror adalah orang yang sungguh diluar dugaan. Freya bahkan bertengkar di gerobak Mas Jimin kemarin sore. Memperdebatkan tentang si pelaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Inside [END]
Teen FictionApa yang paling ditakutkan primadona sekolah? Kehilangan atensi. Freya hanya bisa menahan geram, saat semua perhatian yang biasanya tertuju padanya, kini berpindah pada orang lain. Khannaya. Murid baru yang sejak kehadiran pertama kali, berhasil m...