Tanganku bergetar tatkala aku menggenggam senapan di tanganku. Kurasa bukan hanya karena trauma berat. Namun karena amarah yang berkobar jauh di dalam sanubari.
Aku menatap wajah picik Leon. Lantas kembali menyorot tatap pada senapan Anora. Aku tidak tahu di mana Anora mendapatkan senapan ini, namun perkiraanku ini adalah milik Leon yang telah Anora pungut. Demi merenggang nyawanya sendiri. Sudah selayaknya laksana jemari Leon yang menarik pelatuk senapan ini pada kepala Anora kala itu. Laksana Leon yang tersenyum puas menatap jerit susah payahku menahan kakakku. Laksana Leon yang mencemooh seluruh keluargaku dengan menembak peluru sampai ke dalam otak kakakku.
Aku ingin muntah hanya mengingatnya saja.
Walau begitu, aku tidak memiliki banyak waktu. Leon tidak sebaik hati itu untuk memberikan waktu bermuram-durja sekalipun senapan pembunuh ada di kepalanku. Dia seketika mengacungkan senapannya kepadaku. Dan walau dia bukanlah yang terpandai dalam menembak, kalau dalam jarak sedekat ini, aku niscaya tertembak sampai menembus koyak daging.
Aku seketika terperanjat terkejut. Dan ragaku bergerak dengan sendirinya.
Aku mengarahkan senapan Anora ke kaki Leon, aku menembaknya tanpa berpikir dua kali, membiarkan sebuah lubang tertanam di balik pahanya, dan jerit membahana menggelegar di seluruh ruangan.
"Ahh!" Padahal kesakitannya tidak sebanding dengan Anora. Aku berdecak tidak terima.
"Leon!"
Teman-temannya serempak melemparkan tatapan kepada Bos mereka. Barangkali karena biasanya terlalu banyak dilindungi, mendengar jerit Leon adalah kejadian langka. Aku tersenyum miring untuk satu detik itu. Aku tahu teman-temanku memiliki otak yang pintar. Dan jelas saja mereka menggunakan kesempatan lengah Joker ini tanpa keraguan sama sekali.
Genda menendang kedua pasang kaki yang berada di hadapannya. Dua pria itu menjerit terkejut, lantas tubuh mereka jatuh ke tanah. Kedua pasang kaki itu selanjutnya diinjak keras oleh Genda, membuat semuanya mengaduh, dan tidak bisa berdiri.
Eden dan Gio sebaliknya. Eden mengarahkan bogem ke pria di hadapannya. Bogem itu berhasil mengenai, melemparkan pria itu sampai kepalanya membentur dinding. Suaranya membahana, aku sampai takut batok kepalanya pecah di balik sana. Giliran Gio tidak semudah kedua temannya yang lain. Ketika dia hendak mengirimkan sebuah tendangan ke kepala musuh, kakinya ditahan, dan Gio kehilangan keseimbangan.
Alih-alih Joker yang tergeletak, punggungnya yang menabrak tanah.
"Gio!" Genda berseru.
Gio menjauhkan sebisa mungkin senapan yang tengah ditodongkan ke batok kepalanya. "Anjing lo!" Rintihnya bahkan terdengar sampai telingaku. Aku ingin membantu, namun Leon jauh dari kata tumbang. Aku tidak bisa menghampirinya.
Namun Gio dengan segara cara tengilnya... dia berhasil mengubah keadaan dengan sebuah tendangan paripurna.
Tepat di bola salah satu Joker itu.
"Sialan, bangsat!" Pria itu menjerit kesakitan. Sampai dia berdiri, memegang selangkangannya yang sakit minta ampun. Dan sebelum dia mampu tergeletak ke lantai, Gio lebih dulu menarik kerahnya, lantas mengalungkan lengannya ke pundak pria itu. Nafas Gio seketika memberat, kelambu kembali menutupi sirat matanya menjadi gelap. Namun di tengah keringatnya yang bercucuran, dia berkata bengis. "Jangan lo berani berdiri satu orang pun! Kalau ga," dia menekankan belatinya ke leher pria itu, "gue abisin temen lo."
Seseorang yang kakinya tengah diimpit oleh Genda tertawa meremehkan. "Anak SMA macem lo mana berani?" Sekalipun dia berkata begitu, wajahnya kentara ketakutan.
"Mau nantangin? Kalo lupa, temen lo tadi," Gio bahkan tidak berani menatap mayat yang terjerembap di tanah akibatnya, "gue juga yang abisin."
"Lo gila, anjing!" Seorang Joker lain menjerit kepayahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelasku Akan Mati
RomanceKakak Kelasku Akan Mati | Ambrose Death Call Gianna bisa mendengar lonceng kematian. Mungkin kau akan kebingungan apa itu. Namun singkatnya, lonceng kematian adalah denting lonceng keras yang hanya bisa didengar Gia. Suara yang hanya berasal dari...