Seatbelt

144 26 2
                                    

Laki-laki yang memegang kaleng soda itu tak habis pikir dengan perempuan di hadapannya. Walaupun pertama kalinya Garvin melihat Jean menggunakan dress seperti ini, tapi keadaan saat itu sangat tidak ia sukai, apalagi dengan rokok yang terselip di celah bibir Jean.

"Lo ngapain disini?" Jean mengapit rokok yang ada dimulutnya dengan jarinya, lalu menghembuskan napas seolah mengeluarkan asap rokok.

"Jajan," jawab Jean singkat. Garvin duduk di kursi kosong dimeja yang sama. Dia sendiri merasa bersyukur karena sang Bunda memintanya untuk membelikan kecap manis malam-malam begini, dan ia juga merasa beruntung karena ia memilih minimarket yang lebih jauh dari rumah.

"Tapi ini udah jam sepuluh El, lo sama Jeno?"

"Gue sendiri, lo gak bisa liat?" Mendengar jawaban Jean, Garvin memilih untuk diam. Sebenarnya dia masih nggak ngerti kenapa Jean ada disini, sendiri jam sepuluh malem pula.

"Sebentar," sela Garvin kembali berdiri dan masuk kedalam minimarket. Jean tak menggubris Garvin sama sekali, ia masih sibuk memandangi jalanan ramai didepannya.

Tak lama kemudian Garvin kembali duduk dan menyodorkan sekotak teh kemasan rasa blackcurrant yang biasa Jean minum saat SMA dulu.

"Buat gue?"

"Bukan, buat mbak kunti di sebelah lo," jawab Garvin asal. "Yaiyalah, dulu kalo lo bete tugas banyak, lo belinya ini."

Jean tersenyum kecil kala menggenggam dan memperhatikan minuman yang dulu ia bilang bisa bikin diabetes itu.

"Makasih ya."

"Pulang yuk?"

"Duluan aja, gue masih mau disini," elak Jean.

"Dih, gue ngajak lo pulang bukan pamit mau pulang, ayo gue anter." Garvin berdiri menarik lengan Jean yang kemudian ikut berdiri.

Our Path

"Hahaha ya kan nggak gitu juga Vin!"

"Ya mau gimana itu dosen jalannya lama banget, ya gue serobot aja lewat kolong tangannya!" Garvin bercerita tentang kejadian kemarin saat ia menyalib dosen yang sudah berumur itu.

"Ngakak, lo nyerobotnya kayak main uler naga." Jean tertawa puas, cowok yang sedang menyetir menuju rumah Jean itu tidak berubah sedikitpun dari sikap dan kebiasaannya.

"Kalo lo?" tanya Garvin

"Gue apanya?"

"Lo sama Jeno udah dari kapan? Kok gue kaget lo udah ada pawang baru," lanjut Garvin.

"Jeno itu, temen pertama gue di Singapur, dia orang pertama yang paling ngakak pas denger english gue pake aksen indonesia, dan ternyata dia emang pernah tinggal di Indo. Yaa... deket, temenan, abis itu pacaran, abis itu..." Jean menggantungi penjelasannya.

"Dilamar?" Jean melotot. "Nggak secepet itu Garvin! gue juga baru dikenalin ke nyokapnya tadi."

Nyesek sih rasanya bagi Garvin, tapi sejak kejadian permen kiss kemarin, Garvin memutuskan untuk bersikap tidak senekat itu, ia harus bisa menjaga jarak sedikit dari Jean.

"W-whoa, terus gimana?"

"Well, sedikit berantakan." Jean menatap keluar jendela disampingnya. "I mean, berantakan banget, hahaha."

"Kenapa?" Cewek itu mengedikkan bahunya.

"Vin," panggil Jean. "Hm?"

"Menurut lo, kalo orang tua gue udah cerai dan kabur dua-duanya, berarti gue cewek gak bener ya?" Garvin menyerngit mendengar pertanyaan Jean.

"Apaan sih kok nanya nya gitu?"

"Kayaknya perceraian ortu gue tuh, kesannya aib banget gitu buat gue, padahal orang-orang gak tau, gue lebih bahagia setelah mereka ninggalin gue, gue juga jadi lebih kuat dan mandiri, orang-orang tuh kenapa sih?"

Sekarang Garvin terdiam, ia tak tau harus menjawab apa, tebakan Garvin, mungkin Jean tak diterima oleh keluarga Jeno.

Suara isakan kecil mulai terdengar, Garvin menoleh ke Jean dan benar saja perempuan itu sudah meneteskan air mata. Ia buru-buru menepikan mobilnya di pinggir jalan raya besar itu, tepatnya di dekat sebuah warung tendaan yang menjual sate ayam khas madura.

"El? Kok nangis?" Jean menggeleng.

"G-gue bingung, berarti gak bakal ada yang bisa terima keadaan gue dong? Bang Axelle? Terus kita berdua gimana Vin...," lirih Jean. Tanpa basa basi lagi, dan dengan hati yang sudah sangat berat, Garvin menarik Jean kedalam dekapannya.

"Nggak gitu El, lo Cuma nemu orang yang salah, perceraian mereka bukan salah lo juga, lo berhak bahagia." Garvin mengusap kepala yang makin membuat Jean menangis lebih kencang.

"Udah gapapa, nangisnya abisin dulu aja." Jean menggeleng. "Nggak mau..."

"Kok gak mau?" Garvin lebingungan.

Sampai akhirnya Jean menegakkan tubuhnya dan bersender pada jok mobil kembali. "N-nanti kita dikira mau beli sate tau, ayo pulang aja," jawab Jean membuat Garvin tertawa.

"Iya juga ya, abangnya melototin lagi, kabuurr!"

Sepanjang perjalanan malam itu merupakan hal yang sangat Garvin inginkan sejak ia bertemu Jean pertama kalinya setelah sekian lama. Memang pada dasarnya mereka berdua adalah pasangan ngobrol yang saling nyambung, jadi mereka gak ngerasa awkward. Topik ngalur ngidul disertai tawa menjadi pengalih rasa sedih Jean sesaat.

"Anjir, rumah barunya Cuma beda empat rumah dari yang lama? kok gue gak sadar?"

Jean terkekeh. "Bang Axellenya gak mau jauh-jauh, jadi yaudah pindah kesini lagi."

"Lo mau turun dulu gak?" tanya Jean.

"Nggak deh, udah jam sebelas gini, bisa digeprek gue sama nyokap." Garvin memperhatikan layar ponselnya.

"Yaudah gue duluan ya, by the way makasih udah mau anterin," tutup Jean dan dibalas anggukan oleh Garvin, oh iya jangan lupa cengiran Garvin tentunya.

Sebelum membuka pintu mobil, Jean melepas seatbelt terlebih dahulu, tapi anehnya tali seatbelt tersebut tidak tertarik spontan dan masih menggantung diatas paha Jean.

"Lah, ini kok gak ketarik? Nyangkut ya?" Kali ini Jean kebingungan.

"Coba ditarik lagi El." Jean mengikuti perintah Garvin, tapi hasilnya nihil.

"Sama aja." Garvin membuka seatbelt dan memajukan tubuhnya, berusaha menggapai ujung seatbelt yang ada disebelah Jean.

"Oh iya, ada yang nyangkut nih, pasti tangan Lusi iseng." Jean jadi terdiam ketika Garvin menyebutkan nama perempuan itu. Nggak tau, tiba-tiba kepikiran aja kapan Jean akan berani ketemu keempat temannya itu.

"Yaudah turun dulu aja El, nanti gue benerin di rumah," kata Garvin.

Masalahnya, gimana cara Jean turun sedangkan tubuh Garvin melintang di hadapan Jean.

"Ya lo begini gimana ceritanya gue bisa turun Vin?"

Garvin tercengir lagi. "Oiya hehe." Cowok itu hendak kembali ke posisinya semula dan berpegangan pada sandaran jok penumpang yang di duduki Jean. Entah karena faktor apa, tangan Garvin seolah terpeleset menyebabkan Garvin terjatuh diatas badan Jean.

Mata keduanya sama-sama membulat dan saling bertatapan. Jean hanya berharap malam itu ia sedang tertidur dan semua kejadian ini adalah mimpi.

Kenapa? bibir tebal yang sempat bersentuhan dengan pergelangan tangannya dulu, kini menempel pada bibirnya.

©Setarablue

DUAR MELEDAK

OUR PATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang