Pagi-pagi sekali, Mama dan Papa sudah menceramahi panjang lebar tentang bagaimana aku tidak boleh keluar rumah sembarangan. Karena aktivitas tidak becus geng yang disebut Cavalry dengan geng lain itu kian meningkat saja.
Setiap orang tua pasti tengah memaksa putra putri mereka ber-karantina di rumah. Sembari berharap kalau aparat keamanan akan segera menemukan personil geng gila itu dan menghukumnya. Agar Jakarta bisa kembali tenang, tanpa ketakutan menghantui setiap hari.
Aku bahkan tidak dibolehkan keluar gerbang sekolah lagi tanpa pantauan Mama – kecuali kakak kelas yang memberikanku tumpangan, maksudnya Kak Hose. Karena Mama kesemsem dengan wajah Kak Hose yang tampan tanpa habis.
Ibuku satu itu...
"Mendingan, Gi?" adalah pertanyaan pertama yang Olin lontarkan sesaat aku sampai di kelas.
Aku mengangguk. "Udah ga panas. Udah ga pusing juga. Udah Sehat."
"Awas aja kalo lo pingsan lagi. Olin tendang pantat lo buat istirahat di rumah." Lea cengengesan.
Aku tertawa mendengarnya. Betapa beruntungnya aku. Padahal aku baru di sekolah ini 2 hari lamanya, namun aku sudah menemukan teman-teman yang membuatku merasa nyaman. Tidak seperti di sekolah lamaku, ketika semuanya memandangku sebelah mata, karena kejadian dengan Febian.
Aku menggeleng cepat kepalaku. Tidak ingin nama Febian menghantui pagi cerahku ini.
"Bapa gue cerewet banget dari pagi soal Cavalry-Cavalry itu tau ga sih!?" Olin memekik, berbicara dari kursi di hadapanku. "Cape banget. Masa gue ga bisa hang out sama temen SMP gara-gara takut geng liar?"
"Gue juga, anjrit." Lea menggerutu. "Gue pengen cet rambut."
Aku mengerutkan kening bingung. "Bukannya sama sekolah ga boleh?"
"Kalau cokelat dikit kan ga bakalan keliatan." Lea mengedipkan sebelah matanya. Aku cekikikan saja mendengarnya.
Pembicaraan pagi ini jelas berputar di antara geng liar yang tengah menghantui ketenangan kami. Sampai aku menggantinya dengan menanyakan topik lain.
"Eh, minta ceritain ke aku dong, soal Kak Ambrose."
Dan seketika, mata Olin dan Lea memandang ke arahku. Senyum licik mengembang setelahnya.
"Waduh, ada yang cinlok nih kayanya."
"Wah, Kak Ambrose nambah satu penggemar nih kayanya."
Aku kesal dijahili seperti ini.
"Bukan gitu!" Aku memekik. "Aku cuman pengen tau aja. Kan dia udah nyelametin aku kemarin. Jadi..." Aku mencari-cari alasan. Aku tidak mungkin mengatakan aku tahu dia akan mati, kan? "Mau tau kelasnya. Sekalian sama temen-temennya, atau apa aja soal dia."
"Dua belas IPA 2 setau gue, sih." Olin menjawab, untungnya berhenti mengejekiku lagi. "Sekelas sama temennya, Kak Oscar."
"Kak Ambrose punya 5 temen. Kalau digabungin dia, gengnya ada 6, Gi." Lea yang kali ini menjelaskan dengan perlahan. "Semuanya di IPS kecuali Kak Ambrose sama Kak Oscar."
"Yang pertama temennya ada Kak Eden." Olin melanjutkan. "Yang badannya paling tinggi. Rambutnya cokelat-cokelat gitu. Cukup mencolok sih. Nah kalo kedua ada Oscar. Kakak Oscar ini yang paling deket sama Kak Ambrose walaupun semuanya juga sama deket sih. Tapi mereka apet banget. Ke mana-mana duaan mulu sampe disangka homo. Dia juga kaya Kak Ambrose, pinter mampus."
"Kalau ketiga sama keempat, ada Kak Gio sama Dio." Pembicaraan ini sepertinya seru bagi teman-temanku. Lea sampai berseri-seri sendiri mengatakannya. "Kalau ini dua biang kerok kerusuhan. Seringnya teriak-teriak di kelas, nyanyi-nyanyi ga jelas, akhirnya paling sering masuk ruangan BK. Mukanya sama persis, banyak yang susah bedain dua kembaran ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelasku Akan Mati
RomanceKakak Kelasku Akan Mati | Ambrose Death Call Gianna bisa mendengar lonceng kematian. Mungkin kau akan kebingungan apa itu. Namun singkatnya, lonceng kematian adalah denting lonceng keras yang hanya bisa didengar Gia. Suara yang hanya berasal dari...