Kebenaran

98 13 2
                                    

"Je, gue duluan ya."

"Iya, hati-hati ya." Jean melambaikan tangannya kepada Darren yang baru saja menaiki motor  ojek  online pesanannya.

Beginilah keseharian Jean setelah kejadian di depan rumah Jean dua minggu yang lalu. Berangkat sendiri, pulang sendiri membonceng angin di jok belakangnya.

Darren sendiri malah tidak mau ikut Jean untuk pulang bersama dan menebeng.

"Gak mau ah, naik motor lo nungging di belakang, lo kan pendek Je," jawab Darren tiap kali Jean menawarkan tumpangan. 

Jean sebagai mahasiswa kupu-kupu (Kuliah Pulang-Kuliah Pulang) yang memang maunya langsung pulang setelah kegiatan akademik itu, selalu melajukan motornya sendirian. Tak ada lagi yang sekedar iseng untuk ikut menemani Jean hingga gadis itu sampai di rumahnya.

Perempuan itu menghembuskan napasnya kasar sebelum ia memakai helmnya. 

"Kamu memang udah dua kali melihat hubungan hancur karena kehadiran wanita lain, tapi hal itu gak membenarkan kamu ada di posisi wanita itu." 

Jean selalu menanamkan kalimat itu di otaknya ketika dirinya mulai sadar jika dirinya rindu Garvin dan ia butuh kehadiran seseorang untuk sekadar menemaninya.


Our Path


"Punten," ucap Lusi memasuki ruangan rawat inap Helen.

"Lus, sini." Garvin melambaikan tangannya pada Lusi, memberikan isyarat kepada Lusi agar mendekat kepadanya.

Sebenarnya Lusi merasa sedikit keberatan ketika diminta untuk bergantian menjaga Helen di rumah sakit. Lusi sendiri tidak terlalu dekat dengan Helen, mereka hanya sebatas kenal dan saling menertawai jokes satu sama lain. Bagi Lusi, Helen hanya merupakan 'pacar sepupunya', tidak lebih. 

"Hai Lusi!" sapa Helen tersenyum.

"Makasih ya Lus, gue cuma sebentar kok, ngumpulin tugas besar doang ke dosen gue, katanya gaada presentasi, jadi harusnya cepet." Garvin beranjak dari duduknya.

"Iya, santai aja, udah sana nanti telat lo," kata Lusi duduk di sofa yang ada di ruang inap kelas VIP itu.

Garvin mengambil tasnya dan kembali menghampiri Helen.

"Aku ke kampus dulu ya," pamit Garvin.

"Hati-hati ya, sayang." Garvin tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan.

Helen sendiri juga sebenarnya tau akan ada atmosfer kikuk di antara dirinya dan Lusi. Tapi Garvin masih bersikeras untuk meminta Lusi agar menemani Helen sementara karena Helen sedang sering kambuh akhir-akhir ini. Ya, hitung-hitung pendekatan lah sama sepupunya calon suami, hehe.

"Lo udah makan?" tanya Lusi memecah lamunan Helen.

"H-hah? udah kok, Lusi udah?" 

Lusi mengangguki pertanyaan Helen.

"Gimana lo sama Garvin? akur-akur aja kan? udah nyesel belum balikan sama dia?"

Helen tertawa.

"Ah Lusi bisa aja, ya memang anaknya nyebelin sih, tapi yaa Helen rating tujuh per sepuluh lah," ucap Helen bercanda.  

"Lo kayak reviewer tiktok aja," balas Lusi terkekeh.

Karena pertanyaan Lusi, pikiran Helen seketika tertuju pada sikap Garvin akhir-akhir ini.

Beberapa minggu yang lalu, cowok itu jadi lebih sering memainkan ponselnya, bahkan kadang tidak fokus saat berbicara dengan Helen. Garvin juga sering tertangkap basah sedang melamun oleh Helen. Gambarannya seperti, raga Garvin ada bersamanya, tapi jiwanya entah terbang kemana.

"Lus, kok bengong?"

Nah, kali ini Helen yang bengong.

"Ng-nggak apa-apa Lus, ada kepikiran sesuatu aja." Lusi mengangguk seolah mengerti dengan pikiran Helen.

Seketika Helen juga teringat dengan perempuan yang sempat Garvin ceritakan saat itu. Apa kabarnya ya? apa Garvin masih berhubungan dengan teman SMAnya itu? Atau mungkin mereka berdua punya hubungan khusus sejak Helen masuk rumah sakit?

"Hush, Garvin gak mungkin tega kayak Juan," batin Helen.

"Ehm, Lusi...?" panggil Helen.

"Kenapa?" jawwab Lusi tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Lusi satu SMA sama Garvin kan ya?" 

"Iya, kenapa?"

"Lusi kenal temen Garvin yang namanya El? aku lupa siapa nama panggilannya pokoknya depannya huruf J, tapi Garvin manggilnya El."

Lusi tersenyum kecil, ia meletakkan ponselnya di atas sofa dan beranjak mendekati jendela di ruang inap itu.

"Kenapa lo nanyain Jean?" tanya Lusi.

"Helen cuma penasaran aja, mereka sahabatan ya?"

"Nggak, Helen." 

Lusi kembali duduk di sofa menghadap Helen.

"They used to be enemy," lanjut Lusi.

"Maksudnya?" tanya Helen mencoba membuka cerita masa lalu Lusi.

"Gue, Jean dan tiga temen gue yang lain, kita tuh rivalnya geng Garvin,"

"Waktu Garvin baru pindah ke Jakarta, gak tau kenapa cowok itu malah suka sama temen gue, padahal udah jelas Jean gak suka sama Garvin karena Garvin ngambil posisi dia buat tanding taekwondo plus cowok itu sok cakep banget huwek." Lusi bertingkah seolah ingin muntah.

Helen terkekeh mendengar cerita Lusi. Perempuan itu belum membuat prasangka sedikitpun tentang apa yang diceritakan Lusi, karena semua orang pasti juga punya crush masing-masing kan?

"Terus gimana? Jeannya nolak ya?" Helen tertawa lebih dulu sebelum Lusi tersenyum kecil.

"Hubungan mereka susah dideskripsiinnya, ya lo tau kan Garvin sangat amat posesif, tapi Jeannya gak suka dikekang, gue juga gak tau mereka jadian atau nggak sebenernya," jawab Lusi mengedikkan bahunya.

"By the way, kenapa lo nanyain Jean?"

Helen menggeleng dan masih mempertahankan senyum manis di wajahnya.

"Helen pernah denger Garvin manggil nama itu, padahal lagi sama Helen."

Lusi terdiam kikuk.

"Orangnya gak fokus gitu emang, namanya juga Garvin Hamengku."

Kini, keduanya sama-sama bungkam. Lusi kembali menonton video yang lewat di timeline instagramnya dan Helen yang masih berpikir dalam diamnya.


Our Path

beberapa langkah menuju endingg, semoga cepet yaa aku nulisnyaa biar cepet end dan tidak ada hutang lagi huhuh sebelum aku sibuk di dunia kuliah ini hiks

makasih sudah baca!!


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OUR PATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang