Ketika hari esok tiba, aku sudah tidak ingin berurusan lagi dengan Kak Hose.
Aku tidak akan menampik, aku menangis semalam suntuk. Ada perasaan mengganjal yang terus mengingatkanku kalau perpisahan ini menyakitkan. Padahal seharusnya aku tidak merasa begitu. Kami baru berjumpa sejenak. Aku bahkan baru mengenalnya di bagian paling dasar. Dan sejak semula hubungan ini tidak menjamin rasa. Lantas apa yang membuatku menangis?
Aku sendiri tidak paham.
Aku menyalahkannya kepada rasa sakit yang masih terus menghunjam sekujur tubuhku. Penyiksaan lonceng kematian. Aku mengatakan kepada diri sendiri berkali-kali, kalau aku sudah terlalu lelah merasa kesakitan. Kalau aku hanya ingin tidur dengan tenang dan melupakan kematian siapa-siapa. Kalau aku tidak ingin mendengar denting pekak ini. Aku terus meyakinkan diri begitu.
Namun aku tidak menemukan kalau hatiku setuju dengan benakku.
Dan itulah hal terbodoh. Aku tidak memiliki alasan menangis, lantas mengapa aku harus melangkah ke balik gerbang sekolah dengan mata sembab dan hidung kesakitan?
Ketika aku memasuki kelas, teman-temanku langsung menyadari tubuhku yang lesu. Mereka mungkin masih menganggapku sakit sejak kemarin. Hidung yang merah hanya bukti kalau aku bertambah diagnosa – flu. Tidak akan ada yang menganggap aku menangisi seorang pria sampai fajar.
Semoga saja.
Sampai Lea tiba-tiba mengungkit nama yang tidak ingin kuucapkan.
"Kemarin duaan di dalem ruang musik sama Kak Ambrose ngapain, hayo?" Lea menyeringai, penuh makna. Seperti biasa, ingin menjadi yang paling pertama untuk mendapat kabar gosip teranyar. "Ga boleh lho mesra-mesra gitu di sekolah."
Aku menghela nafas panjang. "Bukan kaya yang kalian bayangin."
Aku tidak ingin mengungkit ini. Hentikan, kumohon! Rasanya aku ingin menjerit. Namun...
"Jangan gara-gara ga ada CCTV di ruang musik kalian buka-buka seragam, ya?" Olin malah menimpali dengan lebih buruk. "Gianna diem-diem nakal banget nih."
Wajahku memerah karena malu, sekaligus jengkel. Sehingga tanpa menahan mulut, aku menyentak.
"Aku putus sama Kak Hose! Gitu doang!"
Dan percakapan kita seketika lenggang.
Aku tidak ingin menatap keduanya. Aku mematri tatapanku ke meja. Sebab aku mengkhawatirkan respons semacam apa yang akan mereka tunjukan. Namun keheningan yang kelewat lama ini berhasil membuatku menengadah. Dan apa yang mereka pasang di wajah mereka, persis seperti yang kubayangkan.
Bagai baru melihat hantu, atau barangkali, mendengar berita kematian dadakan.
"Hah!?" Lea menyentak, sembari membelalak. "T-Tunggu. Tunggu! Kan kemaren ini masih baik-baik aja! Katanya pergi camping sama temen-temennya Kak Ambrose, terus- Bentar-bentar! Kenapa baru jadian udah putus lagi!?"
Olin mengangkat alisnya jengkel. "Dia ngapa-ngapain lo, Gi!? Emang cowok kalo udah punya muka sama duit biasanya kurang ajar, anjing! Lo diapain!? Cerita sini sama kita, pasti kita hantem tuh muka sampe makin babak belur!"
Aku menaikkan kedua tanganku, menggeleng secepat mungkin. "Engga, ga papa! Sumpah, bukan kaya gitu!"
"Terus ngapa putus, anjing!?" Olin seperti biasa, geram tanpa ampun.
Kak Hose menyebutku pembunuh...
Tidak mungkin aku mengatakan itu, bukan?
"Ga cocok aja."
"Ga cocok gimananya?"
Aku menegak ludah pahit. "Kan waktu pacaran tuh karena ada masalah yang foto diumbar sama adik kelas, jadi kita jadian aja." Aku menggaruk leherku yang tidak gatal. "Jadi masih fase coba-coba. Tapi akhirnya engga cocok. Dia... gimana ya?" Mengagumkan bagaimana aku pandai berbohong. "terlalu dingin orangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelasku Akan Mati
RomanceKakak Kelasku Akan Mati | Ambrose Death Call Gianna bisa mendengar lonceng kematian. Mungkin kau akan kebingungan apa itu. Namun singkatnya, lonceng kematian adalah denting lonceng keras yang hanya bisa didengar Gia. Suara yang hanya berasal dari...