Chapter 9 - Firewood

3.3K 250 2
                                    

Ketika Kak Dio mengatakan kalau saudara Kak Hose yang bernama Stacy itu adalah seseorang yang memiliki banyak teman, lebih baik tidak perlu diragukan.

Dia membawa 5 orang temannya – setelah semula berdebat keras dengan Hose bagaimana dia ingin membawa 12 orang banyaknya menuju perkemahan kita, yang menurutnya terdengar sangat menyenangkan. Kak Hose tidak menyetujui, mengingat sifatnya yang lebih senang menyendiri. Semakin sempit pergaulannya, semakin bahagia pula Kakak kelasku satu itu yang kini disebut kekasihku.

Akhirnya sembari cemberut, Kak Stacy memutuskan kalau hanya 5 orang yang akan ikut bersama perjalanan kami. Dan setelah itu kami melaju langsung menuju Sentul.

Seluruh teman-teman Kak Hose menitahku untuk berada di mobil yang sama dengan Kak Hose, namun berbanding terbalik dengan mereka, Kak Hose menginginkanku untuk berada di mobil yang bersatu dengan para teman-teman perempuan baru yang aku kenali hari ini. Yang membuat setiap insan kebingungan, namun siapa gerangan yang mampu menolak ketika Kak Hose telah mengatakan sesuatu?

Ya, selain bujukan ancaman persebaran foto tadi, tentu saja.

Karena itu aku menaiki mobil bersama dengan teman-teman Kak Stacy. Dan jujur, aku mensyukurinya. Ketimbang hanya duduk seorang diri di kursi belakang Fortuner Kak Hose, aku lebih senang mengenali orang-orang baru yang mungkin akan kujumpai lagi di dalam kehidupanku.

Lagi pula Kak Stacy sangat baik dan nyaman diajak berbicara. Aku sungguh beruntung bisa mengenalnya.

Perjalanan menanjak bukit menjadi permulaan dari perjumpaanku dengan teman-teman Kak Hose, selain sang kembar. Juga menjadi sebuah perjalanan yang ricuh. Bayangkan 6 pria dan 7 wanita banyaknya menaiki bukit yang sama. Dijumlahkan menjadi 13 orang yang berarti, 13 suara. Sekalipun ada dua pria sunyi di kelompok – Kak Genda dan Kak Hose – tetap saja kericuhannya melebihi lolong serigala di tengah musim kawin.

Perjalanan yang sungguh berisik.

Aku ikut menimpal terkadang. Terkadang aku sunyi, tidak mengerti tentang apa yang para kakak kelas tengah bicarakan. Biasanya ketika mereka mengatakan tentang tujuan kuliah dan ikut serta dalam SNMPTN atau SBMPTN, aku diam. Aku belum dalam waktu untuk cepat-cepat memikirkan permasalahan itu, sebab itu aku bergeming saja.

Kini, aku masih lebih memikirkan kelangsungan hidup Kak Hose ketimbang semua itu.

Dari seluruh rombongan kami yang menanjaki gunung, Kak Hose mengejutkannya ada di baris paling belakang. Aku melihatnya diam-diam sadari tadi, khawatir kalau jatuh dari tebing adalah alasan lonceng kematiannya.

Aku memang melihat langkahnya sedikit goyah, juga limbung. Sebab itu aku memutuskan untuk menghampirinya. Menemaninya, ketimbang harus melihat mayat hari ini yang jelas saja tidak ingin aku saksikan.

"Ada yang sakit, kak?" Aku bertanya pelan, menyejajarkan langkahku dengan langkahnya yang lamban.

"Selain sakit dada karena kesal sama lo? Ga ada."

Dia masih marah kepadaku. Aku menghela nafas panjang.

"Maaf soal tadi pagi." Dia tidak menimbal. Hanya mendengus keras. "Aku cuman mau bangunin kakak, beneran. Tapi..."

"Tapi?"

"Aku kaget ngeliat banyaknya kaleng alkohol yang Kak Hose abisin." Aku mengaku sembari terus melangkah. Berhati-hati akan tanah yang kelewat licin untuk dipijak. "Apa Kak Hose memang selalu kaya gitu?"

"Minum banyak?" Aku mengangguk. "Iya."

Mengejutkan bagaimana rasa khawatir merambati dadaku. "Kenapa, kak?"

"Suka aja."

Entah mengapa, aku mendengar kebohongan dari kata-katanya. Aku mendengar dusta dari akunya. Namun aku memutuskan kalau kali ini mulutku harus tetap rapat. Aku tidak ingin mempermasalahkan minum-minum terlalu banyaknya di tengah suasana kami yang masih suram. Aku ingin mencari jalan aman.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang