Nahloh kenapa

134 21 1
                                    

"Jel, kamu gak kuliah?"

Pada pukul delapan pagi, seorang pria berdiri diambang pintu kamar adiknya yang telah dibuka olehnya. Sebetulnya Axelle masih bingung apa yang terjadi dengan Jean. Pulang jam sebelas malam, tanpa bercerita atau menyapanya sedikitpun, adik perempuannya itu benar-benar diam dan berdiam diri di dalam kamar.

Jean tak menjawab pertanyaan Axelle, dirinya masih memejamkan mata untuk menuntaskan rasa kantuknya.

"Hhhh, terserah deh." Si dokter muda itu berjalan meninggalkan kamar Jean yang masih terbuka. 

Si dokter muda itu berjalan meninggalkan kamar Jean yang masih terbuka. Setelah pasrah dengan si adik, Axelle memilih untuk turun ke lantai dasar, tentu saja ia akan membuat sarapan. Tetapi kegiatannya itu tertunda karena ada suara ketukan dari pintu utama.

"Loh, Jeno ngapain?"

Jeno mah nyengir aja di depan pintu, dari semalam dia memang sudah berencana akan jemput Jean lebih pagi, hitung-hitung ngebujuk pacarnya karena insiden kemarin.

"Jeannya mana Bang?" Sekarang Axellenya yang bingung. Ini kok ada bocah tiba-tiba dateng nanyain adeknya, mana langsung to the point.

"Masih tidur dia, kuliah gak sih Jean?" Jeno mengedikkan bahunya.

"Lah, kan kamu pacarnya."

"Tapi kan bang Axelle abangnya."

"Iya juga sih." Nahloh.

Merasa kalah berargumen dengan pemuda berambut coklat itu, Axelle mempersilahkan Jeno masuk, sekalian nyuruh dia buat bangunin Jean yang molornya udah sebelas duabelas sama kerbau berendam.

"Jel?" Kepala Jeno menyembul dari celah pintu yang terbuka sedikit. Matanya menangkap si pacar yang masih terbalut selimut.

Jeno pun menghampiri Jean dan duduk di tempat tidur persis di sebelahnya. Tangannya mengusap rambut pirang Jean dengan lembut.

"Jel, kamu ada kelas jam berapa? Bareng nggak?"

Jean mengerang kemudian menyembunyikan wajahnya di bantal.

"Hmm, jam berapa sekarang?" tanya Jean dengan suara serak.

Mata Jeno melirik jam dinding di kamar Jean. "Setengah delapan."

"Bangunin jam delapan..." pinta Jean yang tentunya kembali terlelap, sedangkan Jeno masih setia mengusap rambut perempuan itu.

Our Path

"Vin aku laper..."

"Hm? Cacingnya udah demo ya belum dikasih makan?" Garvin tertawa meledek.

"Aaaa Vin! Ayo makan," ajak Helen menarik-narik lengan Garvin.

"Iya iya, ayo let's go!"

Sepasang kekasih itu berjalan menuju kantin kampus dengan tangan tertaut yang membuat para jomblo makin merasa iri jika melihat mereka.

"Kamu makannya apa?"

"Tempe!" jawab Garvin dengan cepat.

"Hah?" Helen kebingungan.

"Saya juru masaknya, oke!" lanjut Garvin dengan nada lagu masa kecilnya. Kini wajah Helen berubah memelas.

"Vinnn yang bener ah!" Gini deh nasibnya pacaran sama sulenya Bandung, dibercandain terus.

"Hahaha iya, aku ngikut kamu aja," jawab Garvin duduk di salah satu meja yang kosong, tepatnya di depan tukang bakso dan mi ayam.

"Mi ayam ya?" Garvin mengangguk. Dengan riang Helen menghampiri kedai mi ayam dan memesan dua porsi mi ayam bakso.

OUR PATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang