"Non Jean sama den Axelle udah pindah mas, ke luar negeri, tapi saya gak tau kemana."
Disaat yang bersamaan, hati laki-laki enambelas tahun itu luruh, harapannya runtuh, perasaannya hancur, seraya dengan tubuhnya yang melemas. Garvin, ia masih tak percaya dengan apa yang baru di dengarnya.
"M-Maksudnya Pak?" tanya Garvin terbata-bata. Pria dengan kaos oblong putih itu menghentikan kegiatan berkebunnya dan mematikan keran air.
"Kamu siapa toh?" Ia bertanya balik.
"Saya Garvin, saya-"
"Owalah nak Garvin, sebentar ya nak." Garvin mematung melihat pria itu berlari masuk ke dalam rumah Jean. Dirinya jadi bingung ketika pengenalan dirinya itu dipotong tiba-tiba.
Tak lama kemudian si pria paruh baya kembali dengan kotak kecil di tangannya. Ia membuka pagar dan memberikan benda tersebut pada Garvin sambil berkata, "Non Jean titipin ini ke orang yang namanya Garvin, berarti ini buat Mas."
Tangan Garvin terulur menerimanya, dan memperhatikan kotak kecil berwarna biru mudah itu sesaat. Sungguh, Garvin sangat berharap semua ini cuma tipuan belaka, ia tahu setelah ini pasti Jean keluar dari rumahnya dan mengucapkan 'Welcome Home Garvin!' padanya.
"Hahahahaha! Ngapain lo di depan rumah gue?" Suara itu, Garvin tahu betul suara siapa itu. Dengan cepat Garvin menoleh dan tersenyum lebar.
"EL?" Perempuan berambut coklat pendek itu ikut tersenyum menampilkan lesung pipinya yang sangat manis. Ia melebarkan tangannya membuat Garvin berlari kearahnya dan memeluk dirinya dengan erat.
"I miss you so much," lirih Garvin hingga meremas bahu Jean.
"Bangun Vin, katanya kuliah pagi."
"GARVIN, UDAH JAM SEPULUH NAK! GAK KE KAMPUS KAMU?" Kedua mata sipit itu terbuka mendadak mendengar teriakan wanita yang ia yakin ada di depan pintu kamarnya.
"Jam sepuluh?!" Garvin meraih ponselnya, dan menghembuskan napasnya kasar.
"Bun, ini masih setengah sembilan, kan Garvin minta bangunin jam sembilan," jawabnya melempar ponselnya keatas kasur, kesal dengan si Bunda. Memang alarm terbaik itu jatuh kepada seorang Ibu. Minta bangunin jam sembilan, dibangunin jam setengah sembilan, bilangnya jam sepuluh.
Cowok itu mengusap 'muka bantal'nya dan melirik sapu tangan kecil yang persis ada di sebelahnya ketika ia tidur tadi. "Sial, Cuma mimpi," umpat Garvin meremas sapu tangan itu.
Karna pada kenyataannya, setelah mendapat kotak biru itu, Garvin hanya bisa menangis di kamar tidurnya. Tidak, tidak ada prank, tidak ada pelukan hangat Jean, gadis itu benar-benar pergi tanpa pamit.
Benda persegi yang ia lempar keatas kasur berdering, membuat Garvin segera mengambilnya dan mendekatkan benda itu ke telinga.
"Kenapa Yang?"
"Garvin jadi jemput gak? Kelas Helen selesai jam dua-an"
"Iya, aku selesai jam satu kok, nanti aku samperin ya," jawab Garvin menata kembali bantal diatas kasurnya. "Helen udah sarapan?" lanjutnya bertanya.
"Udah kok, yaudah aku tutup dulu ya Vin, dadah!"
"Iya, dah." Sambungan telepon antara pasangan kekasih itu tidak berlangsung lama ternyata. Selepasnya, Garvin berdiri dari duduknya dan berjalan kekamar mandi bersiap untuk pergi ke kampus.
Setahun setelah kepergian Jean yang terlalu tiba-tiba baginya merupakan hari-hari yang hampa. Bagaimana tidak? Garvin ditinggalkan dengan banyak tanda tanya di kepalanya, membuat Garvin sangat sulit untuk menerima kenyataan bahwa Jean memang sudah tidak ada lagi di Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR PATH
Fiksi Penggemar|HWANGSHIN|OC| The sequel of "Mr. Posessive and Ms. Rebellious" "Percuma Vin, serpihan masa lalu kita gak bakal bisa disatuin lagi." -Our Path- Kembalinya Jean ke Indonesia, membuat Garvin sangat bahagia. Tapi sayangnya Jean tidak ingat sama sekali...